Aku membasahi kepala dengan air dingin yang keluar dari shower. Tak tahu kenapa sejak acara lamaran tadi tubuhku terasa panas. Jantungku juga berdebar terus, apalagi saat melihat di cermin, wajahku juga merah. Apa mungkin aku sakit karena kurang tidur? Atau kelelahan setelah aktivitas seharian—yang sebenarnya cuma menghabiskan waktu empat jam? Namun, saat di mobil aku menyuruh Mama memegang dahiku, katanya tidak demam. Aneh, kan?
Entahlah. Ini pertama kalinya buatku. Merasa sakit, tetapi tidak nyeri. Namun badanku terasa mengambang seperti diombang-ambing.
Oh, aku tahu. Mungkin ini hanyalah efek kurangnya asupan game.
Selesai mandi, aku menerima invitation untuk mengikuti permainan CS:GO. Aku membidik target-target dengan pandangan kosong karena entah bagaimana bayangan cewek mungil yang tadi berdiri di sampingku muncul lagi dan lagi. Berkali-kali aku salah tembak, bahkan tanganku gemetar saat mengarahkan pointer. Partner satu timku marah-marah dan mengumpat, mencerca permainan burukku untuk pertama kalinya ini.
D*mn! Aku kenapa, sih?
Menyisir rambut dengan jari, aku membanting mouse dengan kasar dan meninggalkan nest alias sarang tempat komputer bersemayam. Rasanya mau gila saat melakukan permainan yang kusuka, tetapi otakku berada di tempat lain. Sekarang badanku gemetar, membayangkan senyum yang tadi tersirat dari bibir tipis cewek yang baru ketemu pertama kali itu. Astaga! Mungkin memang benar aku sudah gila!
Aku membuang napas kasar kemudian menjatuhkan badan di atas kasur, kemudian menutupi wajah dengan bantal. Apa yang salah denganku? Apa karena selama ini mengurung diri di rumah, aku jadi heboh begini gara-gara ketemu satu cewek asing? Tapi aku nggak benar-benar mengurung diri, kan? Maksudku, rekan kerjaku di US sana selalu kutemui setiap malam—dengan sambungan Zoom tentunya. Aku juga tidak serta merta berdiam diri di rumah dua puluh empat jam. Kadang aku keluar, ketemu sama kasir minimarket, atau cewek-cewek yang baru pulang atau berangkat kerja di jalan. Tapi kenapa baru sekarang aku menggigil kedinginan cuma karena satu senyuman?
Tidak. Ini pasti bukan apa-apa. Aku cuma tegang karena Mama menyuruhku menikah. Sudah, itu saja. Aku cuma harus tenang dan mengikuti semua prosedur yang diperintah Mama, supaya orang tua itu tidak uring-uringan. Bisa-bisa tensinya naik lagi kalau aku membantah secara langsung.
Bangkit lagi dari tempat tidur, aku kembali ke nest—istilahku untuk ruangan kerjaku yang berisi komputer dan perlengkapan lain—untuk mengambil air. Sepertinya tubuhku harus didinginkan lagi supaya hawa panas yang dari tadi menyerang seperti negara api cepat hilang. Menuju ke tempat galon air, aku tercengang karena airnya habis—sejak semalam sebenarnya, tapi aku lupa mengisi. Sh*t! Aku buka kulkas dan yang tersisa hanya sebotol cola. Kutenggak dan bukannya dingin, aku malah semakin haus. Sial! Mau tak mau, aku harus turun.
Aku mengedarkan pandangan demi menilai situasi sekitar. Kalau di bawah masih ramai, lebih baik kutahan rasa haus ini daripada harus beramah tamah dengan keluarga besar. Malas rasanya, toh, aku juga tidak akrab dengan mereka. Apalagi kebanyakan datang cuma kalau butuh saja, misalnya meminjam uang atau barang. Selebihnya, apa mereka ingat kalau aku ada di dunia?
Cuma Pakde Jono dan Bude Rini yang selalu ada untuk Mama. Yah, itu sudah cukup sebenarnya. Bukan aku yang memerlukan mereka, tapi Mama. Aku tak tega membiarkan wanita yang melahirkanku itu kesepian setelah meninggalnya Papa. Sedangkan aku sendiri, hanya bisa berbicara paling banyak seratus kata jika bersama Mama. Dia yang banyak berceloteh, aku hanya mendengarkan sambil lalu seraya bermain Nintendo Switch.
Beruntung suasana sudah sepi di bawah. Aku melesat turun menuju dapur. Masih terdengar suara Mama mengobrol, sepertinya dengan Bude Rini. Kubuka pintu dan seketika amarahku meluap demi melihat berbagai kue terhampar di atas meja. Terlebih, Mama menyantapnya dengan lahap.
“Mama! Apa-apaan, sih? Udah dibilang jangan banyak makan manis! Nanti gulanya naik lagi!” omelku merebut piring dengan potongan bolu besar berlapis krim dari depan Mama.
Mama balik melotot. “Apaan, sih, Chan? Datang-datang, kok, malah ngomel-ngomel?”
“Ya Mama sendiri yang bikin ulah! Udah tahu gulanya tinggi, malah makan manis lagi manis lagi!” teriakku makin memberang.
“Mama cuma cobain doang, Chandra! Ini kue katanya buatan calon istri kamu! Enak, loh! Kamu juga cobain, yuk!” tawar Mama dengan nada suara yang lebih lunak.
Dia menyendok sepotong kue keju dan hendak menyuapiku. Tanpa babibu, aku segera menampik sambil bergidik ngeri.
“Nggak!” bentakku. “Mama, please! Mama udah tau Papa dulu meninggal karena gula! Chandra aja berisiko tinggi, apalagi Mama yang jelas-jelas udah divonis dokter pengidap DM. Chandra nggak mau Mama—”