Aku terbelalak mendengar kalimat yang keluar dari mulut Yudha. Apakah telingaku tidak salah? Dia bertanya apakah aku ingin menjadi istrinya?
"Hah? Mas Yudha nggak salah?"
"Nggak, Dhira. Aku benar-benar ingin kamu jadi istriku. Aku nggak tega lihat Chandra memperlakukan kamu. Dia nggak pantas buat kamu. Aku bisa lebih baik dari dia."
Tak habis pikir, aku menggeleng-gelengkan kepala. "Mas Yudha, aku istri sepupumu, loh. Kenapa Mas Yudha bisa ngomong gitu?"
"Terus kenapa? Kamu bisa pisah sama Chandra, Dhira. Sama orang yang bahkan nggak tahu kalau kamu ke rumah sakit sendiri. Sama orang yang nggak peduli meskipun kamu sakit. Kamu bisa sama aku. Aku nggak masalah walaupun kamu mantan istri sepupuku. Yang penting aku mau bikin kamu bahagia," jelas Yudha mempererat genggamannya di tanganku.
Napasku tertahan. Semua perkataan Yudha memang harapanku. Aku ingin lepas dari Chandra, aku ingin bahagia. Namun, apa harus bersama Yudha? Kurasa, ini tidak benar.
Harus kuakui, aku memang pernah membandingkan Chandra dan Yudha. Dilihat dari sisi manapun, Yudha pasti jauh lebih unggul. Dia sangat perhatian, penyayang, dan peduli. Sangat, sangat berbeda dengan Chandra yang hanya mementingkan diri sendiri.
Namun itu dulu. Sebelum aku mengetahui bahwa Chandra mengurusku di rumah sakit. Sebelum aku tahu mama dan papa menumpang di rumah ini. Sebelum aku melihat sendiri, betapa perubahan total perilakunya padaku setelah aku selamat dari ambang kematian.
Apa benar dia telah berubah? Atau aku yang terlalu berharap dia berubah?
Bagaimanapun, dia yang berstatus suamiku. Apa jadinya jika aku meninggalkannya, demi menjadi istri sepupunya? Tentu saja akan menjadi aib bahwa aku telah berselingkuh. Lagi pula, mana aku tega meninggalkan dia sebatang kara tanpa siapapun di sisinya?
Di sisi lain, ada debaran halus di sudut hatiku saat sedang bersamanya. Entah mengapa ada rasa yang menggelitik, belum pernah kurasakan sebelumnya. Ini berbeda dengan yang kurasakan dengan Yudha, atau dengan Kak Haris. Ini jauh lebih intens, jauh lebih mendebarkan.
"Dhira ... kamu nggak perlu memutuskan sekarang. Aku bisa nunggu kamu kapan aja. Sekarang kamu pulih dulu. Aku bisa temanin di sini kalau kamu butuh aku," ucap Yudha lembut, kali ini ibu jarinya mengusap-usap jemariku.
Aku menghela napas sebelum menjawab. "Mas Yudha, terima kasih."
Yudha tersenyum. "Iya, kamu tenang aja. Aku akan selalu ada buat kamu."
"Aku ... aku berterima kasih banget sama apa yang Mas Yudha udah lakuin ke aku. Mas Yudha orang yang baik banget. Aku beruntung bisa ketemu Mas Yudha," ujarku tulus, belum sanggup mengutarakan apa yang sebenarnya mengganjal di pikiran. Namun, jika aku terus mengulur, dia bisa saja salah paham. Aku menggigit bibir sebelum melanjutkan. "Tapi ... rasanya ini nggak benar."
"Kenapa, Dhira? Kalau kamu takut sama omongan orang lain, kamu tenang aja. Aku yang akan pasang badan!" terang Yudha. "Lagi pula, kamu bisa ikut aku tinggal di rumahku. Di sana nggak akan ada yang bisa ngomong macam-macam sama kamu."
"Bukan gitu, Mas Yudha. Aku merasa, aku nggak bisa ninggalin Chandra. Bagaimanapun, dia suami aku."
"Itu cuma di atas kertas, Dhira ...," sergah Yudha. "Tapi dia nggak melakukan kewajibannya sebagai suamimu."
"Aku tahu. Tapi sekarang dia udah berubah. Dia udah lebih baik. Dia juga bilang menyesal sama perbuatannya dulu ke aku," sangkalku teguh.
Mata Yudha membulat. Kini jemarinya meremas tanganku. Napasnya tampak memburu.
"Nah, benar, kan? Dia pasti udah ngelakuin sesuatu yang buruk ke kamu setelah aku pulang. Gimana bisa kamu masih mau sama dia? Gimana kalau dia ngulangin itu suatu saat nanti?"
"Iya, itu emang benar." Aku tak dapat lagi menyangkal. "Tapi dia juga yang ngurusin aku di rumah sakit. Dia juga berani ngakuin kesalahannya ke Mama sama Papa. Dia juga yang cariin aku donor, yang ngurusin aku setelah pulang dari rumah sakit. Aku yakin dia udah berubah!"
Aku terengah-engah demi mengeluarkan rentetan kalimat dari mulutku. Aku sendiri bahkan tak percaya kalau aku akan membela Chandra setelah semua kesalahannya. Entah dia yang berubah, atau aku yang berubah?
Yudha menghela napas pelan. "Dhira, kamu yakin manusia bisa berubah?"
"Iya, aku yakin. Selama itu ke arah yang lebih baik, bukankah kita harus kasih kesempatan?" jawabku yakin.
"Jadi kamu pilih Chandra dibanding aku?"
Mengangguk, aku menjawab tegas. "Iya."
Sesaat hening. Yudha menunduk, sepertinya sedang sibuk mencerna apa yang kukatakan. Aku hanya diam, memberikannya waktu untuk berpikir. Semoga dia bisa menerima keputusanku dengan hati lapang.