Sepanjang perjalanan menuju vila, hanya ada kebisuan. Nix melirik Rex yang mengemudikan mobilnya jauh dari kata pelan, meski tidak secepat tadi saat mereka meninggalkan Bukit Gantole.
Pemuda itu diam. Nix jadi merasa tidak enak hati telah menyinggung perasaan cowok yang sudah mengenalkan petualangan seru padanya. Namun untuk minta maaf, Nix merasa enggan. Toh, dia ga salah. Ucapannya adalah fakta kan?
Hingga mobil itu berhenti di halaman depan vila, Rex masih diam. Sebelum cowok itu menghilang dari hadapannya, Nix memanggilnya.
“Tunggu, Rex!”
Langkah panjang Rex terhenti namun enggan membalikkan tubuhnya menatap Nix.
“Hem… soal tempat yang lo mau tunjukin… kapan kita ke sana?”
Mendengar kalimat itu, seketika hati Rex terasa dipenuhi embun pagi. Segaris senyuman di wajahnya.
“Ntar gue kabarin,” jawab Rex lalu kembali melanjutkan langkahnya.
“Heh, sial! Sok angkuh!” umpat Nix kesal.
“Ngapain juga sih gue ngomong kayak tadi?” gumamnya sendiri.
Malam harinya, mereka berkumpul di resto yang berada di ketinggian. Dari atas bukit, mereka dapat melihat pemandangan kota yang diselimuti cahaya lampu dinaungi rembulan. Ada halaman luas di depan resto yang dikelilingi lampu taman.
Elvan dkk memilih barbeque malam itu. Marina, Agung, dan Reo sibuk memanggang. Rony dan Yuni mempersiapkan meja makan malam mereka. Rex sesekali ke dapur mengambil stok seafood dan menyerahkannya ke Reo. Nix asyik meramu minuman.
Namun, dia tak melihat Elvan. Penasaran, Nix berjalan ke vila setelah memastikan racikannya sudah selesai. Lamat-lamat dia mendengar suara piano. Nix mengintip dari balik jendela kaca besar di ruang keluarga. Mengamati Elvan yang tampak menghayati lagunya.
“Dia benar-benar memesona,” gumamnya pelan.
Tak disangka, Elvan menatap ke arah jendela dimana Nix mengintip.
“Duh, ketahuan deh. Ke sana aja deh sekalian, hihihi,” ujar Nix lalu melangkah pelan menuju tempat Elvan.
“Kamu duduk sini,” ucap Elvan mengarahkan tangannya pada kursi yang dia duduki. Meski ragu harus duduk berdekatan seperti itu, namun hati gadis itu justru meminta dekat dengan Elvan.
Pemuda itu kembali melantunkan sebuah lagu lembut yang menciptakan n nuansa syahdu dan romantis. Sekelebatan, Elvan mengingat Jovita yang kini telah berada di Swiss mengejar mimpinya. Ada rasa kangen yang membuncah. Namun mengingat kalimat Jovita sebelum pergi, ada rasa sakit yang mendera.
“Aku paham perasaanmu, Van. Karena itu aku memberikan kebebasan padamu, apakah menungguku atau memilih perempuan lain. Aku merasa bersalah jika menyulitkan dalam hubungan LDR ini. Aku tidak ingin kamu terbebani dengan cinta kita. Aku tidak mau kamu tersakiti. Aku ingin fokus pada mimpiku,” ungkap Jovita sebelum pergi meninggalkan Elvan.
Pemuda itu terdiam. Ucapan itu justru menyakitinya.
“Aku akan menyusulmu, mengunjungimu secara rutin kapanpun saat kamu ada libur,” kata Elvan masih berharap.
Jovita mendekat dan mengelus pipi Elvan.
“Baiklah, kita akan coba.”
Sayangnya, hingga saat ini, Jovita sangat jarang berkomunikasi dengannya. Apakah Jovita mulai berubah? Namun, kehadiran Nix cukup mampu mengalihkan perhatiannya pada teman masa kecilnya itu.
Ya, Elvan menyukai kepolosan dan cara Nix berbicara. Pemuda itu tersenyum menatap lekat pada Nix. Malam itu, Nix sengaja tidak mengikat rambutnya pendeknya. Memberikan jepitan rambut berbentuk anak panah berwarna merah muda.
“Kamu mampu membuat perasaanku lebih baik sekarang,” ucap Elvan dalam hati.
Nix menyadari sepertinya ada beban yang dirasakan Elvan.
“Kak, kamu kenapa? Lagi galau ya?” tanya Nix terus terang.
Elvan tersenyum.
“Kamu bisa menghilangkan kegalauanku tidak?” tanya Elvan menatap lekat pada Nix. Gadis itu jadi salah tingkah. Jemari kedua tangannya ditautkan. Sebenarnya, niatnya mengajak Nix ke Bogor pun untuk menenangkan perasaannya dan hatinya karena Jovita.