Anak-anak Surya : kisah anak bangsawan dan nostalgia 90an

Alwinn
Chapter #10

Minggu Pagi dan Tradisi Ngaras di Pesantren Suryalaya (nostalgia masa kecil)


Ilustrasi: aktivitas keluarga Pandawa di Minggu pagi kala masih lengkap.

Guruku yang mulia duduk anggun di kursi rodanya

Menunggu ikhwan dan akhwat datang tuk bersalaman

Lautan manusia padati Suryalaya

Minggu pagi cerah, terbukalah pintu rezekiNya

Ngaras ke Pangersa Abah, mengais karomah

***

Sepasang bola mata bulat terbelalak saat menyaksikan deretan manusia yang mengular dari gerbang pesantren sampai Masjid Nurul Asror. Tua-muda, miskin-kaya, jelata-bangsawan, melebur menjadi satu, berbaris dengan tertata demi ngalap berkah seorang wali termasyhur dari Suryalaya, pangersa Abah Anom. r.a. Seorang mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, berkepribadian sederhana yang memikat berbagai kalangan karena adab, akhlak, dan karomahnya. Amalan zikir jahar dan zikir khofi yang menentramkan hati telah diamalkan selama lebih dari seratus tahun oleh puluhan ribu muridnya yang tersebar di mancanegara. Dari rakyat jelata, bangsawan yang terhormat, hingga kalangan artis dan politikus ternama, banyak yang telah berjumpa dan berguru dengannya. Salah satu sahabat Abah yang paling termasyhur adalah Gus Dur dan Soeharto. Dua pemimpin besar berlatar dan karakter yang berbeda, tapi memiliki pemikiran spiritual yang sama: sufisme, jalan kedamaian.

Minggu pagi di patapan Suryalaya adalah masa terbaik bagi para ikhwan dan akhwat yang hendak ngaras ke pangersa Abah Anom dan berziarah ke makam Abah Sepuh. Teruntuk para pedagang dan juga tukang asongan, sebuah keramaian merupakan kesempatan paling bergairah untuk mengumpulkan rezeki yang berlimpah. Ayam baru berkokok, kita sudah stay di warung. Mamah Yati tersenyum sumringah, kedua tangannya menyusun puluhan botor air mineral secara rapi dan estetik supaya memikat tamu-tamu yang berdatangan. Ada banyak pilihan, mulai dari akua gelas, akua botol, hingga akua yang ukuran 500 ml. Hilal membawa satu toples permen yang kan berguna sebagai alat pengganti recehan. Garis senyum indah terlukis di wajahnya, menyambut puluhan tamu yang hendak berbelanja. Rombongan tamu mulai memadati Toko Firda, mereka berbondong-bondong membeli sebotol air mineral, dan selembar amplop putih. Simbiosis mutualisme. Dengan kedatangan para tamu, pedagang mendapatkan rezeki yang berlimpah dari hasil berjualan, sedangkan para tamu yang datang mendapatkan kepuasan batin. Kerinduan para ikhwan untuk bertawasul dan bertemu guru yang dicintainya telah terbayar tuntas.

"Kriuk, kriuk" suara Ciki Bal yang garing terdengar begitu renyah. Demi hadiah kepingan Tazos bundar, dua kantong snack kulahap sampai tak tersisa. Satu bungkus lagi. Buntalan nasi pulen yang hangat kumasukkan ke dalamnya, lalu kuremas-remas dengan mesra sampai taburan micin keju yang lezat, tercampur rata. Aku berbagi pada Hilal. Bola-bola nasi keju menjadi sarapan kilat kami yang mengenyangkan.

Tatapanku tertuju pada Mamah Yati yang gigih berjualan. Buliran air mata, dia tahan supaya tak berjatuhan. Hilal merindu. Dulu, ayahanda yang selalu berada di sisi ibundanya, sang satria tua yang meringankan lelah istrinya. Kini, Mamah Yati bekerja seorang diri demi anak-anaknya terkasih. Ada jiwa yang besar di balik tubuh kurusnya. Dengan sigap Hilal langsung maju ke garis terdepan, melayani tamu yang berdatangan. “Mah, biar Ade bantu, yah.” Hilal menatap bundanya dengan kasih, tuturnya begitu lembut.  Sang ibunda tersenyum bahagia. Si sulung pun menghampiri ibunya. Surga memang di telapak kaki ibu, tapi perhatiannya teralihkan oleh sebuah permen kaki berwarna merah dalam toples.  Sret! Kuambil dua buah, lalu “krak” suara" permen kaki yang manis remuk di mulutku. Kucubit pipi adikku seraya berkata, “Mah, Aa mah biar bantu jalur langit aja, yah? Aa mau nonton kartun dulu, doanya entar nyusul, selesai salat Zuhur.” Dengan gesit, aku melarikan diri ke dalam rumah. Spontan mereka berkata, “Dasar Kabayan, bukannya bantu  jualan malah rebahan!"

 

Anak-anak manusia

Berbaris di Suryalaya

Menenteng aqua, berharap berkahNya

Jelata, bangsawan, miskin atau kaya

Semuanya sama, di mata Tuhannya.

Semua bahagia, dicintai gurunya

The Little Gumelar bersenandung dengan merdu. Gemuruh tepuk tangan yang meriah telah mencerahkan perasaannya. Pipinya merah padam, tapi hatinya dibalut dengan syukur. Suara merdunya berbanding terbalik dengan suaraku yang serak-serak becek seperti tokek pilek. Getaran suaranya yang indah dan menggelegar terdengar merdu di telinga tamu-tamu yang baru datang. Senyum hangatnya yang ramah telah mengundang rezeki untuk Mamah. Puluhan emak-emak bergamis hijau berkunjung ke toko Firda, toko kelontong Mamah Yati yang diambil—tanpa sezin— nama depanku. Bagai tentara di medan perang. Mamah digempur pembeli dari segala arah, sementara Hilal melayaninya dengan rencana.

“Aqua yang oren sabarahaan, A?” kata ibu berhijab hitam. Parasnya secantik Inneke Koesherawati. Dia menunjuk ke arah air mineral merek Cleo.

Lihat selengkapnya