"Saya terima nikah dan kawinnya Andhira Dayana Putri binti Gofar Shadiqin dengan mas kawin berupa emas seberat dua puluh lima gram dibayar tunai!"
Entah sudah berapa kali aku memutar ulang video acara akad nikah yang dikirimkan teman Dhira di ponselnya. Tampak wajahku kaku seperti robot gundam, dengan keringat membanjiri dahi yang bahkan sampai terlihat di kamera. Di sebelahku, Dhira duduk menunduk dengan anggun, memakai kebaya dengan mahkota di kepala. Baru kali ini aku benar-benar melihatnya secara jelas—yah, walau saat itu aku disuruh mencium keningnya yang membuat jantungku terasa akan lepas dari tempat. Namun begitu, sepertinya ada gurat kesedihan yang tersirat dari wajahnya.
Beralih ke bagian lain, aku memandangi foto-foto yang juga ada di grup Whatsapp itu. Foto-foto pernikahan yang dikirimkan sangat banyak, tetapi yang menarik perhatianku adalah gambar-gambar sebelum itu. Wajah polos Dhira tanpa riasan yang sedang makan bersama dengan teman-temannya, sampai saat dia memakai toga saat wisuda. Aku jarang menemukan foto gadis itu di galeri, lebih banyak foto makanan yang ditata dengan apik dan cantik. Mataku pun tidak tahan untuk membaca obrolan mereka. Juga pesan-pesan yang dikirimkan Dhira untuk orang tuanya, kakaknya, sampai dengan Yudha—sekarang aku bisa bernapas lega karena ternyata obrolan mereka tidak terlalu berbahaya.
Melakukan hal seperti ini membuatku seperti menjelajah waktu untuk bisa lebih mengenal sosok Dhira. Beberapa hari setelah pernikahan dia memang dekatku, tetapi entah mengapa terasa sangat jauh dari jangkauanku. Ya, itu memang salahku yang memasak tembok pembatas di antara kami. Bahkan, aku juga merasa bersalah sudah melihat-lihat ponsel gadis yang masih tidak sadarkan diri itu. Semoga aku bisa meminta maaf langsung saat ia sudah sadar nanti. Aku harap itu tidak akan lama lagi.
Bunyi bip seiring getaran terdengar dari ponselku yang ada di sebelah. Aku mengangkat benda itu dan melihat notifikasi surel masuk. Mataku berbinar demi membuka isi pesan dan membuka lampiran yang ada. Hasil swab PCR yang sudah kulakukan kemarin di rumah dengan layanan home care kini keluar hasilnya. Aku negatif! Akhirnya, setelah dua minggu disiksa virus korona, aku bebas!
Aku bersyukur dalam hati. Akhirnya aku terbebas dari virus korona sialan itu. Kalau saja penyakit Dhira tidak parah, dia juga pasti sudah negatif sepertiku. Argh, aku sampai muak dengan rasa bersalah yang tidak bisa kutebus ini.
Sudahlah. Aku harus mengucapkan mantra itu lagi agar pikiranku terbebas dari sekadar meratap.
“Move on, Chandra! Lebih baik melakukan apa yang bisa dilakukan!”
Aku bangkit dan memakai celana panjang, juga jaket yang tergantung di balik pintu. Kumasukkan dompet dan ponsel—milikku dan Dhira, ke saku jeans. Tak lupa kukenakan masker KN 95 sebelum keluar dari kamar. Menuruni tangga, aku menuju garasi dan mengambil kunci mobil. Setelah memastikan semua pintu terkunci, aku berangkat ke rumah sakit.
Jalanan cukup ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang. Raungan sirene ambulans berulang kali terdengar, membuatku harus menepi sejenak dan membiarkan kendaraan itu lewat. Tampak pula antrian mengular di setiap toko alat kesehatan yang menjual tabung oksigen, membuat lalu lintas cukup tersendat. Saat tiba di rumah sakit, aku tercengang melihat begitu banyaknya pasien berada di halaman parkir, yang kini disulap menjadi tenda darurat.
Seperti yang kulihat di berita televisi, kasus Covid-19 memang sedang menanjak mencapai puluhan ribu kasus. Rumah sakit penuh di mana-mana, fasilitas kesehatan juga tidak ada bedanya. Aku merasa sedikit bersyukur karena Dhira masih sempat datang ke rumah sakit dan bisa mendapat ICU sehingga ia cepat tertolong. Kalau sampai terlambat, ah … aku bergidik membayangkannya.
“Halo?” Aku menjawab panggilan dari ponsel saat baru saja berhasil mendapat tempat parkir.
“Pak Chandra, kami ingin mengabarkan bahwa ada kondisi darurat pasien Andhira,” pekik Ners Hilda, perawat rumah sakit.
Jantungku seolah berhenti berdetak. “Ya? A–ada apa? Saya baru aja sampai di rumah sakit,” sahutku gemetar.
“Oh, kebetulan, Pak! Bapak bisa langsung ke sini.”
Keriuhan menjadi latar belakang di suara penelepon itu. “Baik, saya langsung ke sana. Terima kasih Suster informasinya.”
Seperti orang kesetanan, aku segera turun dari mobil dan berlari menuju lobi. Seorang petugas keamanan mencegatku, melarang untuk masuk. Namun, setelah berdebat cukup alot, aku berhasil masuk. Beruntung aku punya kartu penunggu pasien dan alasan ditelepon pihak rumah sakit.
Tiba di ruang ICU, aku segera menuju meja petugas keamanan yang berada di luar.
“Pak, tadi saya dapat telepon dari Ners Hilda untuk kondisi pasien Andhira,” ujarku dengan napas memburu.