Sweet vs Savoury

Yuanita Fransiska
Chapter #29

The Biggest Regret

Aku masuk ke mobil dan membanting badan di atas jok setelah meletakkan koper milik Dhira di bagasi belakang. Kuletakkan asal tas selempang milik gadis itu, yang tadi diserahkan oleh perawat. Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengembalikan tanganku yang gemetar setelah membawa barang yang telah dibawa Dhira dari rumahku tadi. Seperti deja vu, aku mengalami hal seperti ini juga saat membawa barang-barang Mama tanpa orangnya di rumah sakit tempo hari.

Tubuhku terasa sangat lelah dan dingin hingga aku bersandar sejenak di kursi yang sudah kurebahkan. Hatiku masih gamang, seperti ada batu besar yang menghimpit ketenangan dalam hati. Aku tidak langsung menyalakan menjalankan mesin mobil, melainkan berdiam sejenak untuk menenangkan pikiran. Sebenarnya aku tidak ingin pulang, aku ingin menjaga Dhira di sini. Namun, kondisi tidak memungkinkan. Sekarang aku bingung, apa yang harus kulakukan?

Dengung samar seiring getaran lembut terasa dari kursi sebelahku. Pasti atasanku di tempat kerja yang bertanya kenapa aku tidak masuk ke Zoom untuk rapat. Biarlah. Aku sedang malas menanggapi. Nanti saja aku izin dan bilang kalau istriku masuk rumah sakit.

Ketenanganku terus terusik akibat dengung ponsel yang tidak kunjung berhenti itu. Biasanya bosku tidak akan sebawel ini. Aku menggerakkan tangan untuk meraba benda itu, kemudian mengangkatnya malas. Tampak layar amoled masih hitam legam, tidak ada tanda-tanda adanya panggilan. Aku mengernyitkan dahi. Jadi getaran apakah ini?

Pertanyaanku terjawab saat aku menyentuh tas milik Dhira yang tadi kubawa. Dengan ragu, aku menariknya ke atas pangkuanku, kemudian memasukkan tangan dan mengaduk isinya. Setelah berulang kali meraba benda yang tidak familiar—seperti lipstik, bedak, dan berbagai perlengkapan wanita lainnya—aku berhasil menemukan sumber getaran dari dalam tas itu. Layar ponsel berkedip di depan mataku dan aku terlonjak demi melihat nama yang tertera. 

Mama!

Aku yang tadi bersandar seketika terduduk tegak, sementara jantungku berdegup kencang. Aku menutup mulut entah mengapa. Tubuhku seperti membeku dan tidak tahu harus bagaimana. Jempolku sesekali bergerak, apakah akan menekan ikon telepon berwarna merah atau hijau. Apa yang harus aku katakan pada ibunya Dhira tentang kondisi anaknya? Apalagi semua yang terjadi adalah kesalahanku! Argh!

Tidak. Aku tidak boleh terus bersembunyi seperti pecundang seperti ini. Aku harus hadapi, apa pun yang terjadi. Aku harus mengatakan pada orang tua Dhira dan meminta maaf atas ketidakbecusanku menjaga anaknya. Aku harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Dhira.

Aku menghela napas, mempersiapkan hati untuk mendengar suara orang tua Dhira. Pasti mereka khawatir dengan kondisi anaknya yang tidak bisa dihubungi. Atau mungkin, mereka sudah tahu kalau Dhira masuk ke rumah sakit? Entahlah. Yang jelas, sekarang jempolku bergerak sendiri menekan ikon hijau. Aku memejamkan mata dan bersiap mengeluarkan suara untuk menyapa.

“Ha—”

“Dhira? Ada apa? Dari tadi kamu telepon Mama? Mama telepon balik nggak diangkat! Mama tanya Papa sama Kakak juga semua ditelepon tapi tadi lagi nggak pada pegang HP. Pada nelepon balik juga nggak kamu angkat!”

Baru saja aku membuka mulut, suara di seberang sana sudah membombardirku dengan kata-kata. Entah bagaimana aku jadi teringat Mama, yang selalu mencerocos jika mendapat telepon dariku. Ah, aku jadi merindukan tempatku bersandar sedari kecil itu. 

Maafin Chandra, Ma. Gara-gara Chandra juga Mama jadi pergi selama-lamanya.

Tunggu dulu. Ini bukan saatnya untuk meratapi semua yang sudah terjadi. Aku harus berbicara dengan ibu dari istriku. Kenyataan ini membuatku merasa tegang, seperti saat melamar tempo hari. Ya, ini pertama kalinya aku akan berbicara dengan wanita yang sudah melahirkan gadis bernama Andhira Dayana Putri.

“Ha–halo,” sapaku dengan suara serak. Aku berdeham untuk mengusir dahak yang menyumbat, kemudian melanjutkan, “Ehm, Tante. I–ini Chandra.”

“Oh, Chandra?” pekik wanita di seberang sana. “Mama turut berduka cita atas meninggalnya Mbak Rahayu, ya. Maaf, Mama belum sempat telepon kamu. Mama masih ada di Wisma Atlet dan belum dapat nomormu dari Dhira. Mama juga nggak nyangka akan ada kejadian gini.”

“Ah, i–iya. Terima kasih, Tante,” sahutku canggung. Jangankan ibunya, Dhira sendiri saja belum menyimpan nomorku.

Lihat selengkapnya