Sweet vs Savoury

Yuanita Fransiska
Chapter #18

A Few Months Ago

Sembilan bulan yang lalu.


Aku mengendap di balik tembok bangunan, membidik kepala musuh melalui moncong senapan. Dalam satu gerakan cepat, aku melakukan headshot. Cairan berwarna merah muncrat dari kepala seiring tubuh yang tumbang. Tanpa menghiraukannya, aku beralih ke target lain yang berada di belakang tiang.

“Chandra!”

Suara melengking dan nyaring masuk ke kupingku, mengalahkan teriakan-teriakan yang keluar dari headphone. Kursi gaming-ku berputar 180 derajat, membuat pandanganku beralih dari layar komputer hingga menghadapi sosok bertubuh besar yang sedang bertolak pinggang. Mata di balik bingkai itu melotot, tangan kirinya memegang headphone yang sudah pindah dari kepalaku.

“Mama! Apaan, sih? Lagi seru juga! Balikin sini! Entar kalah!” sungutku ketus.

“Dipanggilin dari tadi juga!” Mama balas berteriak. “Kuping jangan disumpal terus!”

“Kenapa, sih? Repot amat!” dengkusku hendak kembali merebut headphone.

Ekspresi Mama seketika berubah langit malam yang tiba-tiba siang. Senyumnya merekah seolah baru saja menang lotre. “Mama ada kabar baik!”

Aku mengernyitkan dahi, waspada. Biasanya Mama suka aneh-aneh kalau bilang ada kabar baik. “Apa?” 

Mama terkikik-kikik sambil menutupi mulut dengan tangan. Suaranya setengah berbisik saat berkata, “Mama udah nemu calon istri buat kamu!”

“Hah?” Sekarang aku yang ternganga. “Istri? Buat apa?”

“Buat dinikahin, dong, Chandra Kumara Dirandra!” pekik Mama gemas sambil mencubit pipi kananku. “Anak teman Mama di kantor. Mama udah lihat fotonya. Cantik, loh! Kamu pasti suka.”

Memutar bola mata, aku merebut headphone dari tangan Mama. “Nggak minat!” cetusku kembali menghadap PC.

Pandanganku kembali terhalang tubuh besar Mama seiring kursi yang terdorong ke belakang. “Ish! Dengar dulu! Kali ini Mama janji gadis itu baik-baik. Dia baru aja lulus dari Universitas Cendekia. Namanya Andhira Dayana Putri. Kata mamanya, anaknya pintar, ramah, baik, terus suka bikin-bikin kue gitu di rumah.”

“Terus?” tanyaku malas sambil menaikkan sebelah alis.

“Terus apa? Ya jelas dia calon istri dan mantu idamanlah! Kamu beruntung Mama bisa dapat gadis kayak dia.”

“Ya udah, Mama aja yang nikah sama dia!” tukasku malas. 

“Hus! Kamu ini!” Mama melotot sambil menjewer telingaku. “Kamu itu udah dua puluh delapan tahun, Chandra! Mau nikah umur berapa?”

Aku mengaduh kesakitan sambil melepaskan tangan Mama yang sekarang berubah seperti tang. “Nggak usah nikah kenapa, sih? Repot amat!” 

“Jangan bilang gitu. Toh, kamu tetap harus nikah. Mama, kan, nggak selamanya bisa temenin kamu. Mama nggak mau kamu sendirian,” desah Mama menurunkan volume suara.

“Mama ngomong apa, sih! Jangan ngomong yang aneh-aneh!” gerutuku merengut. “Chandra nggak mau nikah, biar bisa temenin Mama terus juga. Tapi kalo Mama mau nikah lagi, ya, terserah! Chandra nggak usah!”

Lihat selengkapnya