Ilustrasi foto: aku dan Hilal ketika sunatan di Istana Awan, rumah Nenek Didah.
Dunia mengenal Adipati Karna, putra Dewa Surya yang sakti mandraguna. Sayangnya, mereka belum mengenal Anak-anak Surya, anak-anak keturunan Arab-Sunda dengan daya imajinasi yang luar biasa. Novel ini merupakan catatan perasaan dan syair jiwa yang mengukirkan kisah masa kecil kami di Pondok Pesantren Suryalaya pada tahun 2000-an. Sebuah potret intim tentang perjalanan spiritual dan pencarian jati diri anak-anak generasi 90-an. Sebelum era digital menyapa, kami tumbuh di era di mana lapangan bola, rumah tetangga, dan hamparan sawah yang hijau menjadi kanvas bermain yang menyenangkan. Hari Minggu menjadi hari raya kecil kami, di mana senja dan mentari yang tenggelam menjadi tanda berakhirnya pesta bermain. Kehidupan kami bagaikan kanvas polos yang memiliki berjuta makna. Tanpa perlu polesan filter, like, komen, dan validasi, warna-warna kebahagiaan sudah terlukis dengan cara yang aesthetic.
Novel ini merupakan persembahan terindah untuk Anak-anak Surya yang kini telah beranjak dewasa, serta untuk ayahanda dan adik tengahku yang telah berpulang ke alam baka. Sebuah catatan perasaan yang kuracik tuk mengenang 15 tahun kematian Raden Saepul Hilal, The Little Gumelar, lelaki kecil berhati besar yang memiliki cita-cita luhur mewujudkan wasiat ayahandanya: Raden Uu Subhan. Kisah ini berpusat pada perjalanan Trio Cemen, tiga sahabat yang belajar tentang makna kedewasaan tanpa kehilangan jiwa kanak-kanak yang masih kuat mengalir dalam diri mereka. Bagaikan Power Ranger, aku membagi Anak-anak Surya dalam lima kekuatan berbeda: Trio Cemen, Trio Macans, Gen Suryana, Barudak Suryalaya, dan Gadis Mentari. Setiap nama menjadi mantra yang memiliki kekuatan dan peran, memudahkan penyebutan dalam kisah ini.
1. Trio Cemen
Ilustrasi: aku, Hilal, dan Rian pas kecil.
Ini adalah kisah Trio Cemen, manusia setengah bangsawan yang hidup di tatar Sunda, tepatnya, Kota Santri, Tasikmalaya. Kami bukanlah anak-anak kraton yang menetap di villa mewah tujuh tingkat dengan kolam renang bening menghampar, dan puluhan mobil sport yang harganya seratus kali lipat dari harga ginjalmu. Kami bukanlah anak dari bangsawan kasta atas, yang setiap hari makan kakap, punya asisten selusin di rumah, dan dipuja-puja oleh masyarakat setempat. Faktanya, kami tak sesempurna para Pandawa di kisah Mahabharata yang gagah, perkasa, sakti tiada tara. Kami hanyalah bocah-bocah cungkring, culun, berparas lumayan, yang sering jadi samsak barudak bangor di sekolah.
Ya, kehidupan kami terlihat seperti mayoritas bocah pada umumnya. Makan tahu-tempe, tinggal di rumah alakadarnya, dan bermain di atas gundukan bentala keruh yang banyak cacingnya. Yang membuat masa kecil kami istimewa dan penuh warna adalah akulturasi budaya Arab dan budaya Sunda yang kental serta perjuangan kami melawan perundungan dan kerasnya kehidupan. Di Kampung Godebag kita belajar memuliakan manusia, lewat luka, cinta, dan tawa yang kami lalui bersama.
Sebagai “Manusia Setengah Bangsawan”, kami, Trio Cemen terbiasa hidup di antara dua dunia. Dari keluarga ayah, kami merasakan atmosfer kehidupan ningrat yang dipenuhi kemewahan dan berkelimpahan, sementara dari keluarga ibu, kami belajar tentang cinta, luka, dan pelajaran hidup yang lebih dalam. Mamah Yati, ibuku, dan Teh Kokom, mamahnya Rian, memiliki kisah cinta yang unik. Mereka hanyalah gadis muda dari keluarga biasa yang berjodoh dengan keturunan ningrat yang usianya terpaut lebih dari lima belas tahun. Bapakku, Raden Uu Subhan, hanyalah seniman lokal yang hobi mancing, sementara ayahnya Rian, Haji Mamat, merupakan seorang guru bahasa Inggris yang menekuni ilmu tasawuf. Gelar “Raden” yang kami miliki berasal dari kakek kami, Raden Bustom, yang masih memiliki garis keturunan Kerajaan Garut dan juga keturunan Sunan Giri. Nenek kami, Didah Rosidah merupakan adik dari Abah Anom yang masih memiliki silsilah keturunan Arab dari Wali Songo. Terlahir dari keluarga yang memiliki darah Arab-Sunda yang kuat, menginspirasi kami semua tuk menjadi makhluk spiritual yang menjaga warisan dan budaya yang diwariskan oleh leluhur kami.
Raden (A Firda, Halim, Alwinn)
Aku terlahir di Sukalaya, tumbuh di Suryalaya, dan hidup dengan sukacita. Suka itu bahagia, dan laya itu tempat terbit, sedangkan surya artinya matahari dan laya artinya tempat terbit. Laksana anak cahaya, aku merasa terlahir dan diterbitkan oleh Tuhan untuk membawa sukacita, cinta, dan cahaya harapan bagi orang-orang di sekitarku. Terdengar so sweet, bukan? Faktanya, waktu kecil aku adalah bocah hiperaktif dan minderan. Lelaki yang terbiasa menghadapai berjuta perkara. Kebahagiaan itu seperti benih pohon, tak langsung berbuah manis, butuh waktu dan usaha untuk tumbuh subur.
Gadis-gadis di sekolah menjulukiku si Ganteng Kalem karena sifatku yang katanya sih pintar dan pendiam. Imbasnya, banyak barudak bangor yang jealous dan memberi julukan aneh seperti “Jantung”, “Sang Bangau”, dan “Manusia Karet”. Katanya, kakiku kurus dan jenjang terlihat seperti bangau, diamku seperti jantung pisang, dan aksi gilaku saat main bola–sering kali loncat tinggi sampai tak sengaja menendang kepala anak orang—bagai aksi Monkey D Luffy di manga One Piece. Namun, di balik kesan impulsif yang mereka tangkap, sebenarnya aku hanyalah lelaki moody yang lebih suka rebahan. Tak ada yang bisa kusombongkan dalam kehidupanku. Tampan? Itu hanya takdir. Pandai? Detektif Conan jauh lebih pintar. Pendiam? Itu tergantung siapa dan di mana aku bergaul. Pak Ero pernah berkata, "Kamu itu pandai, kelak kamu akan sukses." Aslinya, aku pemalas. Karena malas remedial, aku terpaksa belajar lebih giat; malas berkelahi membuatku lebih gemar mengalah; dan karena malas hidup susah, membuatku menghabiskan separuh waktuku untuk terus berkarya dan belajar supaya menjadi hebat. Aku ingin roda keberuntungan selalu tahu di mana aku berada.
Hilal (Ade, De Ilal)
“The Little Gumelar”—begitulah dunia mengenangnya. Like father like son. Seperti Bapak Uu versi sachet, Hilal orangnya friendly, dermawan, dan berani. Sayangnya sifat cengeng, pemarah, dan sensitif bundanya melekat kuat bak lem korea. Jangankan diputusin cewek, kebendol bola saja nangisnya bisa berjam-jam.
Di balik sifat cengengnya, Hilal sebenarnya seorang perasa. Apa yang bunda pinta, pasti dia wujudkan. Berbeda denganku yang cuek dan tak suka dipeluk, Hilal orangnya royal. Saking baiknya, dia sering mentraktir jajanan dan minuman energy saat kawan-kawannya kelelahan bermain bola. Selain bola punya Donny, bola sepak milik Hilallah yang sering dipakai futsal—nyeker dari subuh sampai magrib. Tak heran jika saat bocah kompleks selalu nyamper ke rumah. Berkat sifat supelnya, Trio Cemen jadi mudah bergaul dengan orang-orang keren di Suryalaya.