Ilustrasi : pemakamam.
Ning! Nung! Ning ! Nung!
Suara ambulan terdengar begitu menyebalkan. Gaungnya yang bising, selalu membawa kabar kematian. Karena itu, aku lebih benci—dan takut— ambulan daripada setan.
"BAPAK ULAH MAOT!" (jangan mati!)
"BAPAK!" Murka. Hilal menjerit sejadi-jadinya. Tantrum, menggila, terus merengek sampai hancur hatinya. Dunia berkabung, tapi maut takkan pernah peduli. Dia takkan pernah berhenti, walau kita menangis dan tertawa. Panggilan adzan itu menenangkan, dan panggilan ajal selalu menyebalkan. Terutama, bagi mereka yang terlalu cepat berjumpa dengan kematian. Perpisahan memang terelakkan.
"UA UU...."Dina, Dini, dan Deti turut menjerit.
Jangan mati Bapak, jangan mati. Aku terus meringis, menangis, dan histeris. Bersama sepupu-sepupuku di Persinggahan, naik angkot sewaan, mengikuti mobil ambulan yang membawa jenazah bapakku. Sementara itu, Mamah naik mobil Toyota Kijang LSX milik Mang Obon. Mang Obon yang seorang pemimpin Inabah mendadak menjadi supir, mengantarkan kakanda tercinta menuju peristirahatan terakhirnya. Bersamaan dengan roda mobil yang berputar, roda kenangan terus berputar, mengingat semua kenangan Bapak.
"Sing sabar Yati... Eling!" Bi Ecin, istri Mang Obon menenangkannya. Dia mendekap ibu muda yang kelak akan menjadi janda.
"Kang UU...." Mamah sesenggukan, ditumpahkan lah air matanya pada istri, politikus kaya itu. Bi Ecin, menerimanya dengan ikhlas. Dia menahan jeritnya, mencoba tegar, untuk wanita yang terluka di sebelahnya. Karena, tugas seorang wanita memang untuk saling menguatkan.
"EAAAA!" Diman yang masih bayi tersentuh hatinya. Dengan bahasa bayi, dia ingin menyampaikan pada ibunda yang telah melahirkan, bahwasanya dia turut berduka. Diusapnya air mata anak bungsunya itu sementara air mata mamah terus mengalir, tak ada yang mampu mengusap air matanya. Mang Obon sibuk menyetir, dan Bapak yang jadi sandaran Mamah dikala resah , telah tiada. Mah tumpahkanlah air matamu hari ini sepuasnya, kelak perjuanganmu lebih berat saat ditinggal Bapak.
23 Desember 2002. Malam itu jalanan Tasikmalaya milik Keluarga Pandawa. Raungan anak-anak Pandawa mengalahkan suara sirine ambulan yang berisik. Semua mobil memberi jalan, sehingga jenazahnya bisa sampai ke Suryalaya begitu cepat. Sayangnya, aku tak bisa melupakannya dengan cepat, kenangan indah bersamanya terlalu berlimpah. Aku tenggelam di dalamnya.
Air mataku tumpah bak banjir bandang di jaman Nabi Nuh yang maha dahsyat. Semua tangisanku kucurahkan untuk Sang Gumelar. Di malam yang dingin dan sunyi, dalam sebuah angkot butut, tangisan keluarga Muchtar menghantam bumi. Setiap tetesan-tetesan air mata yang kami jatuhkan berisi butiran-butiran kenangan bersama Bapak.
Beberapa jam sebelumnya
Keluarga Pandawa berangkat dari Padepokan Surya ke Pesinggahan Besar untuk singgah, sekaligus pergi check-up ke dokter. Setelah tiga hari, Bapak berobat ke mantri andalannya : Mantri Komar. Sayangnya, kesembuhan sedang sungkan untuk datang, Bapak masih sakit. Akhirnya, Bapak memilih berobat ke kota Tasikmalaya walau harganya lebih mahal. Harga dokter konon lebih mahal dari mantri, tapi harga nyawa, jauh lebih mahal dari ijazah kedokteran.
Keluarga Pandawa pergi naik angkot bersama Ua Kokom, dan Mamah. Sebagai bangsawan alakadarnya, naik kijang atau angkot bukan masalah bagi kami. Selama keneknya waras, nyawa keluargaku tetap di kantung.
Siang harinya kita pergi check-up ke rumah sakit. Setelah lama menunggu, hasil diagnosa dokter keluar, ternyata Bapak sakit komplikasi akibat terlalu banyak ngopi dan merokok. Aku berkeluh, "Tuh, kan Bapak mah gak pernah dengerin aku, rokok itu jauh lebih jahat dari Gorgom. Sehat itu mahal, Baja hitam pun, belum tentu menang lawan penyakit."
Bapak hanya mengangguk, dia sadar candu yang membelit, jauh lebih jahat dari perompak yang memenggal dengan sekali tebas. Pelan-pelan, tubuhnya digerogoti candunya dari dalam. Selayaknya puntung, sesal sudah tiada harganya.
Mentari sudah mulai terbenam, dan angkot Panjalu sudah tidak ada. Setelah berdiskusi, Keluarga Pandawa memutuskan untuk singgah di Pesinggahan Besar sedangkan Us Kokom pergi kembali ke Suryalaya naik angkot Panjalu-Tasik.
"Aduh, ieu awak segala kerasa...," Bapak terus meringis di Pesinggahan. Bapak terus mengeluh. Ini perdana, baru kali ini kulihat Bapak mengeluh. Bukan karena kemiskinan, istrinya yang bawel, tapi karena candu yang menggerogoti paru-parunya sedari lama. Alisku turun, bibirku cemberut. Tak tega melihat sang imam Keluarga Pandawa yang semakin kurus kerontang, lunglai tak berdaya, selonjoran di sofa.
Ini, seperti bukan bapakku. Beratnya turun sepuluh kilo gram. Walau dari dulu kurus, tapi nampak jelas perbedaannya : dulu wajahnya cenghar, bercahaya, dan selalu tersenyum terang. Kini, wajahnya pucat pasi, bibirnya kering, dan terkuras dayanya.
“Makanya kurangi rokok sama kopinya. Bapak mah Mamah ngomong teh, gak pernah di dengar.” Mamah memijat tubuh bawa yang lemas.
“Susah kalo udah nyandu mah...,” Bapak mencoba tersenyum. "Kayak Bapak yang udah kecanduan ama kasih sayang Mamah, susah lepasnya." Gombalannya terdengar pedih. Lemas, tanpa daya.
"Ih, malah gombal!"
"Bapak teh sakit apa atuh, kok lemes begitu?" Hilal kecil menghampirinya.
"Hehe... tenang aja nanti juga sembuh." Bapak malah nyengir.
"Alhamdulilah Bapak sudah sehat," pikirku.
"Sakit komplikasi, makanya Aa kalo udah gede jangan merokok."
"Kalo Ranger Merah merokok enggak, Pak?" tanyaku.
"Enggak, setahuku mah...," Hilal sok tahu.
"Kalo gitu mah, aku juga gak bakalan merokok," kataku.
"Sama!" Hilal ikut-ikutan.
“Pak, nanti kalo sudah sembuh beliin Aa sama ade PS, yah?” Aku mengalihkan perhatian.
Lelaki tua itu hanya terkulai lemas.
“Saya teh pengen beli PS kayak Si Alif, biar seru di rumah, kalo VCD yang bisa main game sega mah, kurang seru" Curhat lah anak-anaknya.
"Bapak dengerin si AA, ade juga pengen PS," Hilal ikut bicara. Dia juga senang bermain PS. Kita sama-sama maniak Harvestmoon. Waifu pilihan Hilal di back to nature adalah Karen dan Popuri. Aku sebenarnya suka Manna dan Sasha, tapi karena belum ada cheat buat ngawinin mereka, aku pilih Karen atau Eli. Dikiranya kalo nikah ama Eli, berobat ama dokter bisa gratis, eh ujung-ujungnya bayar juga.
"Iya pak beli PS!" Ingin ku semakin bergemuruh.
"Insyaallah!" Bapak yang tersenyum lemas mencoba tetap tegas. "Nanti, Bapak bakal beliin."
"Aa jangan ganggu Bapak," Mamah meraung. "Kasihan Bapaknya lagi sakit. Mending kalian bobo aja dulu. Udah malam bisi ada Uka-uka."
Mamah menakuti-nakutiku. Waktu kecil aku dan hilal orangnya penekat (penakut tapi nekat). Bangun jam 12 malam bukannya solat tahajud malah nonton kepala botak lenang Hari Panca yang botak seperti Tuyul dan Mbak Yul.
"Ia, Mah!" Hilal menurut.
"Bapak, Aa bobo dulu ya!" aku berpamitan untuk tidur.
Bapak tersenyum ke arahku.
Sang bulan telah timbul, sinarnya menerangi kegelapan malam. Sepupuku tertidur lelap. Aku dan Hilal tidur lelap setelah tak henti-hentinya bicara soal Playstation. Dasar bocah Bapak lagi sakit, malah mikirin mainan.
"Hoam..." aku menguap. Hilal ikut menguap. "Ayo lal tidur, takut ada uka-uka!"
Hilal mengangguk.
Kami mulai berdoa, "Bismika allah huma... HWAAAAY!" Dan terlelap lah dua anak gembala itu. Matanya terpejam dengan indah. Kupeluk erat guling kesayangan, sebuah senyuman manis menghias bibirku. "Tuhan, aku hanya ingin Playstation, tolong sembuhkan Bapak supaya kita bisa membelikannya." Begitulah doaku malam itu.
********
“A.... Bangun, A. Bapak meninggal."
Di malam yang sunyi, berita kematian lah yang membangunkan dari mimpi-mimpi indahku bermain PS bersama Oki dan Nirmala di negeri dongeng harus pupus, terbangun kan oleh suara sendu Bi Eli yang sendu. Kata-katanya seperti dongeng tersuram yang tak sudi kudengar.
"Bapak." Dadaku terasa sesak, bibirku terkunci, dan hatiku tersambar. Tuhan kemana kan janjimu? Aku hanya ingin Playstation, bukan berita kematian.
Ini tak sesuai ekpektasi, Bapak sembuh, lalu ajak kami jalan-jalan ke HZ— tempat teristimewa di Tasikmalaya. Kita jalan-jalan menikmati Tasik yang asyik, masuk ke toserba Yogya lalu membeli sebongkah Playstation. Setelah punya playstation Bapak mendapat berkah dari kebaikannya. Setelah 50 tahun berkarya, lagu ciptaanya, alim di dua, meledak di pasaran. Mamah gembira, dan kita menjadi anak artis yang ceria. Keluarga Pandawa bakalan kaya raya seperti Roma Irama dan Haji Baban yang rumahnya megah seperti Istana Olimpus. Ya Tuhan, mungkin itu hanya kehidupan Bapak di semesta lainnya. Hari ini Bapak wafat, dan aku masih terbelit mimpi-mimpiku yang besar. Andaikata aku tahu Bapak akan mangkat, malam itu, aku takkan meminta sebuah Playstation, biarlah kesembuhannya yang jadi kado terindah untuk kehidupanku.
"HWAAA!"