Air mataku meluncur saat Papa dan Mama berteriak histeris begitu turun dari kendaraan itu. Mereka langsung menghambur memelukku, membuatku tak kuasa membuncahkan perasaan rindu yang terbelit dalam kalbu. Kami menikmati detik-detik yang selama ini begitu jauh hingga aku merasa sebatang kara ada di dunia. Sekarang aku sudah kembali berkumpul dengan mereka. Tak dapat kugambarkan lagi betapa aku bahagia.
“Maaf, Bapak, Ibu. Mobilnya bisa tolong cepat dipindah? Di belakang udah pada antri,” tegur seorang pria bertubuh tambun berseragam satpam.
“Ah, iya, iya. Maaf, Pak. Kami mau segera pulang,” ucap Papa sambil menyeka air di sudut matanya.
Papa mendorong kursi rodaku sementara Chandra membuka pintu belakang. Aku mencoba bangkit agar bisa naik ke jok, tetapi entah mengapa bokong dan kakiku terasa amat berat. Papa mencoba membantuku, tetapi sesaat kemudian sebuah suara memotong kesibukan kami.
“Maaf, Om. Biar Chandra aja yang angkat Dhira.”
Aku ternganga. What? Apa-apaan dia? Mau sok baik supaya menutupi belangnya di depan Mama dan Papa? Tidak akan bisa!
“Iya, Chandra. Tolong, ya,” ucap Papa semringah.
Hah? Aku masih tidak habis pikir. Sejak kapan mereka jadi akrab begini? Padahal saat pernikahan saja, dia tidak pernah satu kali pun berbicara dengan keluargaku. Sial! Aku meremehkan kemampuan aktingnya selama ini.
Belum sempat aku menolak, tubuhku sudah berada di antara kedua tangannya. Aku tak sanggup berkata-kata, melainkan menyembunyikan degup jantung yang perlahan makin berdebar. Terlebih ketika untuk sesaat, aku berada begitu dekat dengan tubuhnya hingga aroma parfum seperti kayu-kayuan yang lembut samar terhidu. Dan kehangatannya, astaga! Baru kali ini aku hanya berjarak sehelai kain dengan seorang laki-laki. Kenapa aku jadi tegang begini?
Tidak. Aku harus sadar. Ini bukan apa-apa dibanding perlakuan kasar yang sudah kuterima. Jangan sampai aku merona cuma karena digendong begini saja. Pasti dia cuma cari muka di depan Mama dan Papa.
Tubuh Chandra melewati badanku saat dia menarik sehelai selimut yang ada di kursi sebelah. Dia menutupi kakiku yang terbuka sementara tubuhku hanya terbalut daster—tadi dipakaikan perawat karena aku sulit memakai celana. Rasa dingin yang tadi terasa kini telah digantikan dengan kehangatan yang nyaman. Seperti halnya Chandra. Sikapnya yang dingin seketika berubah hangat pasti karena suatu alasan.
Setelah menyelimutiku, Chandra menatapku sesaat dengan tatapannya yang sendu, kemudian mengangguk, membuatku kikuk. Aku tidak tahu apa maksudnya, yang jelas setelahnya, dia beralih kepada Papa.
“Boleh Chandra aja yang nyetir, Om?”
Papa mengangguk, kemudian menutup pintu di sebelahku dan berjalan ke sisi lain mobil. Begitu pula Mama yang kini sudah berada di sampingku. Chandra berada tepat di depanku. Sesaat di melirik melalui spion tengah dan kami beradu pandang. Dari matanya, kuduga dia tersenyum. Gila! Situasi apa ini?
Aku membuang muka, tak ingin bertatapan lagi dengannya. Entah kerasukan setan apa pria itu hingga bisa bertingkah seperti ini. Dan lagi, bisa-bisanya aku semobil dengan Chandra dan kedua orang tuaku. Hal yang benar-benar tidak pernah terlintas dalam pikiranku satu kali pun.
Beberapa saat kemudian, mobil melaju keluar dari area rumah sakit. Pikiranku sedikit teralihkan dari keabsurdan Chandra karena Mama yang duduk di sebelahku tak henti memelukku sambil memekik histeris.
“Ya Allah, Dhira! Mama seneng banget kamu bisa sembuh, bisa balik lagi sama-sama kita lagi!”