Aku memeras seluruh air mata yang tersisa dengan isakan semakin dalam. Dadaku terasa begitu sesak, tubuhku seolah mengeluarkan panas seperti pijaran lava yang disemburkan gunung berapi. Napas yang terasa berat makin menyiksa, seiring gemetar di badanku yang semakin menjadi. Kepalaku seperti akan pecah, entah karena rasa sakit yang mendera atau desakan kemarahan yang membuatku ingin berteriak dan menyumpah serapah.
Berjalan tertatih, aku membiarkan bekas kue dan piring yang terpecah belah masih bersemayam di atas lantai. Rasa perih tak kuhiraukan, terlebih dapur yang berantakan. Justru yang kuinginkan sekarang adalah membanting semua benda, melampiaskan amarah yang tersimpan. Beruntung, secuil akal sehat masih bertengger di otak hingga aku tak melakukan itu semua.
Masih tak mengerti, hatiku terus memuntahkan pertanyaan yang menyulut emosi. Apa yang salah dari memberikan sebuah kue untuk seorang yang sudah menjadi suami? Apakah sedemikian buruknya kue buatanku? Atau begitu tidak sukanya Chandra padaku? Kenapa dia tidak bilang saja, alih-alih menampik piring hingga hancur berkeping-keping? Apalagi bukannya meminta maaf, dia malah pergi membanting pintu di depan mukaku!
Sial! Jahat! Benar-benar kejam! Rasanya aku ingin berkata kasar di depan wajah memuakkannya!
Kuralat semua pikiran baikku tentang dia! Begitu juga tentang harapan bisa bicara berdua dari hati ke hati, membahas tentang kehidupan rumah tangga yang akan dijalani. Hah? Jangankan berbicara, mulutnya saja seperti dilem aibon jika berada di dekatku.
Dia tak ubahnya seperti penyamun yang mengambil hidupku dan menguasainya, kemudian menendangku saat tak sesuai dengan keinginannya. Buktinya, dia melahap makanan yang kubuat menggunakan resep ibunya. Sedangkan kue buatanku, dia bahkan tidak mau melihatnya! Seharusnya dia menolak ajakanku untuk makan saja! Bukan memberikan harapan bahwa kami bisa lebih dekat berdua dalam satu meja!
Cih! Sekarang aku tak sudi untuk melihat wajahnya lagi! Aku sudah tidak tahan berada di rumah yang seperti neraka ini! Berada dekat dengannya sungguh sangat menggerogoti hati dan lambat laun aku bisa saja mati!
Tidak! Aku tidak mau mati di sini! Apalagi bersama orang yang amat sangat kubenci! Aku harus segera keluar dari rumah ini!
Tiba di kamar, aku menjejalkan asal baju-baju yang baru aku angkat dari jemuran ke dalam koper. Begitu juga peralatan yang kubawa dari rumah dan sempat keluar dari tempat penyimpanan barang bawaan itu. Hatiku terhenyak saat memasukkan ponsel ke tas tangan yang kubawa. Kubuka dompet dan mataku terbelalak melihat isinya. Hanya ada satu lembar uang seratus ribu dan beberapa lembar uang pecahan. Apakah cukup untuk membawaku pulang?
Bisa! Aku harus bisa! Aku tinggal mengisi pulsa, kemudian memesan taksi daring dan pulang. Beres!
Tunggu dulu! Saat ini aku sedang terinfeksi Covid-19. Jika aku keluar, bukan tidak mungkin aku akan menularkan orang-orang (lagi). Apalagi Mama juga melarang aku pulang, ada kakak dan bayinya di rumah. Aku tidak mau menularkan mereka!
Sudahlah. Itu bisa dipikirkan nanti. Yang jelas, aku harus segera keluar dari rumah laki-laki laknat ini.
Selesai mengemas barang, aku menarik koper yang terasa begitu berat, juga menenteng tas tangan. Kulapisi wajahku dengan berlapis-lapis masker medis sampai untuk bernapas terasa sesak. Kubersihkan tangan dengan hand sanitizer yang ada di tas, kemudian bergegas keluar kamar. Kesunyian menyambutku seperti biasa, tetapi kali ini terasa lebih memuakkan. Kulirik sekilas lantai atas, tempat di mana manusia angkuh itu berada.
Lihat! Aku juga bisa pergi! Silakan nikmati rumah ini sendiri! Aku tidak peduli lagi!
Berhenti sejenak di depan foto mendiang Tante Rahayu, aku melantunkan doa dalam hati. Air mataku menetes lagi, menyiratkan permohonan maaf karena aku tak bisa memenuhi janjiku padanya. Bukannya aku tak mau menjaga anaknya, tetapi dia sendiri yang memasang tembok baja di antara kami. Aku tak ingin terus berada di bawah kakinya. Diriku sendiri juga butuh lepas dari belenggu yang menyiksa. Aku tak bisa terus diam dan membiarkan hatiku makin sengsara.
Setidaknya, aku berhak untuk merasa bahagia, bukan selalu berkubang nestapa.
Sinar matahari sangat menyilaukan mata begitu aku membuka pintu. Entah sudah berapa hari aku tidak keluar, sampai-sampai berada di tempat tanpa pelindung kepala membuatku pusing. Kuteguhkan langkah yang semakin gontai seolah kehilangan seluruh tenaga, terus berjalan menyusuri trotoar. Rasa lelah makin mengganduli tubuhku hingga setiap sepuluh meter berjalan, aku harus beristirahat sejenak.
“Kenapa, Neng? Sakit? Mau naik ojek?” tanya seorang pria tua tiba-tiba di sebelahku.
Aku terlonjak, otomatis terbelalak. Refleks, tubuhku mundur dengan cepat. “Ng–nggak apa-apa!” teriakku angkat kaki, meninggalkan laki-laki beruban yang termangu.
Ya Tuhan, penyakit ini sudah membuatku takut bertemu orang lain. Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin mereka tertular virus laknat ini. Jangan sampai aku menyebarkan penyakit kepada lebih banyak orang lain lagi. Cukup saat pesta pernikahan pembawa bencana kemarin.