Sweet vs Savoury

Yuanita Fransiska
Chapter #34

Everything has Changed

“Mama apa-apaan, sih? Kenapa jadi Dhira?” protesku sambil membersihkan bubur yang belepotan. Mama bersungut-sungut karena bajunya ikut terkena semburan. “Lagian, Mama pasti nggak akan nyangka apa yang udah dia lakuin ke Dhira!”

Mulutku terus meluapkan detik demi detik seperti neraka yang sudah kulalui di rumah ini. Semua beban dan kekesalan yang menyeruak di dadaku kini tumpah ruah menjadi kata-kata. Kecuali satu hal, aku tidak menceritakan kalau Chandra memarahiku karena menuding aku menjadi penyebab kematian ibunya. Maksudku, pernikahan ini juga akibat andil dari Mama. Kalau mau disalahkan, Mama dan Tante Rahayu yang bersalah. Namun aku tidak mau menyalahkan ibuku sendiri, juga orang yang sudah tiada. 

Mama mengusap-usap bahuku pelan hingga perlahan amarahku mulai mereda.

“Sabar, ya, Dhira. Ini namanya ujian pernikahan. Mama salah, Mama yang nikahin kamu sama Chandra tanpa kalian kenalan dulu. Soalnya Mama sama Mbak Rahayu itu dekat banget, dan dia baik banget. Mama mikir dia aja baik, pasti anaknya baik. Apalagi dia, kan, juga udah punya jabatan, terus terpandang juga di kantor. Jadi hidup kamu pasti enak kalau jadi menantunya dia,” desah Mama menerawang.

Nah, kan? Padahal aku tidak menceritakan secara lengkap, Mama sudah murung begini. Bisa-bisa kalau aku ceritakan semuanya, Mama bisa makin histeris dan menyalahkan diri sendiri.

“Mbak Rahayu itu punya penyakit diabetes, udah parah. Sering bolak-balik masuk rumah sakit. Makanya dia mungkin udah punya firasat kalau umurnya nggak lama lagi. Makanya dia minta Mama buat nikahin anaknya sama kamu. Mama nggak pikir panjang, Mama langsung setuju. Mama senang bisa besanan sama dia. Mama nggak mikirin perasaan kamu. Mama emang bodoh, Dhira. Maafin Mama karena udah bikin kamu kesusahan.”

“Dhira nggak nyalahin Mama, Dhira nyalahin Chandra, Ma. Kenapa dia jadi orang jahat begitu? Galak, songong, nyebelin! Emang beda sama Tante Rahayu! Tante Rahayu itu baik sama Dhira. Nggak kayak anaknya yang kayak setan!” geramku mengepalkan tangan.

“Mungkin dia kayak gitu karena dia sayang banget sama mamanya, Dhira. Dia anak satu-satunya, dan Mbak Rahayu juga satu-satunya keluarga yang dia punya. Makanya dia pasti sedih banget pas mamanya meninggal. Dia nggak punya siapa-siapa lagi, dan lagi ada orang baru di rumahnya. Udahan kamu juga kasih dia kue. Mungkin dia trauma kalau lihat makanan manis. Kamu tahu, Mbak Rahayu itu emang paling suka yang manis-manis. Padahal suaminya juga meninggal karena diabetes, tapi dia tetep nggak mau ngebatesin. Makanya mungkin si Chandra jadi takut sama makanan manis, takut sama kayak mama dan papanya. Bisa jadi dia punya keturunan diabetes juga, kan?”

Seperti ada sepercik air yang turun di atas kobaran api amarahku. Selama ini aku tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan itu. Mungkin benar kata Mama, tetapi apa tidak bisa dia mengatakan dengan baik alih-alih menampik makanan yang sudah kubuatkan susah payah?

“Nggak tahu, ah! Pokoknya Dhira sebel! Dhira benci sama Chandra!” teriakku penuh amarah.

Aku terkesiap saat tak sengaja menoleh ke arah pintu. Tampak Chandra berdiri mematung dengan tangan memegang ponsel. Mulutnya ternganga, matanya berkaca-kaca. Aku tidak tahu sejak kapan dia ada di sana. Namun yang pasti, dia mendengar ucapan kebencianku padanya. Seharusnya aku senang karena sekarang dia sudah tahu perasaanku padanya, tetapi entah bagaimana, kini hatiku malah merasa gamang karenanya.

***

Mama mengikuti arah pandang mataku. Wanita itu ikut terhenyak melihat siapa yang datang. “Ah, Chandra. Dari tadi di situ?” pekiknya salah tingkah.

“Ehm, nggak, kok, Tante. Baru datang. Ini HP Tante bunyi terus tadi, mungkin ada telepon penting,” sahut Chandra datar.

“Oh, iya. Makasih, ya. Mama nggak dengar tadi,” sahut Mama langsung menghampiri pria itu. Dia menerima ponsel dan seketika terbelalak. “Ya ampun, Papa banyak banget missed call. Ada apa, ya?”

Tampak Mama mendekatkan ponsel ke telinga. Terdengar Chandra berkata sedikit pelan, “Biar Chandra yang terusin suapin Dhira, Tante.”

Mama mengangguk-angguk, kemudian menyerahkan mangkok berisi bubur kepada Chandra. Tak lama dia memekik sambil keluar kamar, “Papa? Kenapa, Pa?”

Lihat selengkapnya