Sweet vs Savoury

Yuanita Fransiska
Chapter #20

What to Do?

Tiga bulan yang lalu.


“Gimana, dong? Masa ditunda lagi? Ini udah kelima kalinya ditunda!” teriak Mama sambil memegang ponsel di telinga. 

Aku melirik sekilas pada wanita yang sejak setengah jam lalu mondar mandir di ruang tengah sambil berteriak-teriak di telepon. Sejak pandemi Covid-19 melanda enam bulan lalu, Mama selalu uring-uringan. Bukan hanya karena tidak bisa keluar rumah dan bertemu teman-temannya, tetapi juga karena urusan pernikahan yang jadi buyar. Pemberlakukan pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah membuat acara besar seperti hajatan tidak boleh dilakukan. Apalagi sejak saat itu juga Mama lebih sering bekerja dari rumah karena ada komorbid penyakit.

Sebenarnya, untukku yang biasa di rumah, keharusan untuk tidak bepergian sudah menjadi hal lumrah. Aku malah senang karena orang-orang jadi bisa merasakan apa yang aku rasakan. Bukankah di rumah saja juga bisa menyenangkan? 

Hah, tidak mungkin. Pasti respon orang berbeda menghadapi pandemi ini. Seperti Mama misalnya, yang biasa selalu dikelilingi teman-temannya. Setiap hari dia marah-marah karena katanya tidak ada yang bisa diajak bicara di rumah. Padahal aku sudah bersedia “turun gunung” demi menemaninya berada di lantai bawah. Aku juga sudah menanggapi kata-katanya dengan logika yang benar. Namun tetap saja, setiap bicara denganku, Mama malah menggeram seolah ingin mencekikku.

Malas menghiraukan Mama karena ujung-ujungnya pasti aku yang salah, aku melanjutkan permainan di Nintendo Switch sambil meraup kacang panggang dan memasukkannya ke mulut. 

“Iya, iya! Saya tau kasus Covid-nya lagi merebak. Tapi gimana? Saya udah bayar gedung, katering, baju, semuanya? Kalo gini siapa yang rugi?”

Entah apa yang dibicarakan orang yang ada di seberang telepon Mama, yang jelas di akhir percakapan wanita itu membanting badan di atas sofa sebelahku. Kulihat Mama memijat pelipisnya pelan, sebelum akhirnya menerima telepon lain dan mengulangi perbincangan yang sama.

“Haduh! Gimana ini, Chan? Kenapa jadi repot begini, sih? Gara-gara PSBB, PPKM, apalah itu, susah mau ngadain acara!” gerutu Mama setelah menutup telepon kedua.

“Ya udah ikutin aja pemerintah. Emang nggak boleh, mau gimana? Kalo nggak, batalin aja sekalian acaranya,” sahutku datar dengan mata masih terfokus pada layar.

Sebuah bantal seketika mendarat di atas tanganku, membuat jari yang hendak menembakkan gol terpeleset. Hasilnya, timku kehilangan kesempatan menambah angka. 

“Batalin batalin! Seenak udelmu! Mama udah bayar semuanya! Lagian mau dikata apa kita sama besan kamu! Masa kita nggak adain acara?” omel Mama.

“Ya … Mama maunya Chandra nikah apa mau ngadain pesta?” Aku balas bertanya.

“Ya kamu nikahlah!” tukas Mama. 

“Ya udah. Adain akad aja di sana. Beres, kan?” 

Mama mendesah. “Tapi kamu, kan, anak satu-satunya, Chan! Masa Mama nggak ngadain pesta buat kamu? Mama, kan, nggak bakal nikahin siapa-siapa lagi. Ini kesempatan buat adain acara!”

“Itu namanya Mama mau ngadain pesta!” sergahku geleng-geleng kepala.

“Ya ... habis gimana? Kita, kan, selama ini nggak pernah ada acara. Kapan lagi, kan? Apalagi Mama udah kondangan di mana-mana, masa nggak dapat balikan? Kalau cuma akad, sayang, kan, nggak bisa ngundang orang-orang,” jelas Mama absurd.

“Mama itu kurang apa, sih? Sampe ngarepin balikan dari orang-orang? Mama kerja, gajinya gede. Chandra juga kerja. Tabungan ada. Usaha ada. Masih aja ngarepin balikan kondangan! Malu-maluin!” tukasku setelah berdecak keras. “Udahlah, nggak usah nikah aja sekalian. Bikin repot. Lagi pandemi gini juga!”

“Hus! Kamu itu kalo ngomong jangan sembarangan!” Mama melotot sambil mencubit pipiku. “Ya nggak bisa dibatalinlah. Pokoknya kamu harus nikah sama Dhira! Titik!”

“Ya udah, tadi dibilang akad aja nggak mau! Sekarang pusing sendiri!” balasku tak mau kalah. “Lagian Mama, tuh, udah ada penyakit. Jangan capek-capek, apalagi sampe stres!”

“Mama itu cuma pengin ngelihat kamu bahagia, Chandra. Mama ngadain pesta besar ini, ya, buat kamu. Biar kamu ada kenangan seumur hidup di pernikahan kamu,” terang Mama menerawang. “Apalagi sekalian keluarga kita juga bisa silaturahmi, kan? Udah lama nggak pernah kumpul.”

“Itu Chandra yang bahagia apa Mama?” cecarku menaikkan sebelah alis. “Mama, kan, tau. Chandra malah paling malas pesta ribet gitu. Lagian lagi pandemi gini, malah bahaya ngadain pesta, Ma. Gimana kalau jadi klaster penyebaran Covid? Apalagi Mama juga ada komorbid!”

Lihat selengkapnya