“Dhira … Dhira …!”
Aku membuka mata yang entah sejak kapan terpejam. Tanganku otomatis menyingkirkan selimut yang menutupi kepala demi mendengar suara Mama. Kegelapan yang tadi memerangkap kini tergantikan nyala lampu benderang. Sejenak aku menyipitkan mata, menghalau cahaya yang menyerbu retina.
Astaga! Sejak kapan aku tertidur?
“Mama udah balik?” tanyaku dengan suara serak sambil menguap.
“Iya. Bangun. Salat, terus makan bareng, yuk. Mama tadi beli banyak makanan,” ajak Mama membuka selimutku.
“Kok, tumben? Biasanya kata Mama, Dhira makan di sini aja biar nggak repot,” protesku mengernyitkan dahi.
Mama membantuku turun dari tempat tidur sambil berkata, “Nggak apa-apa. Makan bareng aja. Sekalian sama Chandra, sama sepupunya juga.”
Aku menghentikan gerakan, terpaku. Ingatan tentang kejadian siang tadi berkelebatan dalam memoriku. Kedatangan Yuda dan … alasan aku bersembunyi di balik selimut. Pipiku kembali terasa panas demi mengingat ucapan Chandra yang sungguh di luar batas nalar otakku.
“Dhira, aku minta maaf. Dulu aku memang pengecut, sehingga aku selalu menyalahkan orang lain. Aku takut menghadapi fakta kalau Tuhan mungkin saja sedang menghukumku dengan mengambil orang-orang yang kusayangi. Tapi aku nggak mau itu terjadi lagi, Dhira. Jadi aku akan berusaha agar orang yang kusayangi tidak lagi pergi.”
Aku menutup mulut saat kata-kata Chandra terngiang lagi, begitu juga pipiku merona. Kalau aku tidak salah mengartikan, maksud ucapan itu adalah … aku termasuk orang yang dia sayang? Sungguh konyol! Namun begitu, jantungku tidak mau berhenti berdegup keras.
“Kamu kenapa?” tanya Mama menatap wajahku. “Kamu demam lagi?”
Tersentak, aku buru-buru menutupi wajahku dengan tangan. “Ng–nggak, kok, Ma. Anu, nanti Dhira mau makan di kamar aja,” gumamku seperti orang berkumur. Aku tidak dapat membayangkan makan satu meja dengan Chandra setelah ungkapan tak langsungnya siang tadi.
“Ih, ulah kitu. Katanya sepupunya Chandra—saha teh namina ceunah—itu dia udah kenal juga sama kamu pas nikahan waktu itu. Dia datang ke sini mau nengokin kamu. Masa kamu tinggal di kamar?”
“Suruh aja dia ke kamar kalau mau ketemu Dhira,” ucapku asal.
“Hus!” Mama menepuk dahiku. “Kamu itu istrinya Chandra, Dhira! Masa ngebiarin cowok lain masuk ke kamar?” omel Mama. “Udah, ah! Ayo, Mama bantu. Pake kursi roda aja, yah. Biar gampang.”
“Dhira udah bisa jalan, Ma. Tadi udah latihan sama Papa,” tolakku halus. Aku tidak mau terlihat lemah terus menerus.
“Ya udah, Mama panggilin Chandra, ya,” ucap Mama hendak beranjak. “Biar dia yang mapah kamu.”
Secepat kilat aku langsung menarik tangan Mama. “Ih, Mama! Kenapa manggil dia, sih? Papa aja!”
“Papa tadi lagi riweuh ngangkatin barang dari mobil! Papa habis ambil barang-barang kamu dari rumah,” jelas Mama sambil melipat selimutku.
Aku mengernyitkan dahi. “Barang Dhira? Kenapa diambilin?”
Menghela napas, Mama menjatuhkan tubuh dan duduk di sebelahku. “Disuruh Aa. Katanya biar kamu gampang nggak usah ngambil lagi.”
“Hah?” teriakku ternganga. “Maksudnya Aa ngusir Dhira?”
“Bukan gitu, Dhira …,” sergah Mama mengigit bibir. “Gimana pun, kamu, kan, bakal terus tinggal di sini. Biarin Aa yang di sana. Mama udah pusing, ah.”
“Ya ampun, Mama. Itu, kan, rumah Mama. Kenapa Mama malah jadi yang bingung begini?” pekikku tak sabar.
“Habis gimana, Dhira? Mama capek berantem mulu sama Aa gara-gara istrinya ngatur-ngatur segala macem,” sentak Mama. “Udah, ah. Kamu ngalah aja, ya. Toh, Papa udah bawa semua barang kamu ke sini. Chandra juga nggak keberatan, malah dia senang bukan main. Tuh, dia sekarang semangat bantuin Papa angkutin barang kamu.”
Aku memberengut. Sekarang aku sudah tidak punya tempat untuk kembali. Malah, orang tuaku juga jadi ikut tinggal di sini. Kenapa situasinya jadi runyam begini?
“Tapi Mama tetep jangan mau kalah. Biar Dhira nanti yang ngomong sama Aa. Itu, kan, rumah Mama sama Papa. Aa nggak berhak ngatur-ngatur,” cetusku terbawa emosi.
“Udah. Kamu tenang aja. Yang penting kamu sembuh dulu, sehat dulu. Urusan rumah biar Mama sama Papa yang urus. Kamu aman di sini,” ucap Mama dengan suara bergetar.
Aku tahu, Mama yang biasanya selalu heboh, tidak akan pernah bersikap tenang begini kalau bukan soal Aa. Bagaimana pun, posisi anak laki-laki di rumah kami memang selalu diprioritaskan.