Anak-anak Surya : kisah anak bangsawan dan nostalgia 90an

Alwinn
Chapter #6

Wasiat Kematian Bapak Dalam Buku Rahasia


Ilustrasi : pemakaman Bapak Uu.

“Bapak ulah maot!” Jerit tangis Hilal pecah dalam keramaian, memecah keheningan malam yang mencekam. Bapak jangan meninggal, begitulah kata Hilal. Tantrum yang tak tertahankan, suaranya melengking tinggi, dipenuhi keputus-asaan. Dina dan Dini ikut menjerit, “Ua Uu jangan pergi!” Di dalam angkot, suara mereka begitu terpuruk, terasa sesak ke dalam jiwa. Di depan kami, seuah  mobil Toyota Kijang LSX milik Mang Obon melaju dengan begitu kencang—menghantarkan Bi Ecin, Mamah Yati, dan Diman kembali ke Suryalaya. Sosok yang dikenal sebagai pemimpin Inabah yang tegas itu, tampak begitu lemas, dadanya terasa sesak, merasakan luka kehilangan kakanda tercinta.

"EAAAAA!!" Diman yang masih bayi tersentuh hatinya. Dengan bahasa bayi dia ingin menyampaikan pada ibunda yang telah melahirkan, bahwasanya dia turut berduka. Diusapnya air mata anak bungsunya itu, sementara air mata mamah terus mengalir, tak ada yang mampu mengusap air matanya. Mang Obon sibuk menyetir, sementara Bi Ecin mencoba menenangkan Mamah Yati yang gundah karena kehilangan suami tercinta.

23 Desember 2002. Malam itu jalanan Tasikmalaya terasa seperti milik Keluarga Pandawa. Raungan anak-anak Pandawa mengalahkan suara sirine ambulans yang berisik. Semua mobil memberi jalan, sehingga jenazahnya bisa sampai ke Suryalaya lebih cepat. Sayangnya, aku tak bisa melupakannya dengan cepat, kenanganku bersama Bapak Uu begitu banyak. Air mataku tumpah bak banjir bandang di zaman Nabi Nuh yang begitu dahsyat. Semua tangisanku kucurahkan untuk Sang Gumelar. Di malam yang dingin dan sunyi, dalam sebuah angkot butut, tangisan keluarga Muchtar menggema, menghantam bumi. Setiap tetesan-tetesan air mata yang kami jatuhkan berisi butiran-butiran kenangan dan kebaikan yang beliau berikan.Aku tak mengira Bapak akan pergi secepat ini.

Beberapa jam sebelumnya, Keluarga Pandawa berangkat dari Padepokan Surya ke Pesinggahan Besar untuk singgah, sekaligus pergi check-up ke dokter. Tiga hari yang lalu Bapak berobat ke Mantri Komar, tapi belum kunjung sembuh. Setelah check-up di rumah sakit, ternyata Bapak menderita penyakit komplikasi, akibat kebanyakan ngopi dan merokok. Aku sempat bercerita padanya, bahwasanya rokok itu jauh lebih jahat daripada Gorgom. Kesehatan itu sesuatu yang mahal. Bahkan, Ksatria Baja Hitam pun, belum tentu menang melawan penyakit ini. Bapak tersenyum getir, tak kuasa melawan takdir. Selama bertahun-tahun tubuhnya digerogoti candunya dari dalam. Kini, yang tersisa untuknya hanyalah sebuah penyesalan.

******

Mentari luruh perlahan, melukiskan senja yang jingga dan elegan. Jam tiga sore sudah tidak ada angkutan umum, Keluarga Pandawa memutuskan tuk menginap di Pesinggahan Besar. Di Pesinggahan, Bapak terkulai lemah. Batuknya yang terdengar begitu membahana, mengoyak hati Mamah Yati yang mendengarnya.Sebagai pilar Keluarga Pandawa yang terang dan kuat, kini hadirnya bagaikan lilin yang hampir padam, cahaya wajahnya meredup perlahan. Tubuhnya yang sehat bugar, kini ringkih, diserang penyakit.

“Makanya kurangi rokok sama kopinya. Bapak mah Mamah ngomong teh, tara pernah didengar.” Mamah memijat tubuh bawa yang lemas.

“Susah kalau sudah nyandu mah.” Lelaki tua itu tersenyum lembut, lalu mulai merayu istrinya. “Sama susahnya kayak Bapak yang sudah kecanduan kasih sayang Mamah." Gombalannya terdengar pedih. Lemas, tanpa daya.

"Ih, malah gombal!"

Di kala sibuk merayu, Hilal yang penasaran, bertanya pada ayahnya. "Bapak teh sakit apa atuh, kok lemes kitu?" 

"Sakit komplikasi. Makanya, Ade sama Aa jika sudah besar nanti jangan merokok, ya?"

"Ari Ranger Merah sok ngarokok, teu?" tanyaku.

Bapak menggelengkan kepalanya.

"Oke. Kalau gitu mah, aku juga gak bakalan merokok," kataku.

"Sama, Ade juga gak bakalan merokok, seandainya Ultraman tidak merokok." Hilal ikut-ikutan. Bukan main, seandainya Ultraman udud sebungkus setiap hari, maka yang ada polusi udara yang tercipta.

“Pak, kalau sudah sehat nanti  beliin Aa sama Ade PS, yah?” Aku mengalihkan perhatian, bercerita dengan wajah yang berbinar terang.  “Aku teh pengen punya PS kayak si Alif, anak Pak Taufik. Soalnya,permainannya leuwih seru dibandingkeun game Nintendo, Pak.”

"Bapak dengerin atuh, Ade juga pengen punya PS, teu masalah satu buat berdua juga!" Hilal ikut bicara. Dia juga senang bermain PS.

 "Insyaallah mun  Bapak tos sehat, nanti bakal dibelikan.”

Kita sama-sama maniak Harvest Moon. Di dunia nyata, berkebun dan bertani adalah hal yang membosankan bagi kami, tapi ketika masuk dalam permainan, segalanya menjadi berbeda. Di saat gamer lain berjuang untuk menyelamatkan sawah yang terancam, tujuan kami memainkan game ini hanyalah untuk memancing ikan, berpetualang, gombalin cewek, menjalin cinta, dan menikah dengan gadis virtual.  Waifu pilihan Hilal adalah Karen, sosok pemabuk yang memikat, sedangkan aku terpesona pada Ann, putri pemilik restoran dan penginapan yang selalu menghadirkan kehangatan.  Aku sebenarnya lebih  suka Manna dan Sasha, tapi karena belum ada cheat buat menikahi istri orang, makanya aku terpaksa memilih  Ann si pelayan yang ceria atau Eli si perawat yang keibuan. Dikiranya apabila menikah dengan Ann, setidaknya aku bakal mendapatkan makan gratis, atau jika menikah dengan  Eli, bisa berobat tanpa biaya. Eh, pada  ujungnya tetap harus bayar juga. Dasar game kapitalis yang tahu betul cara bikin gamer kerja rodi.


Hari sudah malam, Mamah Yati memerintahkan buah hatinya beristirahat. Sungguh jenaka, Bapak yang sedang terbaring lemas menghantui pikiranku, tetapi pikiran kecilku terus saja memikirkan sebuah PlayStation yang pernah dijanjikannya. Aku pergi ke kamar, memeluk mesra guling kesayangan. Setelah memanjatkan doa terindah tuk kesembuhan ayahanda, kita memejamkan mata. Malam itu senyum manis terlukis di bibirku, kita mengira bahwasanya besok Bapak bakalan sembuh, lalu mengejutkan kami  dengan hadiah satu box PlayStation keluaran terbaru. Nyatanya, satu-satunya yang mengejutkan hanyalah status kami yang berubah menjadi anak yatim.

********

“A... Bangun, A. Ayo, kita berangkat ke Suryalaya, Bapak Uu tos maot."

 Di malam yang kelam, harapanku ikut terbenam. Ketika kami sedang terlelap, Bi Eli memberi tahu kami bahwasanya Bapak telah tiada. Dadaku terasa sesak, bibirku terkunci, dan hatiku tersambar. Tuhan ke mana kan janjimu? Aku hanya ingin Playstation, bukan berita kematian.  Di luar ekspektasi. Aku membayangkan kehidupanku di semesta yang lainnya. Semesta di mana Keluarga Pandawa adalah keluarga bangsawan kaya yang berbahagia. Semesta di mana Mamah Yati tak perlu lagi begadang seharian demi mencari nafkah, semesta di mana Bapak  Uu menjadi musisi termasyhur yang hidupnya berkelimpahan. Semesta di mana aku tak perlu kelaparan karena menabung uang jajanku demi membeli sebuah mainan. Semuanya terdengar begitu indah, tapi keindahan sesungguhnya adalah sebuah keikhlasan. Realitanya, Bapak Uu telah wafat  dan aku harus kuat. Andaikata aku tahu Bapak akan mangkat, malam itu, aku tidak akan meminta sebuah Playstation, melainkan minta sebuah kesembuhan pada Tuhan.

“Bapak ulah maot!” Hilal menjerit sekeras-kerasnya. Tangan kurusnya mulai memeluk tubuh Bi Eli yang gempal, dia menumpahkan tangisnya yang terus mengalir deras laksana tsunami kepedihan. Jeritan Hilal yang lantang telah membangunkan anak dan cucu Mak Anah yang sedang terlelap. Si sulung mulai meraung dengan sekeras-kerasnya, Dina, Dini terbangun dari tidurnya. Tangisan anak-anak Pesinggahan, memecah keheningan malam. Dinding biru rumahku, disiram kabar kematian yang hitam. Kesedihan berdenyut keras malam itu. Rasanya begitu sakit ketika Tuhan memberikan sebuah harapan kesembuhan, dan harapan itu diremas begitu saja.


.******

28 Desember 2002, Suryalaya

Kepergiannya yang mendadak membuat hatiku terkoyak,  terasa ditusuk ribuan jarum. Kehilangannya telah mencakar jiwa kami yang terdalam. Sesampainya di Suryalaya, aku, Hilal, dan Mamah Yati pergi ke Istana Awan, tempat di mana Bapak akan dimandikan. Sementara, cucu-cucu Emak Anah memilih tidur bersama anak dan cucunya di rumah, terlentang di atas lantai yang beralaskan tikar pandan. Dina dan Dini diam seribu bahasa, tak kuasa menahan kesedihan; Hendrik menunduk lesu, terjebak nostalgia. Dia ingat ketika dirinya ingin jajan di warung, tapi ayahandanya (Ua Apit) sedang kopong dompetnya. Bapak datang ke samping Hendrik yang menahan lapar, Sang Gumelar merangkulnya dari belakang, lalu berturut lembut padanya, "Belilah semua yang kamu mau, soal uang biar Mang Uu yang bayar." Hendrik begitu riang, diambillah mainannya seraya mengucap. "Nuhun pisan, Kang Uu!" Dengan tenang Bapak Uu malah berkata, “Berterima kasih sama Allah, jangan sama Bapak. Mang Uu mah hanya sekadar perantara.” Kata-katanya yang sederhana membuat Hendrik yang nakal menjadi lelaki yang lebih getol beribadah.

Awan duka menyelimuti Istana Awan. Suasana rumah yang biasanya dipenuhi gelak tawa yang indah, malam itu terasa begitu goyah, gelap dan kelam. Kepergian Bapak Uu bagai badai kesedihan yang menerjang, menyapu bersih aura kegembiraan di dalamnya. Luka kehilangan begitu terasa, teruma bagi Nenek Didah dan cucu-cucu kesayangannya yang sewaktu kecil sering diasuh oleh almarhum. A Ferdi dan Teh Fitri, anak Mang Obon yang telah remaja, berlinang air mata di ruang tengah ketika melihat pamannya terbujur kaku. Sementara itu, ke empat anak Ua Nunung, Teh Letty, Teh Lina, A Iwan, dan A Irfan—yang sudah menganggap Bapak seperti ayah kedua—masih dalam perjalanan ke Suryalaya. Hati mereka tercabik-cabik, mengingat setiap buliran kasih yang Sang Gumelar berikan. Tak heran, setelah Bapak tiada, anak asuhnya sering kali mentraktir kita jajan dan mengajak kami jalan-jalan. Benih kebaikan yang Bapak berikan pada orang lain, kini menjadi bunga kebaikan yang tumbuh subur bagi anak-anak dan istrinya. 


Lihat selengkapnya