Anak-anak Surya : kisah anak bangsawan dan nostalgia 90an

Alwinn
Chapter #3

Kisah Manusia Setengah Bangsawan dan Budak Maling Kesayangan Bapak



Ilustrasi : Okeb, Aku, Yusuf, Betrand, dan Fullo.

 

Bocah unyu penerus bangsa,  duduk manis di ruang kelas, Dia tampil begitu menawan layaknya pahlawan kecil yang siap mengukir sejarah di masa depan. Sementara itu, Bapak Uu menungguku di luar ruangan,  kesabaran yang terpatri di wajahnya. Semenjak TK, Bapak selalu mengantar anak sulungnya yang rada  “buta arah” pergi ke sekolah. Pas SD, aku bagaikan kapal tanpa kompas: walau jarak sekolah tak terlalu jauh, tapi melihat belokan-belokan kecil saja itu langsung bisa membuatku terdistraksi dan tersesat. Makanya, Bapak Uu dengan kasih sayangnya yang tanpa batas selalu setia menemaniku setiap pagi menuju gerbang ilmu dan lahan nostalgia: SDN Surialaya. Di kala Bapak Uu sibuk mengantar-jemputku ke sekolah, urusan dagang jadi urusan Mamah Yati dan perkara masak di rumah menjadi tugas Emak Anah.

Jam tangan Donald bebek yang melekat di pergelangan tanganku menunjukkan pukul sembilan siang. Karena keterbatasan ruang kelas, murid kelas satu dan kelas dua bergantian memakai ruangan. Di kelas, aku berjumpa dengan murid baru. Sebut saja namanya Betrand (samaran). Tubuhnya kurus kering, kulitnya pucat kusam. Kudis dan borok yang membalut tubuhnya seperti aksesori alami yang tidak estetik. Baunya seamis ikan mati, sangat menusuk hidung. Tak heran, tak satu pun orang mau dekat dengannya. Gayanya urakan bagai berandalan, berbeda denganku yang selalu rapi, baju dimasukin, dan tampak culun alamiah. Dia pikir gaya tengilnya sekeren Sadam (Derby Romero) di film Petualangan Sherina. Namun, faktanya  Betrand lebih mirip gembel jalanan yang sesungguhnya: tengil, hobi ngelem, dan bergumul dengan kemiskinan. Semua mata tertuju padanya. Betrand di pandang bukan karena rupa eloknya, atau prestasinya, dia diperhatikan karena tingkahnya. Baru seminggu sekolah, dia sudah dirumorkan mencuri uang tabungan.

*****

Jam istirahat tiba. Aku duduk di atas kursi kayu. Di atas sebuah meja, tanganku berselancar kesana ke mari, menggerakan pena, corat-coret di atas kertas ,menggambar bola naga, sementara mulutku yang mungil asyik menyantap cimol Mang Abbas yang legendaris. Aku menikmati golden time menjadi seniman cilik. Karena kebanyakan titik dan gambarnya sedikit penyok,  dua bola naga yang kugambar lebih mirip onde-onde. Di kala aku asyik menggambar, kulihat  Okeb yang sedang ngemil Chocky-chocky sambil ghibah bersama Fullo, Piyan, dan Hoodie Deleng. Betrand si anak baru menjadi topik pembicaraan panas mereka. Kehadiran Betrand lebih hot dari sosok  Marylin Monroe, cimol panas Mang Abbas, dan jagung bakar.  

“Eh, kamari kamu lihat Si Betrand pas di kelas?" Okeb memulai percakapan.

Namanya Suhudi Firdaus, tapi kami sering memanggilnya Okeb karena badannya yang gempal, kelihatan oon, dan sifatnya pemalas mirip karakter Kebo di komik Si Kancil. Dia orangnya polos. Okeb percaya bahwa Sun Go Kong benar-benar ada di dunia nyata, ia percaya kuntilanak dipaku bisa berubah jadi bidadari, dan dia percaya bahwa kucing rumahan masuk surga dan kucing garong masuk neraka. Walau orangnya rada nakal dan boros, tapi kepolosannya yang selalu menghibur anak-anak di kelas.

 

"Emangna kunaon kitu, Keb? " Fullo sang fakboi kelas terlihat penasaran. Badannya tinggi besar, kulitnya hitam legam, dan matanya bulat seperti jengkol. Dengan posture segede kingkong , buat kaum-kaum lemah takut dengannya.

“Si Betty mergokin Betrand maling duit tabungan siswa yang disimpan di atas meja Bu Etty!" bisiknya.

Nu bener?” Piyan penasaran. Piyan yang cerdas, observatif, sedikit skeptis.

“Demi Allah! Iris kupingku kalau aku berbohong!" Okeb menantang.

"Awas Keb, fitnah teh lebih kejam daripada Gorgom!" kata Piyan menakuti dengan musuh Baja Hitam  yang jahat dan  menyebalkan. Seperti sihir kata-kata Okeb menjadi nyata. Keesokan harinya, banyak siswi yang mendadak kehilangan uang tabungannya. Kini, yang kehilangan bukan hanya mereka yang menyimpan tabungan di atas meja guru, mereka yang menyimpan tabungan dalam tas juga kemalingan. Malingnya terlalu polos, ia mencuri saat anak-anak lengah, dan bermain di luar kelas. Sang ketua dan wakilnya, Neneng Yeike dan Syaiful Anwar langsung bertindak mengatasi kasus ini.

Satu kelas heboh. Semua mata tertuju kepada Betrand, tapi mulut mereka bungkam karena belum bisa dibuktikan. Wajar saja semua curiga, sebelum kehadirannya, kelas kita adem ayem, tak pernah ada kasus pencurian. Kasus paling absurd hanyalah kasus Fullo yang buat nangis anak cewek atau kasus Hendra yang pas kelas satu viral karena berak di celana, di mana lele kuningnya melekat kuat di atas kursi kayu.

*****

BRAK! Tiba-tiba tangan  Fullo menghantam meja Betrand dengan keras, aksinya buat jantungku hampir copot. Okeb, Hoodie, dan Fullo datang dengan tangan terkepal. Mereka melabrak Betrand di sekolah. Aku yang malas berurusan dengan budak bangor,  berpura-pura baca komik Tatang S yang legendaris. Mataku melirik ke samping, mengamati aksi mereka yang sok kuat.

"ARI SIA KUNAON, ANJIR?" Betrand murka. Matanya merah menyala.

Tong loba bacot, dasar tukang madog!” Fullo meminta Betrand supaya tak banyak bicara, dia menuduh Betrand sebagai pencuri.

"Mun enyaemang kunaon? Wani sia ka aing? Betrand semakin congkak, dia menantang Fullo. Tangannya mendorong Fullo ke belakang. Fullo menahan tinjunya.

"Hoodie, pariksa  tasnya si Betrand!" Fullo memberi komando.

Hoodie menggeledah tas milik Betrand yang lusuh seperti karung beras. Hasilnya, nihil, hanya ada buku Sidu dan pensil Inul, pensil lentur yang bisa goyang-goyang, tapi tidak seksi. Hoodie membuka buku tersebut lalu mengecek lembar demi lembar. Kali aja, dia menyelipkannya di sana. Another Zonk. Bukannya dapat duit, dia malah lapar melihat tulisan Betrand yang burik ala ceker ayam.

'Kosong, euy!" seru Hoodie dengan wajah kecewa.

Betrand tersenyum licik.

"Serius, nih?" Fullo jadi semakin curiga. Dalam hatinya dia bergumam: jangan-jangan, Betrand sudah menghabiskan uangnya buat beli cimol.

 

Suara kaki menggema di lorong kelas. Ahmad Yusuf Efendi, bocah jenius yang dikenal seantero sekolah, memasuki ruangan dengan tenang. Hidung mancungnya seolah mencium aroma perselisihan yang berkeliaran di udara. Matanya yang setajam silet, tertuju pada sahabatnya, Fullo yang sedang menginterogasi Betrand. Hasrat berpikirnya terbuka, dia mencoba mengungkap pelaku malingnya laksana Detektif Conan.

 "Aya naon ieu teh ribut-ribut?" Yusuf mulai mengunyah permen karet Yosan, favoritnya. Dia penasaran dengan kegaduhan di dalam kelas.

"Ieu, si buduk maling duit!" Hoodie membalas dengan nada geram, sembari menghantam kaki meja dengan dengkulnya. Frustasi, dia tak menemukan barang bukti.

"Coba geledah dia, Suf!"perintah Fullo.

Yusuf tertawa liar. Si jenius yang suka akan tantangan langsung berkata, “Hayu, kita pecahkan kasusnya sekarang juga!” Wajahnya berubah serius. Senyum kecil terbit dari wajahnya, dia mengangguk bahagia. Sebagai penikmat Detektif Conan, ini waktu yang tepat bagi Yusuf untuk unjuk gigi.

Investigasi dimulai. Dengan gerakan yang cepat dan penuh percaya diri, Yusuf merapikan dasi merahnya yang menawan, seakan ini adegan penting dalam episode kehidupannya. Dia mulai bertanya kepada anak-anak kelas, mencari tahu dengan lebih detail: kapan waktu kejadian, siapa saja yang kehilangan uang, dan siapa saja yang layak dijadikan tersangka. Dia menginterogasi semua anak yang ada di dalam kelas. Pertanyaannya sederhana. “Semuanya, berapa uang jajan kalian dan apa yang kalian beli hari ini. Jawab dengan jujur!”

"Aa, kamu hari ini jajan naon?" tanya Fullo.

"Cimol Mang Abbas jeung komik Si Petruk!" jawabku dengan tenang.

"Hahaha!" Fullo dan Okeb tertawa terbahak-bahak. Bagi mereka, hobiku mengoleksi komik karya Tatang S terlihat aneh. Ceritanya yang absurd memang sering kali tak masuk akal, contohnya seperti pertarungan Wewe Gombel VS Batman. Di mana Petruk rela berkostum Batman hanya demi mengajar demit yang kelebihan “susu”. Gengsi ditertawakan, dengan tegas kuberkata, "Bukan komik Petruk saja, saya doyan baca buku Siksa Neraka!" Seketika semuanya terdiam dan menaruh hormat padaku. Hanya orang bermental kuatlah yang mampu membaca komik horror tersebut. Gambar-gambar gore yang menyeramkan yang melukiskan siksaan-siksaan pedih secara detail, buat bocah bengal takut untuk menyentuhnya. Selain majalah Hidayah, komik inilah yang jadi cikal bakal sinetron azab di Indonesia.

"Bekalmu berapa?" Yusuf melanjutkan interogasi dengan serius. Dia membuat balon karet di mulutnya.

"Dua rebu lima ratus."

Yusuf mulai menghitung, "Komik Petruk… lima ratus… Siksa Neraka… harganya lima ratus, cimol Mang Abbas, lima ratus. Jadi, uangmu sisa seribu, ya?"

“Benar.”

"Kamu aman!" Yusuf menepuk pundakku dengan bangga. Sekarang, Yusuf mengintogerasi Fullo dan Hoodie, mereka juga aman. Sekarang tinggal Betrand dan Okeblah yang belum ditanyai.

"Keb, kalau kamu hari ini jajan naon, terus uang jajanmu berapa?" Yusuf menaikkan sebelah alisnya.

“Bekalku dua ribu.”

“Terus?”

Lihat selengkapnya