Dua bulan setelah ritual pernikahan antara Azura dengan Henzi telah berlalu. Azura yang kini sedang berada dibawah pohon oak yang besar bersandar sambil memejamkan matanya. Hari dimana ia dan suaminya berhasil kembali sebelum bulan purnama darah bersinar adalah momen yang mendebarkan semua orang.
Flashback
“Azura!”
Azura membuka kelopak matanya perlahan. Cahaya merah memenuhi indra pengelihatannya, samar – samar gadis itu melihat wajah Henzi yang khawatir. Azura mengedarkan pengelihatannya. Dirinya mengapung ditengah danau bersama Henzi dan bermandikan cahaya merah terang bulan purnama darah. Henzi merengkuh gadis itu dalam pelukannya. Hatinya sangat lega.
“Selamat! Azura dan Henzi! Semoga kalian menjadi pasangan yang berbahagia!”
Ujar pemimpin ritual yang melayang diudara seakan – akan ia memiliki anti gravitasi.
“Wah! Kalian sangat beruntung. Jika kalian tidak kembali dalam waktu dua puluh detik, kalian akan sama seperti bangsa una!”
Bangsa Una adalah bangsa yang berwujud seperti manusia, namun mereka tidak memiliki perasaan, hampa. Hanya seperti sebuah maneki yang hidup tanpa perasaan.
Azura sangat merasa bersyukur. Air mata mengalir dipipinya.
“Kenapa menangis?”
Suara berat yang sangat ia kenal mendekat lalu sebuah tangan besar mengusap air bening yang mengalir dipipinya. Azura membuka matanya lalu bertatapan dengan manik mata merah kristal yang sama seperti miliknya.
Henzi, sebenarnya pemuda ini baik. Aku menyayanginya. Hanya sebatas menyayanginya. Wajah Luciel terlintas dibenaknya.
“Maafkan aku, Henzi”
“Ada apa, Azura”
Henzi menepuk pucuk kepala gadis itu. Jauh didalam lubuk hatinya, ia menyadari bahwa Azura tidak bisa membalas cintanya sepenuhnya.
“Maafkan aku yang belum bisa mencintaimu”
Henzi mengacak – acak pucuk kepala gadis itu lalu menepuknya beberapa kali. Lalu, pemuda itu tersenyum hangat pada gadis itu.
“Asal kau berada disisiku saja aku sudah sangat bersyukur”
Pemuda itu berbaring diatas rumput lalu menengadah keatas menatap langit kelam.
“Sebelum bertemu denganmu hidupku seakan – akan tidak ada artinya lagi.”
Pemuda itu memejamkan matanya, Azura memutuskan untuk ikut berbaring disebelah laki – laki itu.
“Ayahku, Kakakku, semuanya membenciku karena ibu meningga karenaku, karena menyelamatkanku ketika kecil.”
Senyum pedih terukir dibibir pemuda itu. Azura sesak merasakan kesedihan dan kesepian pemuda itu.