Entah berapa lama waktu berlalu, aku sudah tidak peduli lagi. Yang jelas sekarang langit gelap berangsur turun, mungkin sudah sore hari. Jenazah Mama—aku masih tak sanggup menyebutnya demikian—sudah dipindahkan dari UGD ke tempat pemulasaraan jenazah. Sekarang mereka sedang mengurusnya, tetapi aku tidak diperbolehkan masuk karena khawatir membuat keributan (lagi).
Aku duduk di kursi depan ruangan sendirian. Bau asing menyeruak dari dalam ruangan, membangkitkan bulu kuduk hingga meremang. Namun begitu, hatiku masih terlampau kalut untuk bisa merasakan perasaan lain selain sesak yang mendalam. Aku masih tidak percaya, akan kehilangan Mama secepat ini.
Kenapa harus Mama? Orang yang selalu ceria dan punya semangat hidup paling tinggi? Kenapa bukan aku? Aku rela menggantikan Mama untuk mati. Toh, hidupku juga tidaklah berarti. Kalaupun aku mati, tidak akan ada yang menangisi kepergianku dari muka bumi. Berbeda dengan Mama, dia adalah cahaya di setiap tempat yang didatangi.
Kehadiran Pakde Jono yang seketika berada di depanku membuatku terlonjak. Aku otomatis bangkit, menatap nanar pada raut wajah yang mirip dengan Mama. Pelukan erat dan bisikan kalimat diutarakan Pakde Jono, membuat hatiku yang gamang kini terasa ingin menangis lagi. Begitu pula pelukan yang kurasa dari Bude Rini, membuatku merindukan Mama secepat ini.
Napasku tertahan saat melihat seraut wajah yang sejak tadi membuat darahku mendidih. Dhira! Ini dia sang pelaku utama dari semua bencana! Sial! Kenapa dia harus ikut datang? Kenapa dia ada di sini? Ya Tuhan, kalau ada wajah yang tidak ingin kulihat sekarang, itu adalah dirinya dan keluarga sialannya!
Dhira memasang muka sedih, mendekatiku dan hendak berkata. Kemarahan yang sejak tadi berkumpul di dada, tanpa sadar kulampiaskan pada gadis yang hanya setinggi dadaku. Kuhujamkan kata-kata kasar untuk menyakitinya, supaya dia merasakan kehilangan yang aku rasakan. Aku tak peduli walau dia menangis atau meraung. Rasanya ingin kuhempaskan dia dari hadapanku. Aku terus berteriak padanya, terus dan terus seperti ada energi yang membuatku melakukannya tanpa sadar. Bukannya puas, aku malah makin haus akan pelampiasan.
Tanganku terkepal, seluruh pembuluh darahku seolah akan meledak. Kalau saja Pakde Jono tidak menarikku, aku mungkin saja sudah mencekiknya hingga dia menyusul Mama ke alam baka!
"Istighfar, Chandra. Tenangin diri kamu," bisik Pakde Jono saat kami berada di sisi lain rumah duka.
"Gimana bisa tenang? Gara-gara dia Mama jadi mati!" sangkalku ketus.
Pakde Jono mengusap-usap bahuku. "Pakde tahu semua ini sangat berat buat kamu. Chandra. Pakde juga merasa kehilangan. Tapi ini bukan salah siapa pun, ini kehendak Tuhan."
"Berarti Tuhan yang salah! Harusnya dia yang mati, bukan Mama!" teriakku dengan suara serak.
"Astaghfirullah, Chandra. Kata-katamu udah kelewatan," tukas Pakde Jono. "Kamu boleh merasa berduka. Tapi jangan salahkan Tuhan. Apalagi kamu sampai menyumpahi orang untuk mati. Sadar, Chandra! Ini bukan diri kamu yang sebenarnya. Chandra yang Pakde tahu tidak akan berkata kasar pada siapa saja, apalagi menyalahkan Tuhan. Dia yang memberi kita kehidupan, Dia juga yang berhak mengambilnya melalui kematian. Semua yang bernyawa, pasti akan mati, bukan?"
Telingaku terasa panas mendengar ceramah Pakde Jono. Kemarahan dalam hatiku masih belum bisa sirna meskipun mungkin saja kata-kata pria itu benar. Aku benar-benar yak peduli. Tanganku masih terkepal keras, seketika aku hujamkan tinju pada tembok pembatas area rumah sakit. Bukan hanya sekali, tetapi dua sampai tiga kali. Bersamaan dengan itu, air mataku menetes seperti lelehan lava panas dari gunung berapi.
"Kenapa Mama harus pergi? Kenapa Mama ninggalin aku?" raungku tak dapat lagi terbendung.
Aku menjatuhkan diri, berjongkok di depan tanaman hias di bawah pagar pembatas. Pakde Jono ikut berjongkok di sebelahku.
"Sabar, Chandra. Sabar. Kamu pasti bisa melewati ini. Sekarang, tinggal doakan Mama kamu. Semoga Mama kamu tenang di sisi-Nya."