Sweet vs Savoury

Yuanita Fransiska
Chapter #37

Let You Go

“Chandra, kamu nggak apa-apa? Kok, mukanya pucat? Kamu sakit?”

Selintas suara Mama seolah terdengar saat aku berada di batas antara kesadaran. Seperti dibangunkan paksa, jiwaku seolah baru kembali masuk ke tubuhku. Aku terhenyak mendapati sosok yang berbicara bukanlah Mama, melainkan Tante Euis, mama Dhira.

“Ng–nggak, kok, Tante,” sahutku terbata.

“Nggak apa-apa, Chandra. Bilang aja kalau nggak enak badan. Jangan sungkan. Mungkin Mama nggak bisa gantiin Mbak Rahayu, tapi paling nggak, anggap juga Mama jadi ibu kedua kamu,” ucap Tante Euis sambil mengusap-usap bahuku.

Seperti ada aliran sungai yang hendak keluar dari mataku, aku sekuat tenaga menahannya. Apa jadinya kalau Tante Euis melihat laki-laki menangis? Namun, ucapannya mampu mengangkat sedikit beban kerinduan di hatiku pada Mama.

“Makasih, Tante. Maaf, waktu itu Chandra udah jahat ke Dhira,” ujarku sesak.

“Hus. Udah nggak usah dibahas lagi. Yang penting kamu udah baik sama Dhira. Anggap itu pelajaran buat kamu, biar nggak ngulangin kesalahan yang sama. Tapi … kalau sampai kamu jahat lagi sama Dhira, jangan harap hidup kamu bisa tenang!” ancam Tante Euis sambil menudingkan jarinya.

Aku meneguk ludah. “Iya, Tante. Nggak bakal. Nggak akan pernah,” janjiku teguh.

“Ya udah, sekarang buka pintu belakang mobil, keluarin tas warna hitam!” perintah Tante Rahayu.

Menuruti perintah mertuaku, aku mengeluarkan tas yang dimaksud. Ternyata cukup berat juga. Aku meletakkannya di depan sofa ruang tamu sesuai permintaannya. Tante Euis membuka resleting tas dan mulai mengeluarkan isinya. Ada baju, buku, dan perlengkapan perempuan lainnya. Beliau mengeluarkan sebuah album foto yang sudah tampak usang.

“Ini foto-foto Dhira waktu masih kecil,” bisik Tante Euis. “Jangan sampai orangnya tahu kalau Mama kasih lihat ke kamu, ya.”

Aku tersenyum seraya mengangguk. Jantungku berdebar demi melihat sosok anak perempuan mungil dengan rambut dikuncir dua dengan berbagai pose. Ada yang sedang bermain di taman bermain, di TMII, di kebun binatang, di rumah, dan masih banyak lagi. Namun yang menggemaskan, rambutnya selalu dikuncir dua dengan pita merah muda di atasnya.

“Dhira itu dari kecil anaknya kalem, rapi, dan manis. Dia memang nggak pernah terlihat menonjol, tapi dia selalu perhatian sama sekitarnya. Dia juga nggak pernah ngomong kasar, apalagi nada ketus. Dia selalu lembut dan penuh sopan santun,” terang Tante Euis menerawang. “Makanya Mama nggak enak sama kamu kalau sikapnya sekarang sering ketus, sering marah sama kamu, sering bentak-bentak. Maafin Dhira, ya. Mungkin karena kalian juga dari awal pernikahan nggak akur. Apalagi papanya Dhira dari kecil benar-benar manjain dia. Dia nggak pernah punya pengalaman berseteru sama orang lain.”

“Nggak, Tante. Ini semua bukan salah Dhira. Chandra yang salah. Chandra yang pantas dihukum sama Dhira. Chandra rela dimaki-maki, dibentak sama Dhira. Dhira pantas ngelakuin itu,” sergahku dengan hati berkecamuk.

“Bagiamanapun, Mama inginnya kalian bisa akur, bisa jadi suami istri yang saling pengertian. Mungkin memang salah Mama sama Mbak Rahayu yang maksain pernikahan kalian, padahal kalian belum saling kenal. Mama minta maaf sama Chandra juga, gara-gara pernikahan ini, Mbak Rahayu juga jadi sakit dan meninggal. Mama benar-benar minta maaf.”

Suara Tante Euis yang tadinya tenang kini bergetar. Air mata membanjiri pipinya. Ia sesenggukan, seperti hendak menahan tangis, tetapi tumpah juga.

Tak kuasa melihat wanita paruh baya di depanku menangis, aku memegang bahu Tante Euis dan mengusapnya lembut. Meskipun hatiku juga teriris karena teringat kepergian Mama, aku tak tega juga melihat Tante Euis merasa bersalah.

“Ini semua udah takdir, Tante,” gumamku merasa konyol dengan kata-kata yang keluar dari bibirku. Andaikan aku menerima ini sejak awal, Dhira pasti tidak menderita. Menghela napas, aku melanjutkan, “Chandra udah ikhlas Mama pergi. Chandra memang nyesel, tapi Chandra berharap Mama sudah tenang, nggak ngerasain sakit lagi.”

“Iya, Chandra,” sahut Tante Euis tergugu. “Mudah-mudahan Mbak Rahayu sudah tenang di sana, apalagi melihat anaknya yang baik seperti kamu.”

“Aamiin,” ucapku lirih. 

Aku mengambilkan tisu dan memberikannya pada Tante Euis. Wanita itu langsung mengusap air mata dan membersit ingusnya. Sejurus kemudian, Om Gofar muncul tiba-tiba.

“Mama? Mama kenapa nangis?” pekiknya panik.

“Nggak, nggak apa-apa. Mama cuma inget sama Mbak Rahayu,” sahut Tante Euis.

“Ma! Aa sama istrinya kecelakaan waktu pulang kontrol bayi dari rumah sakit! Sekarang kita disuruh ke sana!” teriak Om Gofar dengan napas memburu.

“Astaghfirullah al adzim! Ya Allah, gimana bisa? Sekarang Aa di mana? Selamat, kan?” jerit Tante Euis.

Lihat selengkapnya