Sejak tadi Nix kesal bukan main. Pagi-pagi, Rex memaksanya ikut naik mobil tanpa tahu kemana tujuannya. Untung dia udah mandi karena niatnya mau jalan bareng Yuni, Marina, Agung dan Kak Elvan keliling kota hujan ini. Namun, siapa sangka, Rex telah mempersiapkan semuanya dengan rapi.
Bahkan melibatkan kedua sohibnya, Rony dan Reo untuk menahan Marina, Yuni dan Agung. Jadilah kini, mereka terbagi dua tim saat berada di taman kota. Memikirkan itu, Rex senyum-senyum sendiri.
“Ngapain lo nyengir?”
“Ga usah jutek gitu ama gue. Ntar juga lu pasti seneng kalau kita udah sampai di tujuan,” jawab Rex tenang.
“Awas lo ya!”
“Tenang aja, kita dah hampir sampai kok. Lihat deh, pemandangannya bagus kan?”
Nix menatap hamparan hijau perbukitan di sekelilingnya dari ketinggian. Tempat ini pernah dilihatnya di sebuat website wisata. Namun, tak menyangka alam yang terbentang di hadapannya kini benar-benar lebih indah. Nix mencoba relaks dan menyapu pandangan mata ke sekelilingnya.
“Ini Puncak Gantole, kan Rex?”
Pemuda itu hanya tersenyum. Bener apa yang dibilang Rex, pemandangan di sini begitu asri. Sejuk dan menenangkan.
Namun di puncak ini, mereka tak sendiri. Ada belasan orang lainnya yang sedang melihat pemandangan pagi yang indah. Nix merasa dia orang paling beruntung bisa ke puncak saat ini.
Rex menatap gadis yang pagi itu tampak terkesima dengan pemandangan alam di depannya.
“Lo belum pernah ke sini?”
Nix menggeleng.
“Pantes lo ga bisa berkata-kata. Nanti setelah melayang-layang lo lebih seneng.”
“Maksud lo apaan melayang-layang?”tanya Nix penasaran.
“Berat lo di atas 25 kilogram kan?”
“Iya, tapi kok nanya berat segala?”
“Cerewet lo. Ikut gue ketemu tim,” ajak Rex lalu menggamit lengan Nix dan membawanya ke sebuah bangunan yang terlihat ada beberapa orang sedang membereskan parasut.
Ini bukannya parasut untuk paralayang. Apa dia mau ngajak gue terbang? Nix melihat ada beberapa orang yang tersenyum dan memanggil nama Rex. Seorang diantaranya memeluk Rex. Dia terkenal di sini?
“Kok baru dateng, Mas Instruktur? Kirain lupa sama kami-kami,” sapa seseorang yang usianya mungkin 20 tahun ke atas. Rex membalas pelukan orang itu dengan ramah.
“Biasa, gue sibuk Mas Radim. Jadi baru jalan-jalan ke sini,” jawab Rex santai.
“Sibuk apa sibuk nih? Mau terbang? Dia siapa?” Pertanyaan Radim diikuti matanya yang lekat menatap wajah Nix sambil mengembangkan senyum manis. Ada dua lesung pipi di sana.
“Iya, duet sama dia. Oh ya, dia temen sekolah gue,” jawab Rex lalu melirik Nix yang berdiri tepat di sampingnya.
Jadi si playboy purba ini instruktur Paralayang?
“Halo, nama gue Radim,” sapa cowok tinggi bermata cokelat dengan wajah tirus itu ramah mengangkat tangan hendak menyalami Nix.
“Nix,” jawab Nix juga ingin menyambut tangan Radim yang terjulur.
“Udah kenalannya, siapkan peralatan gue,” titah Rex dengan tegas, disambut gerakan cepat dari lima orang yang berada di ruangan itu. Radim mengangguk kecil dan bergegas mengambil helm. Yang lainnya menyiapkan parasut dan flight suit.
Nix merasa heran sendiri dengan tingkah Rex yang tak membiarkannya berkenalan secara santun.
“Lo ga sopan banget, temen lo mau kenalan gitu,” protes Nix menatap kesal wajah Rex yang sedang melihat helm biru di tangannya.
“Pakai ini,” ucapnya lalu mengenakan helmet di kepala Nix tanpa permisi.
“Gue ga mau terbang sendiri, Rex!”
“Memang ga sendiri. Tapi sama gue. Paham lo?”
Klik!
“Lepasin helemnya!”
Rex tersenyum.
“Ga. Lo takut ketinggian atau punya penyakit jantung?”
Rex sebenarnya sudah tahu jawabannya. Hasil dari data-data yang dikumpulkan Reo dan Rony saat mereka baru pertama kali berseteru di sekolah. Gadis itu tak punya fobia apapun kecuali kegelapan yang sunyi. Dia juga tak punya riwayat penyakit jantung.
Jadi, Rex memilih akan mendampingi Nix untuk menikmati dunia baru miliknya yang belum diketahui siapapun kecuali rekannya di 3R.
“Gue ga takut!!”
“Terus, kenapa lo ga mau main Paralayang?”
“Emang lo pengalaman?”
“Dia instruktur di sini, Nix,” jawab Radim yang sudah berada di dekat mereka.
“Gue mau didampingi sama Mas Radim aja.”
Rex mulai kesal.
“Yang bawa lo ke sini gue. Dan gue yang jadi instruktur lo kali ini. Sekarang kita ke arah sana untuk briefing lo sebentar.” Kalimat Rex terdengar tegas dan sedikit keras. Entah mengapa Nix malah diam dan enggan membantah. Radim mengikut di belakang mereka menuju ke sisi tepi bukit.
“Jadi, peralatan kami di sini semua aman dan terstandarisasi. Instruktur pun berpengalaman. Jadi, Nix, kamu ga usah khawatir apapun karena Rex sudah berlisensi terbang. Kamu cukup ikuti perintah dia selama persiapan dan terbang. Di atas sana seru lo,” beber Radim.
Cara bicara Radim yang lembut sungguh berbeda dengan Rex. Gadis itu tersenyum manis ke arah Radim. Dan, Rex melihat keduanya saling bertatapan walau sejenak.
“Cukup,” ujar Rex tegas.
Rex lalu menjelaskan detail persiapan terbang, kapan harus terbang dan apa yang dilakukan saat mengudara maupun pendaratan secara detail. Kini mereka sudah siap untuk terbang. Parasut pun siap ditarik. Rex sibuk mengenakan peralatan harness yang terkait dengan tempat duduk Nix saat paralayang nanti.