Nix menatap sweater rajut biru yang tergeletak di tempat tidur. Dia bingung harus memakainya atau membuangnya. Dia tak habis pikir kenapa Rex memberikannya demi kata maaf darinya. Tapi mana bisa dia memaafkan saat Rex membisik kalimat yang membuatnya makin kesal.
“Pakai ini, atau gue bakal ngerjain lo lagi.”
“Rex sialan!!!”
Kursi pun berpelanting ke lantai.
***
Nix membaca pesan Elvan. Hari ini dia akan diajak ke Bogor untuk melihat lokasi kafe yang akan dikelola sebagai hadiah atas kemenangannya dalam kompetisi memasak yang dihelat oleh Twelve Restaurant. Nix sebenarnya belum siap untuk itu, terlebih dia masih berstatus pelajar. Belum lagi cita-cita sebenarnya adalah menjadi Kowad. Tapi bergelut di dapur dan meramu resep juga adalah hobinya.
“Bagaimana ini? Gue kok merasa ga enak menoleh hadiah dari Ibu Mustika. Belum lagi si T-Rex itu. Aduh, kenapa harus berhadapan dengan keluarga mereka sih?”
Nix menggerutu sendiri. Tapi dia sudah mengiyakan akan menunggu Elvan di Twelve Senayan. Jadilah saat ini, dia berada di kafe yang dikelola Elvan. Cowok yang sampai saat ini masih sering membuat jantungnya berdebar.
“Hai, Nix,” sapa Elvan yang sudah berada di depan Nix. Pemuda itu mengenakan kemeja biru tua dengan celana putih gading dan sepatu sneaker putih aksen hitam.
“Kenapa dia makin tampan sih?”
“Iya, Kak,” jawabnya sedikit gugup.
“Sadarlah, Nix. Dia cowok tampan yang sudah dikapling pemiliknya. Jovita. Cewek feminin, cantik dan baik hati. Ga seperti lo!”
“Kamu kenapa bengong?”
“Hem, apa kita akan ke sana, Kak? Bukankah terlalu cepat jika aku kelola sekarang?”
Elvan tersenyum mendengar penuturan gadis tomboy yang manis di depannya. Dia melangkah mendekati Nix.
“Kamu ragu? Bukankah kamu sudah membuktikan kemampuan di bidang itu?”
“Tapi aku belum punya bekal memimpin banyak orang, Kak.”
“Ok, kamu tenang saja. Kita pelan-pelan. Kamu sambil belajar dulu di sana.”
Elvan masih melihat keraguan di wajah Nix. Dia sebenarnya sudah menduga akan mendapat respons seperti ini. Makanya dia mengubah rencana perjalanan kali ini menjadi sebuah ajang rekreasi sekaligus pembelajaran untuk Nix. Dan dia sudah menyiapkan itu agar suasana di sana lebih menyenangkan bagi Nix.
Suara mobil berderum memasuki halaman Twelve. Elvan yang berada di teras kafe mengenali mobil tersebut. Dia tersenyum.
“Dia datang juga,” ucap Elvan tersenyum.
“Kita di sana akan senang-senang. Jadi... kamu ga usah khawatir,” ucap Elvan seraya mengusap pelan kepala Nix.
Dari dalam mobil, Rex melihat adegan itu. Matanya menatap tajam pada Elvan dan Nix dari balik kemudi. Reo yang berada di sampingnya, tersenyum jahil.
“Ron, sepertinya acara jalan-jalan kita ke Bogor bakal lebih seru,” ucap Reo seraya menoleh ke jok belakang dimana Rony berada.
“Emang kenapa?”
“Soalnya ada Nix. Juga Kak Elvan. Lihat deh, di sana, mereka mesra banget ya,” ucap Reo seraya mengedipkan sebelah matanya pada Rony.
“Elvan hanya menganggapnya adik. Kan dia ga punya adik perempuan,” jawab Rony lebih santun. Mendengar jawaban itu, Reo yang berniat menguji perasaan Rex pada Nix, mencibir.
“Bisa aja kan, perasaan itu berubah jadi cinta,” jawab Reo.
“Kau ini, Re, bukannya Nix dan Razka lebih serasi,” jawab Rony yang ternyata menyimpan kalimat sakti .Sahabatnya itu langsung tersenyum lebar lalu menatap Rex.
“Bener juga. Rex, gimana menurutmu. Nix lebih cocok sama si pembalap atau jadi adik iparmu?” tanya Reo lebih sadis.
Rex menoleh dan memberikan tatapan mautnya pada Reo. Rony yang melihat itu tersenyum simpul lalu keluar dari mobil sebelum Rex meledak. Reo yang melihat kondisi tak menguntungkan, segera menyusul Rony.
“Halo Kak Elvan,”sapa Rony lebih dulu.
“Bagus, kalian sudah datang. Ayo minum dulu. Rex mana?” tanya Elvan.
Baru saja ditanyakan, Rex sudah berjalan mendekati Elvan, Nix dan kedua sahabatnya. Rex langsung duduk di meja Nix. Menatap tajam gadis itu lalu menyilangkan kedua lengannya di depan dada.
“Ini dia Nixon, manajer Kafe Twelve yang baru. Lo bisa kerja ga?” ucapnya dengan senyum mengejek.
“Gua bukan purba kayak lo yang cuma bisa makan enak tapi ga tau masak,” jawab Nix lebih keras.
“Eh, ingat ya, lo itu kerja di bawah Twelve Restaurant, milik mama gue,”ujar Rex ketus.
“Milik Ibu Mustika, bukan milik lo kan? Jangan sombong deh kalau lo cuma andalkan kekayaan orang tua lo,” jawab Nix tenang.
“Lo…apa-apaan itu?!” Rex terpancing.
“Hei, sudah, kok malah ribut? Rex, jaga sikap lo,”tegur Elvan.
“Nix, dah siap berangkat sekarang?”
Nix mengangguk. Elvan berjalan menuju mobilnya dan membukakan pintu untuk Nix. Rex kesal melihat senyum sumringah Nix saat Elvan mempersilakannya masuk dan duduk di jok depan.
“Kenapa mereka belum datang juga ya?” gumam Elvan. Namun, Nix mendengarnya.
“Mereka… siapa, Kak?”
“Pasti kamu kenal. Kita tunggu mereka dulu.”
Selang lima menit, sebuah mobil putih memasuki halaman Twelve Restaurant.
Nix melihat seseorang turun di sana.
“Agung…kenapa, eh… itu Yuni dan Marina? Kenapa bisa mereka ada di sini?”
“Mereka gabung dengan kita. Kamu ga keberatan kan, Nix?”
Nix tersenyum lebar dan keluar menyambut sahabatnya.
“Nix!!” hambur Marina, Yuni dan Agung. Mereka berpelukan.
“Sorry kami telat, soalnya mamanya Agung ada acara jadi baru bisa nganter kita ke sini deh, hehehe,” ucap Yuni.