Sweet vs Savoury

Yuanita Fransiska
Chapter #33

Husband on Standby

Entah mengapa perjalanan tidak seberapa dari rumah sakit ke tempat tinggal Chandra sudah mampu membuat tubuhku kelelahan. Aku berbaring di atas kasur yang lembut—berbeda dengan saat di rumah sakit kemarin—sambil memikirkan tentang perubahan sikap Chandra yang tiba-tiba serta perlakuanku padanya. Tanpa sadar, lambat laun aku terlelap, lagi.

Desakan kuat di kandung kemih membuatku terbangun. Aku mencoba bangkit dan turun sendiri dari kasur. Kakiku masih terasa berat, mungkin karena sudah lama tidak digunakan untuk berjalan. Namun, untuk meminta bantuan Chandra lagi, apalagi kalau sampai dia menggendongku, aku tidak akan sudi.

Aku menggeser bokong yang seperti diganduli satu ton besi hingga ke pinggir kasur. Perlahan, kuturunkan kaki hingga menggantung di tepi tempat tidur. Kutapakkan kaki ke lantai yang terasa dingin. Sambil berpegangan, aku mencoba untuk menggunakan otot kakiku agar bisa berdiri.

Bruk!

Seperti agar-agar, kakiku terasa seperti kehilangan daya topangnya. Aku mencoba mengangkat tubuhku sekuat tenaga, tetapi hanya rasa lemas yang terasa. Ya Tuhan, kenapa aku sampai sebegini lemahnya?

“Mama!” jeritku histeris. “Mama! Tolongin Dhira!”

Tak ada tanda-tanda Mama datang sampai aku mengulangi panggilan berkali-kali. Sampai akhirnya pintu dibuka dan aku kecele demi melihat yang datang bukan Mama, melainkan Chandra.

“Astaga, Dhira! Kamu kenapa duduk di situ?”

Aku melotot sementara Chandra tergopoh-gopoh menghampiriku. “Aku manggil Mama! Kenapa kamu yang datang?” semprotku ketus.

Tanpa sedikit pun merasa terusik dengan sikap menyebalkanku, dia berjongkok dengan wajah panik. “Tadi aku duduk di sofa depan, jaga-jaga kalau kamu butuh sesuatu. Kalau ada perlu, kamu panggil aku aja. Jangan coba bangun sendiri begini,” jelasnya panjang lebar, tentu saja untuk ukuran Chandra yang biasanya hanya mengucapkan satu dua patah kata.

Chandra menjulurkan lengan hendak membantuku bangkit, tetapi dengan kasar aku segera menepisnya. “Nggak usah! Aku bisa sendiri! Aku mau sama Mama! Panggil Mama!”

Pria berbadan besar itu terkesiap. Namun tak beberapa lama, dia bisa kembali menguasai emosinya. “Baik. Aku panggil Mama kamu,” ucapnya dengan suara teredam. Tatapannya berubah tajam dan dingin. “Tapi maaf, aku nggak bisa ngebiarin kamu duduk di lantai kayak gini.”

Dalam satu gerakan cepat, tubuhku melayang di udara dan sedetik kemudian sudah mendarat di atas kasur. Tanpa bicara lagi, Chandra meninggalkan kamar dan diriku seorang diri. Kesempatan ini aku gunakan untuk meredakan gejolak di hati yang baru saja terjadi. Entah mengapa sikap Chandra yang barusan membuat jantungku seperti ditabuh dengan keras. Maksudku, biasanya dia galak, tentu saja. Namun yang barusan berbeda.Ada sedikit kesan mengintimidasi, tetapi … seksi. Argh! Aku berpikir apa? Aku pasti sudah gila!

Tak beberapa lama, Mama datang kembali ke kamarku, tentu saja dengan histeris seperti biasa. Chandra membuntutinya dan berdiri di depan pintu, membuatku tak leluasa untuk mengatakan kalau aku ingin pipis. Aku mendelik, kemudian menyuruh Mama mendekat agar aku bisa membisikkan keinginanku. 

“Oh, kenapa nggak bilang, atuh?” pekik Mama. “Chan! Ini Dhira mau pipis. Bantuin angkat ke kamar mandi!”

Mataku melotot, napasku tertahan seketika. “Mama!” jeritku membuka mulut sesedikit mungkin. Ingin rasanya aku menepuk dahi. Buat apa aku panggil Mama kalau ujung-ujungnya sama Chandra? Dan lagi, masa dia yang mengantarku ke kamar mandi? Gila!

Seperti jin yang bisa berteleportasi, Chandra tiba-tiba sudah berada di depanku. “Ayo, Dhira. Aku gendong.”

Pipiku terasa panas demi mendengar Chandra yang blak-blakan mau menggendongku di depan Mama. Aku buru-buru menolak tawarannya. “Nggak! Nggak mau! Sama Papa aja! Mama, panggilin Papa!” 

Lihat selengkapnya