Sweet vs Savoury

Yuanita Fransiska
Chapter #39

The Right Choice

“A–anu, Mas Chandra. Aku pengin pipis,” bisikku pelan saat Chandra memberikan jeda untuk kami bernapas. 

Mata pria itu terbelalak. Ia langsung berdiri, kemudian memekik panik. “Ya ampun, Dhira! Maaf, aku lupa!”

Tanpa aba-aba, dia mengangkatku ke dalam pelukannya, kemudian membawaku melesat ke kamar mandi. Aku memejamkan mata, mempererat peganganku pada baju Chandra.

“Mas Chandra! Pelan-pelan! Nanti kita jatuh!” teriakku.

“Nggak akan. Tenang aja. Aku merasa bersalah udah bikin kamu jadi kebelet pipis,” ucap Chandra lembut di telingaku. 

Dalam sekejap kami sudah tiba di kamar mandi. Chandra menurunkanku pelan hingga duduk di atas toilet. Dia berlutut di depanku, menggenggam tanganku. Wajahnya terlihat serius.

“Mau dibantu? Apa kamu bisa sendiri?”

Aku menahan napas seraya terbeliak. Pipiku terasa panas, teringat keintiman kami tadi. Tanpa sadar aku mendorong pria di depanku sambil berteriak.

“Nggak! Aku bisa sendiri! Sana Mas Chandra tunggu di luar!”

Chandra tertawa. “Iya, iya. Kalau sudah selesai panggil, ya,” pesannya sambil menutup pintu.

Aku menyelubungi wajah dengan kedua telapak tangan. Jantungku berdegup keras, tubuhku terasa panas. Masih terasa sentuhan lembut di bibirku yang membuat setiap jengkal kulitku bergetar.

Astaga! Ini ciuman pertamaku! Dan itu kulakukan dengan Chandra!

Tak pernah kubayangkan akan melakukan ini dengan pria yang dulu membenciku. Rasanya seperti mimpi yang tidak akan pernah terwujud. Namun, sentuhannya yang masih meninggalkan gelenyar di seluruh tubuhku pasti bukanlah angan tak nyata.

Menghela napas, aku mencoba mengembalikan kesadaranku. Aku menuntaskan hajat buang air kecil yang sudah mendesak untuk dikeluarkan. Setelah selesai, kebimbangan memenuhi kepalaku. Apa yang harus kulakukan jika berhadapan lagi dengan Chandra? Tadi aku melakukannya seolah terbius dengan suasana. Sekarang aku sudah sadar, pasti akan sangat canggung bila berhadapan langsung dengannya.

Suara ketukan di pintu kamar mandi menyentakku, berikut suara Chandra yang entah bagaimana terdengar merdu di telingaku.

“Dhira, sudah selesai belum? Kamu nggak apa-apa, kan?”

Aku menelan ludah, mengatur napas agar tidak lagi memburu. “I–iya. Aku udahan.”

Derit pintu yang terbuka seolah terdengar begitu panjang. Sesaat kemudian, wajah Chandra yang tersenyum menyambutku dari balik pintu. Mataku terpaku pada bibir tipisnya yang melengkung dan lesung pipi yang baru pertama kali terlihat. Dia terlihat sangat … manis! Ah, apa aku sudah gila?

“Ayo, aku bantu gendong ke kamar,” ajaknya mengulurkan tangan.

Tersadar dari lamunan, refleks aku menampik uluran tangan Chandra. Dia terkesiap, begitupun aku yang terbelalak. Senyumnya mendadak hilang, berganti dengan kemurungan yang seketika muncul.

“Maaf!” jeritku tak dapat mengontrol suara. “A–aku nggak bermaksud begitu. Aku … aku cuma mau minta digandeng aja. Aku mau belajar jalan sendiri. Aku udah bisa, cuma kadang suka masih takut jatuh,” cerocosku tak keruan.

Chandra tampak menghela napas. Dia mengangguk, kemudian kembali mengulurkan tangan. “Oke. As you wish, My Lady.”

Pipiku merona mendengar kata-kata Chandra. Tanpa sadar aku tersenyum menahan tawa. Tangan kananku menutupi bibirku, menyembunyikan hasrat ingin terbahak-bahak. Sementara itu, tangan kiriku menyambut uluran tangannya.

Rasanya sungguh berat mengangkat tubuhku yang sejak tadi terduduk di toilet. Entah karena efek kakiku yang masih lemas, atau karena jantungku yang berdebar-debar akibat sentuhan telapak tanganku yang berada dalam genggaman Chandra. Terlebih saat pria itu melingkarkan lengan di pinggangku, menjaga keseimbanganku. Kini sekujur tubuhku terasa seperti akan meleleh dibuatnya.

Lihat selengkapnya