“Hai, Chan. Sorry, kemarin nggak bisa datang, ada kerjaan mendesak.”
Langkahku terhenti dan tubuhku membeku demi melihat pria sebayaku yang berdiri di samping Mama. Dia mengenakan setelan jas, bahkan terlihat lebih rapi dibandingkan aku yang masih mengenakan kaus putih oblong dengan celana pendek. Kalau orang salah mengira, pasti dia yang akan dikira mempelai pria. Yah, memang sejak dulu, semua perhatian selalu ditujukan pada sepupuku itu. Siapa lagi kalau bukan Yudha.
“Iya,” sahutku pelan, seperti orang berkumur. Aku mengalihkan perhatian pada Mama yang kini sedang duduk di depan cermin sambil dirias. “Mama yakin kuat? Udah mendingan badannya?”
“Duh, kamu nggak lihat Mama lagi didandanin? Mama udah nggak apa-apa, Chandra! Nih, lihat! Udah segar bugar begini!” omel Mama.
“Loh, Bulek Rahayu kenapa?” tanya Yudha, lagi-lagi sok perhatian.
“Nggak apa-apa, Yud. Cuma semalam rada kecapekan aja. Chandra aja yang lebay, mikirnya yang aneh-aneh terus! Sana kamu temenin dia ganti baju! Suruh cepetan!” perintah Mama tanpa menggerakkan kepala yang sedang dipasang kerudung.
Yudha tersenyum. “Ayo, Chan—”
“Nggak usah!” tukasku ketus. “Aku bisa sendiri!”
Kulihat wajah Yudha ternganga sebelum bergegas menuju kamar mandi dan membanting pintu.
***
Mama berkali-kali merapikan jas yang sudah melekat sempurna di badanku sambil mengobrol dengan keluarga lain. Aku memasang wajah datar, ingin sekali memarahi wanita yang melahirkanku itu. Pasalnya, dari raut wajahnya, Mama terlihat pucat, tetapi masih sok kuat. Apalagi dia masih saja pura-pura tidak terjadi apa-apa dan melarangku memberitahukan keluarga bahwa dia sakit semalam.
Perhatianku seketika teralihkan saat suara ribut terdengar diiringi tatapan orang sekitar yang tertuju ke arah tangga. Aku mengikuti arah pandangan mereka dan dalam sedetik aku pun turut terkesima. Jantungku berdebar demi melihat sesosok putri seperti turun dari langit. Bukan, dia gadis yang kemarin mengunciku di kamar. Sungguh kali ini dia terlihat sangat berbeda. Sangat … cantik dan memesona.
Pandangan kami bertemu sesaat dan aku tetap tak bisa mengalihkan mata dari wajahnya. Dia mengulum senyum, kemudian beralih melihat sekitar. Ya Tuhan, baru kali ini aku tubuhku gemetar karena bertatapan dengan seorang perempuan. Apalagi sekarang dia sudah menjadi, ehm, istriku. Ya, dia milikku.
Aku tak pernah membayangkan akan memiliki seorang perempuan untukku sendiri. Perempuan nyata, bukan hanya di layar saja.
Mama menyambutnya dengan ceria, sementara aku masih berupaya menyadarkan diri yang terbius dengan pesonanya. Terlebih saat dia disuruh melingkarkan tangannya di lenganku. Aku menutupi gemetar yang terjadi di sekujur tubuhku dengan memasang wajah datar dan menatap lurus ke depan. Tak berani melirik sedikit pun ke sebelah, aku hanya bisa merasakan sentuhan lembutnya menelusup dan hanya terhalang jas yang menutupi lengan. Perjalanan menuju pelaminan yang hanya terpaut jarak sekitar delapan meter kini terasa seperti berpuluh kilometer.
Acara berlangsung membosankan. Aku hanya berdiri seperti boneka yang bersalaman dengan para tamu yang datang. Mama beberapa kali melotot sambil menyuruhku tersenyum, sementara aku berulang kali menegurnya untuk beristirahat. Makin lama, wanita itu makin terlihat kepayahan. Aku khawatir Mama akan kelelahan dan kemudian jatuh pingsan.
Belum juga lima menit otakku memikirkan hal itu, tak disangka langsung saja kejadian!
***