Aku duduk menekuk lutut di atas kasur, menggigit kuku jempol dengan keras. Keringat dingin membanjiri tubuhku, seiring degup jantung tidak menentu. Ingatan kelakuanku yang membanting pintu sepeninggal Pakde Jono terbayang jelas, terutama saat mata Dhira terbelalak dan hidungnya seperti menahan napas. Rasa bersalah menyelimutiku. Apa aku sudah kelewatan?
Tidak. Aku cuma senang karena Yudha—sang pengganggu—sudah pergi. Maksudku wajar bukan, kalau aku kesal. Aku saja belum pernah berbicara langsung dengan Dhira. Tapi dia sudah seenaknya memeluk cewek itu. Ugh, benar-benar memuakkan.
Namun yang aku bingung, kenapa aku semarah ini? Biar saja mereka mau melakukan apa pun, toh aku tidak peduli. Meskipun begitu, seperti ada pisau yang menoreh bagian dalam dadaku, membuat perih dan sesak yang tidak bisa digambarkan.
Aneh. Benar-benar aneh. Gara-gara Dhira, sekarang aku juga jadi gila. Argh! Sial! Mungkin aku perlu jungkir balik supaya otakku tidak kusut seperti rambutku.
Bunyi gemericik di perut yang sejak tadi mengganggu, tak bisa lagi kuabaikan. Dengan enggan, aku bangkit dari singgasana kasur. Aku masuk ke nest, mengobrak abrik kulkas dan rak tempat penyimpanan makanan. D*mn! Tidak ada satu bungkus makanan pun tersisa. Bahkan, air mineral juga tidak ada. Aku baru ingat kalau aku belum belanja camilan gara-gara urusan pernikahan yang merepotkan. Uh! Menyebalkan! Kutendang bantalan sofa yang berserakan di lantai sebagai pelampiasan.
Mau tak mau aku harus turun dan mencari makanan di dapur. Aku bergegas keluar kamar dan menuruni tangga. Seketika aku terhenti saat tiba di tangga kedua dari atas. Keraguan mendadak muncul, bagaimana kalau aku ketemu Dhira? Sial, aku tak memikirkan kemungkinan ini tadi.
Aku balik lagi ke atas, menyusuri koridor menuju kamar. Setibanya di pintu, aku kembali terdiam. Kenapa aku harus kembali lagi? Aku tidak perlu takut sama Dhira. Ini rumahku, aku yang punya kuasa. Memangnya kalau ketemu aku, dia mau apa?
Kujambak rambut demi menghancurkan karang kebodohan di otakku. Kalau sampai Dhira melihatku dilema seperti ini, aku pasti kehilangan muka di depannya. Tenang. Aku harus bersikap tenang. Toh, gadis itu sejauh ini tidak macam-macam.
Kembali turun, aku menahan degup jantungku yang semakin bertalu. Napasku tertahan saat tiba di ruang tengah, kulihat gadis yang sejak tadi menghantui pikiran sedang duduk melipat lutut di atas sofa. Aku berbalik dan bersembunyi di balik tembok, kemudian mengintip ke arahnya. Wajahnya bertumpu di lengan yang terlipat di atas lutut, tertutupi rambut panjangnya yang menjuntai. Suara televisi terdengar memecah kesunyian, berikut cahaya berpendar yang memantul di kulit putihnya. Dia pasti tidak akan menyadari kalau aku lewat, aku hanya perlu cepat-cepat mengambil makanan dan kembali ke kamar.
Tunggu dulu. Kenapa aku bersembunyi? Dan lagi, kenapa sekarang aku seperti maling yang mau mencuri di rumah sendiri? Edan!
Aku menghela napas sebelum keluar dari tempat persembunyian dan berjalan dalam senyap. Dalam hati aku berdoa, semoga dia tidak tiba-tiba mengangkat kepala. Lewat di dekatnya, aku tercengang dan terdiam sesaat. Kudengar suara tangisan yang teredam, begitu dalam dan berat. Aku penasaran apa yang membuatnya menangis seperti itu? Ah, tapi itu bukan urusanku. Sekarang kepentinganku hanya mengambil makanan. Aku tidak mau lagi berkonfrontasi dengannya.
Kulanjutkan misi mengambil makanan di dapur. Berbagai bungkus makanan ringan dan juga roti yang ada aku masukkan ke kantung, lumayan untuk mengganjal perut. Aku bisa pesan layanan antar makanan nanti, paling tidak sekarang aku punya ransum. Saat hendak mengambil bungkus roti terakhir, aku berhenti. Paling tidak aku sisakan untuk Dhira, biar dia bisa makan nanti. Yah, bagaimanapun kesalnya aku pada cewek itu, aku tidak akan membiarkannya mati kelaparan di rumahku ini. Aku orang baik, kan?
Setelah menuang air ke dalam beberapa botol dan memasukkannya ke kantung besar, aku siap kembali ke kamar. Lagi-lagi aku harus menenangkan diri sebelum melewati gadis yang masih tetap dalam posisinya tadi di sofa. Sungguh, perjalanan yang tidak sampai sepuluh meter ini seperti menyimpan ranjau di dalamnya. Aku harus berhati-hati, supaya tidak meledakkannya.
Tangisan dan isakan menyambutku saat aku berada lima langkah di belakang gadis itu. Tubuhku merinding mendengarnya, meluruhkan tembok es yang sudah kubangun di sekeliling hatiku. Bagaimanapun, aku tak kuasa mendengar tangisan perempuan, mengingatkanku pada Mama ketika hari kematian Papa.