Sweet vs Savoury

Yuanita Fransiska
Chapter #31

Opening My Eyes

Cahaya putih menyerbu retina saat aku membuka mata yang terasa sangat berat. Aku memejamkan mata kembali, mencoba beradaptasi dari kegelapan yang sebelumnya menyelimuti erat. Rasa dingin menjalar di sekujur tubuh, berikut nyeri yang tiada terperi. Badanku terasa sangat berat, sampai sungguh tak kuat meskipun hanya untuk menggerakkan jemari.

Bunyi mesin dengan ritme teratur merasuk di gendang telingaku. Aku ingin berucap, tetapi suaraku tertahan oleh selang yang melewati rongga mulutku. Aku hanya bisa kembali membuka mata, kemudian mengedarkan pandangan pada langit-langit bercat putih yang berada di atas. Hatiku otomatis bertanya-tanya, aku ada di mana?

“Mama!” bisikku dalam hati. Aku ingin menyuarakannya, tetapi tenggorokanku terhalang selang yang menyumbat.

Sedikit demi sedikit ingatan merayap di otakku. Sekelebat memori di saat aku terakhir kali jiwaku masih memiliki kesadaran. Aku datang ke rumah sakit, sekarat dan sendirian. Ke mana Mama dan Papa? 

Ah, iya! Mama dan Papa sedang sakit juga dan harus karantina. Sedangkan aku pergi naik taksi daring dari rumah … Chandra? Siapa dia? Astaga! Dia orang yang menikah denganku!

Lambat laun, ingatan dari mulai pernikahan bencana membanjiri pikiranku. Kepalaku terasa berdenyut hingga aku memejamkan mata, tidak sanggup menerima kenyataan demi kenyataan yang terasa hanya seperti mimpi buruk di siang hari. Semua itu sudah kulalui, hingga aku cukup kagum dengan diriku sendiri yang berhasil melewati penderitaan itu meskipun harus berakhir di sini. Setidaknya, aku masih bisa bertahan hidup dan tidak … mati.

Air mata menitik di sisi kiri dan kanan kelopak mataku, memberikan secuil kehangatan di antara dinginnya badan dan perasaan. Dalam hati aku tak henti mengucap syukur karena masih diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk kembali ke dunia ini. Masih banyak yang ingin aku lakukan, berikut kesalahan yang mungkin harus kutebus. Namun yang terutama, aku ingin memberikan hidupku yang cuma sekali ini kesempatan, agar aku bisa merasa bahagia di atas kaki sendiri.

Seketika cahaya silau menerobos ke mataku, seiring suara panggilan menyebut namaku. Aku memejamkan mata sesaat seraya mengernyit, hingga cahaya itu hilang dari pandangan. Seorang berpakaian serba putih muncul di atas kepalaku, menutupi sinar lampu. Apakah itu malaikat kematian yang terlambat datang menjemput nyawaku?

Bukan. Setelah kuamati lagi, itu adalah seorang yang memakai baju hazmat lengkap sampai suaranya saja hanya samar terdengar.

“Mbak Andhira?”

Aku mengedipkan mata sebagai jawaban. Wanita dibalik baju hazmat itu memekik, kemudian meninggalkanku sendirian. Saat kembali, ia datang bersama satu orang lagi.

“Pasien Andhira sudah sadar!”

***

“Nah, terakhir ini. Selesai,” ucap perawat itu seraya meletakkan selang di atas wadah stainless. “Gimana rasanya? Udah enakan?”

“Iya,” sahutku dengan suara serak dan berat. Tenggorokanku seperti baru saja dicabik dengan silet.

“Memang rasanya akan nggak nyaman beberapa hari, tapi akan segera membaik. Tadi dokter bilang juga akan diresepkan obat untuk meredakan sakit di tenggorokan.”

Aku mengangguk. “Sudah berapa lama saya di sini?”

“Ehm, sekitar satu bulanan, hampir satu setengah bulan,” sahut perawat itu. Kini dia memasukkan cairan melalui spuit ke celah di selang infusku. “Kami bersyukur Mbak Andhira bisa sadar. Seperti keajaiban. Kebanyakan yang lain nggak bisa bertahan,” desahnya lirih.

“Satu bulan?” pekikku membeo. 

Lihat selengkapnya