Sore hari, Rex baru tiba di rumahnya. Kedua orangtuanya belum pulang. Sembari mengganti baju, dia mengingat kejadian demi kejadian dalam beberapa hari ini dengan Nix.
“Sial, gadis itu memang menjengkelkan. Sejak awal, dia gangguin gue jadian sama Marina. Terus dia ngerjain gue di depan kelas dan balapan motor lambat, sekarang lebih parah!”
Rex berjalan menuju cermin. Meraba wajahnya yang masih lebam. Dia meringis saat memegang ujung bibirnya yang terluka usai dihajar Andika.
“Gara-gara nolongin dia, gue malah bonyok sama adeknya. Belum lagi Kak Elvan tadi terlihat kesal.” Rex terdiam sesaat, memikirkan sesuatu.
“Bagaimana kondisi Nix ya? Kenapa juga Elvan sekesal itu?” gumamnya.
Usai merapikan rambutnya, Rex keluar dari kamar dengan mengenakan celana pendek hitam dan kaus oblong merah. Dia berjalan menuju kamar Elvan yang berada di lantai dua. Kamar itu tertutup rapat.
“Halo, assalamualaikum. Tok… tok… tok, petok!”
Tak jawaban. Rex mendekatkan telinganya di pintu. Baru saja pipinya menempel, Elvan sudah membuka pintu membuat tubuh Rex terhuyung ke arah depan.
“Hem, mau ngapain lo?” tegur Elvan melihat adiknya nongol di kamarnya.
Rex tersenyum lalu menyalip kakaknya dan langsung duduk di kamar. Matanya menyapu ruangan bernuansa abu-abu dan hitam itu. Tak ada banyak foto di kamar Elvan. Hanya foto dirinya serta foto keluarga bersama kedua orangtua dan Elvan. Satu lagi, fotonya dan Jovita saat masih di bangku SMP. Rex berdiri menghampiri dinding tempat foto itu dipajang.
“Gimana kabar Jovita?”
“Kok tiba-tiba nanyain kabar dia? Lo punya nomor hapenya kan?”
“Hem, tapi gue kan bukan teman dekatnya, Kak, eh salah pacarnya, hehehe.”
Elvan mendekati Rex yang sedang menatap foto Jovita dan Elvan. Elvan merasa, Rex sebenarnya bukan ingin bertanya soal Jovita. Dia tersenyum.
“Jujur deh, mau nanyain soal Nix kan?”
Rex seketika terkejut, namun sebisa mungkin bersikap wajar. Dia lalu memamerkan senyum sinisnya.
“Gue ga ada urusan sama cewek tomboy Nixon itu!”
“Oh ya, lo ga merasa bersalah karena membuat kakinya bertambah sakit?”
“Itu bukan karena gue, Kak.”
“Pacarmu itu, siapa namanya?”
“Rihanna.”
“Ya, Rihanna, eh mirip nama artis ya? Tapi jahat. Mending lo cari cewek lain, Rex,” tegas Elvan seraya melipat kedua lengannya di depan dada.
“Gue belum bosan, Kak,” jawab Rex enteng.
“Oke, kalau lo masih suka. Tapi gue mau ingatkan lo dan pacarmu itu tidak mengganggu Nix di sekolah,” tegas Elvan.
“Gue ga janji. Sejak awal dia yang ngusilin gue, Kak.”
“Rex, lo ga tahu kondisi Nix sekarang? Gara-gara pacarmu, kakinya tersentuh sedikit saja, dia kesakitan. Kalau begitu, bagaimana dia bisa masuk sekolah dan berenang? Dia juga bisa tertunda bergabung dengan Twelve yang baru. Kalau mama tahu Nix seperti itu, pasti lo bakal kena marah,” beber Elvan panjang lebar.
Rex menarik napas panjang dan membuangnya dengan keras. Dia ga kepikiran sampai ke mama. Rex juga mengingat kembali, bahwa Nix mewakili Magna School akan ikut kompetisi tahunan Kimia yang diadakan Kampus Pancasakti, pekan depan. Dia tak menduga, Nix memasuki dunianya dan Elvan sejauh ini. Sial, Nixon bunga bangkai!
Sebuah pertanyaan yang sejak tadi disimpan teringat kembali. Rex mendekati Elvan.
“Bagaimana perasaanmu terhadap Nix, Kak?” tanya Rex yang membuat Elvan sulit menjawab. Pemuda diam sesaat.
“Kenapa bertanya seperti itu?”
Rex tersenyum, mengingat kembali rentetan peristiwa hingga kaki Nix sakit. Bukankah semuanya bermula dari rasa suka Nix pada Elvan? Bahkan dia harus menuruti keinginan Nix menjadikan dirinya pak comblang demi Elvan. Pada akhirnya, rasa suka itu memantik kecewa dan patah hati karena Nix melihat kemesraan Elvan dan Jovita. Bahkan, Nix nyaris ketabrak mobil kalau saja dia tidak cepat menyambar tubuh gadis itu.
Rex masih tidak tahu bagaimana perasaan Elvan. Yang dia tahu selama ini, kakaknya hanya menyukai satu orang perempuan sejak kecil. Gadis itu adalah Jovita. Elvan bukan dirinya yang mudah suka sama pada perempuan. Elvan berbeda. Dia tipe cowok yang susah jatuh cinta. Namun melihat kedekatan Elvan dan Nix belakangan ini, bukankah tak salah jika Rex menduga-duga bahwa perasaan Elvan juga berubah pada Nix dan Jovita.
“Pertanyaanku mudah. Jawab sajalah, Kak. Lo suka Nix ga sih?”
“Ya, gue suka dia, tapi… sebagai adik. Dia lucu dan punya banyak bakat,” jawab Elvan tegas.
“Oh, apa karena itu kakak begitu kesal di sekolah kami tadi? Oke, gue udah dapat jawabannya. Gue cabut dulu, Kak,” ujar Rex lalu berjalan keluar kamar. Elvan jadi bingung sendiri atas pertanyaan aneh dari Rex.
“Jadi lo ke sini cuma mau nanyain itu?”
Rex mengangguk sebelum menghilang dari kamar Elvan. Sepeninggal Rex, Elvan teringat Nix kembali.
“Dia hanya adik kecil yang imut dan menggemaskan,” gumamnya tersenyum. Namun dia tak memungkiri, ada yang bergetar di hatinya saat mengingat dan menyebut nama Nix.
***
Sudah tiga hari Nix berdiam diri di rumah. Hari ini, dia akan ke sekolah. Mama Reva tersenyum melihat putrinya menghabiskan sarapan dengan lahap. Papa Dodi sedang keluar kota sehingga di meja makan hanya ada Reva, Nix dan Andika.
“Kamu senang banget mau sekolah hari ini, Boni? Kakimu udah ga sakit lagi?” tanya Reva.
“Dah sembuh, Ma. Buat nendang Andika juga udah kuat kok.”
“Ih, parah lo, Kak Bon. Giliran sakit, gue yang jadi pesuruh. Pas sembuh gue yang mau ditendang. Dasar cewek ga ada akhlak!” rengut Andika kesal. Reva yang melihat dua remaja di depannya cuma geleng-geleng kepala.