Rex dan Nix duduk bersebelahan di depan meja Pak Tyo. Guru kimia yang selalu mengenakan kemeja bercorak garis garis ini terlihat sibuk mengamati data di layar computer di depannya. Nix menoleh ke cowok di sampingnya. Memajukan tubuhnya condong ke samping dan bersuara pelan agar Tyo tak mendengarnya.
“Ingat perjanjian kita.”
Rex cuek. Nix gemes. Kaki kirinya segera menginjak kaki kanan Rex.
“Auww, Nixon!!” teriaknya keras membuat Tyo ikut terkejut.
“Ada apa dengan kalian? Ga sabar banget tunggu saya kasi info? Kamu, Rex, kenapa jerit-jerit gitu?”ujar Tyo dengan suara datar.
“Nixon injak kaki saya, Pak,”adu Rex.
“Anak muda seperti kalian itu ibarat molekul yang saling terikat dan akan membanggakan sekolah. Jadi akurlah kalian. Mengerti!!?” ucap pria yang berusia 45 tahun itu meninggikan kata terakhirnya dan membuat Nix dan Rex terdiam.
Ruangan Laboratorium Kimia itu hening beberapa detik. Hingga kembali terdengar suara Tyo.
“Hem, sayang sekali, nilai kamu lebih rendah daripada Nix, jadi Nix yang berhak mewakili Magna di kompetisi tahunan Kimia yang diadakan Kampus Pancasakti.”
“Hore!!! Makasih, Pak Tyo yang baik!” seru Nix lalu mengambil tangan Pak Tyo yang masih sibuk mengetik di keyboard, dan menyalaminya. Pria itu cuma nyengir, paham dengan karakter muridnya yang cerdas, pemberani tapi kadang tak sopan itu.
“Oke, moga sukses Nix. Keluar sana, bapak masih ada urusan. Dan kamu, Rex, belajar yang giat.”
“Itu sih karena aku ngalah, Pak,” protes Rex.
“Ngalah gimana kalau hasilnya Nix lebih unggul daripada kamu?”
“Tapi kan tahun lalu saya yang menang, Pak.”
“Tahun ini, kamu mungkin terlalu fokus pada cewek-cewek di sekolah,” ujar Tyo menahan senyum.
Mendengar itu, Rex memilih diam. Memang dia suka dengan perempuan, tapi kali ini memang dia sengaja memberikan jawaban salah demi perjanjiannya dengan Nix karena kalah dalam lomba motor lambat.
“Nixon sialan! Tak ada lain kali. Gue bakal menang pada lomba selanjutnya,” gerutu Rex sembari menelusuri koridor sekolah. Nix yang melihat cowok itu tersenyum senang.
“Saatnya gue ke Twelve,” gumamnya.
***
Dengan senyum merekah, Nix maju ke depan peserta kelas memasak yang diadakan Twelve Restaurant. Dia masuk dalam tiga besar peserta yang mendapat skor tertinggi.
“Kamu memang berbakat ya, Nix,” ucap Mustika tersenyum.
“Selamat ya, Nix. Kamu bisa jadi chef,” kata Chef Aldo. Selain Nix, ada dua pria lain yang terpilih yakni Zain dan Anand. Di mata Nix, kedua pria ini adalah pesaing beratnya. Zain pria berpengalaman di dunia masak memasak, keturunan Arab dan Jawa. Usianya 40 tahun tapi wajahnya masih terlihat 10 tahun lebih muda. Mungkin karena dia selalu tersenyum.
Sedangkan Anand, cowok pendiam yang usianya sekitar 31 tahun. Pernah bekerja jadi PNS namun beralih haluan ke bisnis kuliner online. Meski pendiam, Nix menyukainya karena Anand rajin berbagi ilmu jika Nix bertanya soal kuliner.
“Selamat buat kalian telah menjadi chef di Twelve Restaurant. Tapi saya akan menaikkan level persaingan kali ini. Satu dari kalian yang mampu memenangkan kompetisi akan langsung mengelola satu kafe yang sudah saya siapkan. Nanti Chef Aldo yang akan mengatur menu dan syaratnya. Sampai jumpa pekan depan,” ujar Mustika yang malam itu tampil menawan dengan dress merah marun.
“Wow keren!” seru Nix tersenyum. Zain merangkul pundak Nix dan Anand. Mereka terlihat akrab meski akan bersaing seru.
“Aku pasti menang, Nix,” ucap Zain percaya diri.
“Aku dong Bang Zain. Kasi lah yang muda. Bang Zain kan udah jago,” balas Nix.