Aku kembali mematut diri di cermin setelah beberapa kali melakukannya. Kupastikan tidak ada sisa sabun atau pasta gigi yang tertinggal di wajah setelah mandi tadi. Tak lupa kusisir ulang rambutku, sebentar belah tengah, kemudian belah kiri, dan ujung-ujungnya seperti semula, belah kanan. Kuendus badanku sekilas dan aroma sabun masih menguar, tetapi ini kurang. Kusemprotkan parfum yang baru dua kali kupakai itu ke badan. Tak lupa aku mengembuskan napas dari mulut ke telapak tangan, memastikan kalau bau mulut sudah tidak ada.
Tunggu dulu. Kenapa persiapanku seheboh ini? Aku cuma mau makan siang di dapur, bukan di restoran mahal!
Hah, sudahlah. Aku harus segera turun. Lagi pula, bisa saja aku bertemu Dhira, bukan? Aku tidak mau terlihat kusam.
Debaran jantung menelusup dadaku saat menuruni tangga dan berjalan menuju dapur. Begitu membuka pintu, aku tercengang menatap berbagai hidangan yang sudah memenuhi meja makan. Namun, yang membuat tubuhku gemetar adalah sosok yang duduk di depannya, dengan rambut terurai ke meja sementara wajahnya tersembunyi di atas lengan yang terlipat.
Astaga! Jangan bilang Dhira menungguku! Kalau tahu begini, aku tidak akan lama-lama mandi!
Perlahan, kakiku melangkah menuju meja makan. Entah apa yang membuatku tak bisa berhenti hingga tanpa sadar berada di sisi Dhira. Gadis itu tak bergerak, sepertinya tertidur. Mungkin dia lelah setelah menyiapkan makanan sebanyak ini. Seperti melayang, tanganku seolah bergerak sendiri membelai rambut panjang gadis itu. Sungguh lembut, seiring getaran halus yang merambat melalui telapak tangan hingga membuat tubuhku gemetar.
Aku menahan napas saat gadis itu sedikit bergerak. Jangan sampai dia menyadari aku menyentuhnya tanpa izin. Mengepalkan tangan yang tadi membelainya, aku buru-buru duduk di kursi yang terletak di seberang gadis itu. Aku menenggak air yang sudah disiapkan untuk menyingkirkan lonjakan perasaan yang tiba-tiba memenuhi sekujur badanku dengan gelenyar.
Rasa hangat kembali menjalari hatiku saat melihat hidangan yang sudah tersaji. Ayam saus mentega, kesukaanku, persis seperti yang dibuat Mama. Kulirik gadis mungil yang masih terpejam. Ya Tuhan! Bagaimana dia bisa tahu tentang makanan ini? Dan lagi, dia menyiapkannya sendiri. Apa dia hadir untuk menggantikan sosok Mama yang sudah pergi?
Tak sabar, aku segera menyendok nasi dan juga ayam saus mentega buatannya. Aku ingin segera mencicipi makanan yang sudah lama tidak dibuat Mama ini. Namun tiba-tiba, suara serak dan lembut menyapaku, membuatku mati kutu. Sudah kepalang tanggung, aku bersikap datar seperti biasa. Pasti sangat canggung kalau dia sampai tahu aku sudah mengusap kepalanya.
Dhira terus berceloteh, menanyakan berbagai hal yang membuatku harus menahan diri untuk tidak bergerak menyentuhnya. Apalagi bayangan saat tubuhnya yang hanya berbalut handuk kemarin tiba-tiba muncul di depan mata. Astaga! Sekuat tenaga aku mengusir pikiran kotor yang menelusup. Aku tidak mau dicap sebagai pria mesum oleh gadis itu.
Namun dibanding itu semua, aku sangat menikmati makanan buatannya. Benar-benar seperti buatan Mama. Entah darimana dia bisa mengetahui cara membuat makanan ini, yang jelas kerinduanku pada Mama sedikit terobati berkatnya.
Selesai makan, aku hendak beranjak, tetapi Dhira menahanku. Dia membuka kulkas dan mengeluarkan sebuah kue berwarna kuning dengan bagian atas merah berpadu stroberi. Entah bagaimana, seketika napasku sesak dan jantungku berdebar hebat. Rasa mual muncul seiring dengan keringat dingin yang mengalir deras. Ingatan tentang Mama yang menyantap makanan seperti itu setiap ada kesempatan seketika berkelebatan di otakku. Gara-gara makan makanan manis seperti itu, aku kehilangan Mama!
***
Aku masih mengatur napas yang memburu dan dada yang naik turun tidak mau berhenti. Air mataku tak kuasa lagi tertahan, berpadu dengan isakan yang menyesakkan. Seluruh tubuhku gemetar hebat, berikut desakan ingin memuntahkan seluruh makanan yang sudah menghuni lambung.
Duduk melipat lutut di atas kasur, aku mencoba berdamai dengan perasaan campur aduk yang membuatku seperti orang sekarat. Di satu sisi, aku benci setengah mati demi melihat makanan manis yang sudah merenggut nyawa Mama—dan juga Papa. Namun di sisi lain, aku juga merasa bersalah pada Dhira karena sudah menampik kue buatannya hingga jatuh dan piringnya pecah.