Genggaman tangan lembut terasa saat aku membuka mata untuk kesekian kalinya. Aku melirik ke samping tempat tidur dan terhenyak saat melihat Dhira duduk di lantai sambil menyandarkan tubuh di pinggir kasur. Matanya terpejam, tubuhnya sama sekali tidak bergerak. Dia pasti tertidur sangat lelap dengan posisi yang sungguh tidak nyaman untuk beristirahat itu.
Astaga! Kenapa dia seperti ini padaku?
Ingatan ketika dia memaksaku makan tadi membuatku sesak. Selama ini aku bersikap kasar padanya, tetapi dia masih bersedia memerhatikanku. Dia juga memaksaku minum obat hingga sekarang badanku terasa sedikit ringan. Kepalaku yang tadi sangat berat juga sudah tidak terlalu terasa. Ini semua berkatnya. Gadis yang beberapa hari ini selalu menjadi objek kemarahanku.
Aku membuang napas kasar, memaki sikap burukku yang sudah kulakukan padanya. Aku sungguh menyesal telah membuatnya menderita, hingga menangis dalam diam. Dia yang kutuduh menjadi penyebab kematian Mama, padahal dalam hati kecilku aku menyadari bahwa ini bukan salahnya. Dia yang bukan siapa-siapa, tetapi aku tak rela jika dekat dengan Yudha. Dia yang membuatku bingung karena memberikan perhatian sedemikan rupa padaku, orang yang sudah membentaknya dan melampiaskan ego padanya.
Oh, Tuhan. Perasaan apa ini? Kenapa aku merasa sangat bodoh dan bersalah seperti ini?
Tidak. Aku tidak bisa terus seperti ini, bersembunyi dalam rasa bersalah yang makin menggerogoti diri. Aku harus membalas kebaikannya supaya aku tidak punya utang budi.
Dengan hati-hati, aku melepaskan genggaman tangannya yang terasa makin panas. Aku turun perlahan, kemudian memindahkan tubuh mungil itu ke tanganku. Segenap kekuatan kupancarkan saat menggendongnya dan menempatkannya di atas kasurku. Dia tak bergerak, mungkin tidur terlalu lelap. Bagus sebenarnya, karena aku tidak tahu harus berkata apa jika dia tiba-tiba bangun dan mendapatiku menyentuhnya.
Iya, aku ingin sekali lagi menyentuhnya. Kudaratkan tangan di pipi putih kemerahan yang juga terasa panas itu. Begitu pula dahi serta lehernya. Aku sungguh tak tega melihatnya seperti ini, karena tadi aku juga merasakan sakit yang sama. Seharusnya aku juga melakukan apa yang sudah dilakukannya, menjaganya supaya sembuh. Paling tidak, aku harus membantu pekerjaannya.
Entah dorongan setan apa, aku tak dapat menahan tubuhku yang makin condong ke arahnya. Kukecup dahinya yang terasa seperti panci di atas kompor menyala. Dia mengerang, membuatku terhenyak. Tak ingin ketahuan karena sudah mencuri ciuman, aku segera kabur dari kamar.
Dentuman keras melanda jantungku seiring tubuhku yang gemetar hebat. Gila! Apa yang sudah kulakukan? Kenapa aku mencium orang yang sedang tidur sembarangan? Sangat tidak sopan! Seharusnya aku minta izin dulu, bukan? Tapi kalaupun aku bilang, apa dia akan mengizinkan? Yang ada pasti aku ditendang!
Beberapa saat kemudian aku kembali, menyadari kebodohan yang sudah kulakukan sendiri. Dia masih terlelap, kali ini tidak merintih lagi. Kuambil nampan berisi mangkok dan gelas yang tadi kugunakan. Akan kucuci biar dia tidak kerepotan saat bangun nanti.
***
Jantungku seperti ditabuh begitu keluar dari pintu dapur. Terdengar teriakan frustrasi perempuan dari dalam, membuatku yang sedang gemetar makin terlonjak. Buru-buru aku pergi dari tempat kejadian perkara, menghindari amukan singa betina.
Yah, wajar saja Dhira marah. Aku telah mengubah dapur seperti baru saja terjadi bencana. Maksud hatiku untuk membantunya mencuci piring dan baju malah menjadi masalah besar. Aku yang memang tidak pernah sekali pun melakukan pekerjaan itu malah mengacaukannya. Kukutuk diriku yang lupa menutup keran wastafel, juga yang membuat mesin cuci bergetar parah. Bodoh. Aku benar-benar bodoh.