Aku melempar ponsel ke atas kasur, kemudian menjambak rambutku dengan keras. Mulutku tak berhenti menyumpah serapah, sementara kakiku menendang kursi hingga terpental ke dalam nest. Tak puas, kutinju cermin yang menjadi pembatas pintu lemari hingga pecah berkeping-keping.
“Sialan!” teriakku tak memedulikan tetesan darah di buku-buku jari. Rasa sakit yang ditimbulkan juga tak sedikit pun terasa, tertutup muntahan lava kemarahan dari dalam dada.
Gema suaraku memantul di seantero kamar yang makin porak poranda. Kubuang selimut dan bantal, juga action figure yang memenuhi meja. Kulepas paksa poster-poster yang menempel di dinding, kemudian merobeknya hingga menjadi serpihan.
Semua yang kulakukan tidak dapat melepaskan desakan angkara yang menyumbat di dalam dada. Malah yang ada, aku makin ingin berteriak sekeras-kerasnya.
“Terserah kamu mau bilang apa, yang jelas aku nggak bisa lihat Dhira menderita lagi. Dia terlalu baik untuk kamu yang bahkan nggak pernah ngomong sama orang lain selain komputer dan game kamu! Kalau kamu nggak mau ke rumah sakit, biar aku yang ke sana! Aku yang akan urus Dhira!”
Ucapan terakhir Yudha menggema di telingaku, berikut bayangan wajah menyebalkannya saat mengucapkan. Dia pasti menikmati ini semua hanya untuk menyakitiku, merebut semua perhatian dariku. Sejak dulu, memang itulah yang selalu dia lakukan padaku.
Tidak! Tidak akan lagi! Apalagi kini dia akan merebut Dhira dariku. Sial! Memangnya, siapa dia? Dia pikir dia lebih baik dariku? Kalau dia lebih baik, kenapa dia ditinggalkan pacarnya? Sudah begitu, seenaknya mau merebut istri orang!
Namun begitu, aku yakin Yudha tidak pernah main-main dengan perkataannya. Dia pasti akan menjalankan rencananya dan datang ke sini tiba-tiba. Apalagi dia dan Dhira pasti sudah saling berkirim pesan, bahkan rumah sakit saja menghubungi dia untuk memberitahu kondisi Dhira. Ya, dia pasti akan melakukan apa pun untuk bisa mencapai tujuannya. Dhira pasti akan mudah terkecoh dengan penampilannya yang seperti malaikat, tetapi hatinya busuk seperti iblis. Tidak, Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.
Dhira adalah milikku, satu-satunya orang yang tersisa dalam hidupku. Aku tidak akan membiarkannya pergi, apalagi menjadi milik Yudha. Aku tidak akan mengulang apa yang terjadi dengan Mama. Aku akan menjaganya dan membuat dia perempuan paling bahagia di dunia.
Sungguh, aku menyesal dengan apa yang sudah kulakukan padanya. Kalau saja sejak awal aku tidak bersikap ketus padanya, tidak marah-marah padanya, dan tidak memperlakukannya semena-mena, dia pasti masih akan berada di sini, di sisiku. Aku memang sampah, sudah menyalahkannya atas kematian Mama. Aku hanya menutupi rasa sakitku dengan menjadikan dia tameng yang bisa disalahkan. Padahal, dalam hati kecilku, aku tahu. Semua itu bukan salahnya.
Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan? Mengapa aku begitu bodoh? Apakah sekarang semua sudah terlambat? Jika aku bisa diberikan kesempatan sekali lagi, aku ingin memutar waktu walau harus menukar nyawa sekali pun.
Tubuhku bersandar di dinding, kemudian perlahan turun hingga jatuh terduduk di atas lantai yang dingin. Aku menutup wajah dengan tangan, menahan air yang entah bagaimana tak bisa berhenti meluncur dari mataku. Sebuah ingatan seketika berkelebat dalam otakku. Bayangan terakhir kali aku melihat Dhira di dalam rumah ini membuat dadaku terasa sesak. Saat itu, aku menikmati hidangan yang dia buat. Semua begitu nikmat dan aku mulai menyukai kedekatanku dengannya yang mulai terasa. Namun semua berubah saat dia menyuguhkan kue manis di depanku. Dan aku … menampiknya hingga hancur berkeping-keping. Bola matanya terbelalak, sementara wajahnya berubah pucat. Itu semua karena aku! Aku yang membuatnya pergi dari sini!
Kesadaran ini seperti tangan tak kasatmata yang menamparku bertubi-tubi. Kini aku tak ubahnya seperti pengecut yang hanya bisa meringkuk di dalam lubang kelinci.
Aku tidak berguna. Aku payah. Aku bodoh! Aku benci diriku sendiri!
Mataku terpejam erat, sementara otakku berputar seperti prosesor komputer yang sedang memproses data. Hatiku terasa perih, entah bagaimana yang Dhira rasa. Dia pasti muak dengan diriku yang sungguh hina dan menyedihkan ini. Apa benar kata Yudha, aku memang tidak pantas untuknya? Aku hanya seorang egois yang hanya mementingkan diri sendiri, padahal ada seorang gadis yang membutuhkan pertolongan di sini.
Aku menghela napas panjang, membiarkan udara memenuhi rongga paru-paru. Kubiarkan oksigen memasuki otak, menjernihkan pikiranku yang kini tak ubahnya seperti benang kusut.
Tidak. Aku tidak bisa terus menerus bertindak bodoh seperti ini! Dhira membutuhkanku. Hanya aku satu-satunya keluarga yang mengetahui ini—selain Yudha dan sudah kucoret dari daftar keluarga. Aku harus memperbaiki semua kesalahanku pada Dhira. Akan kurangkai kembali pecahan piring yang sudah hancur karena kutampik. Aku akan melakukan cara apa pun agar Dhira tetap berada di sisiku, dalam keadaan sehat, selamat, dan bahagia.
Aku tidak akan menyerah dan mengulangi kesalahan yang sama.
Dengan kekuatan yang seketika muncul dari dalam dada, aku menarik selimut yang sudah teronggok di belakang pintu. Kubuka helaiannya yang terlipat tak menentu, mencari ponsel yang tadi kulempar ke situ. Ketemu! Segera kucari nama Pakde Jono dalam daftar kontrak, kemudian menekan ikon telepon berwarna hijau.