"Kuis kocok-kocok pemandunya Eko Ulfa!"
"LEBIH KERAS!"
"KUIS KOCOK-KOCOK PEMANDUNYA EKO, ULFA!" Tanganku bergerak ke sana-kemari, menari samba, bergerak dengan gemulai. Gayaku mengikuti koreo yang diajarkan Bang Hasan—koreografer di Madrasah Aliyah— tadi siang. Diman kecil kini sudah mulai bisa merangkak. Dia tertawa dengan gemas.
Di malam yang cerah, dua anak yatim berjingkrak-jingkrak di atas kasur kapuknya. Begitu riang seolah dunia milik berdua. Mamah yang dan Emak asyik nonton Mak Lampir, terheran-heran melihat kami. Dia jadi curiga jangan-jangan anaknya kerasukan Grandong. Mamah bertanya, "Tumben ih, happy pisan, ada apa?"
"Tadi di pengajian, kita dapat undangan dinner bersama Ulfa Dwiyanti sama ikutan kuis di tv mah!" Hilal teramat begitu cerah.
"Latihan Mah, supaya masuk Tim Utama, kalo cadangan mah cuma nonton di pinggiran doang," kataku. "Tugas Tim Cadangan sebagai pengganti kalo ada yang sakit aja."
" Emangnya latihan apa?" Tangannya begitu sibuk menyusui Diman yang mungil. Si kecil mulai terlelap.
"Koreo, ama Yel-yel mah," Hilal menjawab. Acara yang kami ikuti bukanlah Who Wants to be millioanire, apalagi Miss Universe, tapi Kuis Kocok-kocok. Kuis semacam arisan dengan aneka challenge layaknya Super Deal 3 Milliyar. Kalo Yel-yelnya bagus, kita bisa dapat hadiah hiburan jutaan rupiah.
"Saha wae yang ikutan?" Emak Anah turut penasaran. Ubun-ubunnya sampai keluar.
"Banyak Mak, cucu Abah juga diundang. Ada Yeike, Bang, Beng, Al dan Bung. Teman sekelasku Betty, Anwar, Okeb, Hanna, dan Mei juga ikutan."
"Kalo Rian?"
"Enggak. Rian mah masih kecil!" Bola matanya melirik ke atas. "Kayaknya Si Rian mah sibuk main kaleci sama A Abdul. Mentor barunya. Anak kesayangan Ua Nunung."
Emak menggeleng. "Kaleci we, jeung kaleci di otak kamu mah!"
"Gak papa atuh mah, daripada mikirin kasbon mah rieut. Pusing tujuh keliling!" Aku pandai mengeles.
We are so excited. Bagiku, masuk televisi adalah hal yang paling Bapak inginkan. Sebagai musisi, Bapak pasti bangga lihat anaknya masuk tv.
*****
Keesokan harinya
Anak-anak Surya berbaris rapi di masjid Nurul Asror. Seragamnya kompak, sebuah baju koko berwarna kuning pisang membalut tubuh mungil para santri mungil. A Hasan mulai mengabsen satu persatu peserta kuis. Di samping A Hasan, ada Bu Milea, dan anak Abah : Mamah Otin dan Mah Ati [1], mamahnya Bung, sepupuku yang berbadan gempal yang terlihat paling subur. Merekalah yang bertanggung jawab mengurus kami di Bandung nantinya.
Di taman bunga kulihat kupu-kupu menghisap nektar, menikmati kehidupan. Dalam hatiku berkata, "Gak sabar, namaku disebut."
Satu persatu nama disebutkan. Sepupuku Bang, Beng, Al dan Bung sudah masuk Tim Utama. Pertanda baik. Aku, dan Hilal saling merangkul, dan tersenyum begitu lembut. Kami begitu pede bisa join Tim Utama, mengingat sepupuku di masukan semua.
Semenit, dua menit, tiga menit, dan sepuluh menit berlalu , namaku dan Hilal tak kunjung disebutnya. Ternyata, Duo Pandawa terpaksa jadi Tim Cadangan bersama Okeb, dan empat anak yatim lainnya. Seperti bunga-bunga terbelangkai ditepi jalan, wajahku begitu layu, lepek bagai keset. Kosong.
"Anak-anak setelah ini kita kumpul di PLK. Kita bakal pergi ke Bandung," A Hasan memberi instruksi dengan entengnya.
Hilal Kecil menatap cemburu ke arah Asep dan Anwar, sepupu A Hasan yang masuk Tim Utama. Di matanya, mereka masuk jalur orang dalam. Teman sekelasnya, Sandy dan Benny turut menyemangati. "Yang sabar Lal, yang penting mah kita bisa lihat artis." Jawabannya begitu polos selayaknya bocah lugu pengkoleksi tazos.
Bus sudah menunggu di tempat parkir, Anak-anak Surya yang terpilih, berjalan beriringan mulai masuk ke dalamnya. Riang sekali wajah mereka. Hilal yang lesu, menarik kerah bajuku, dia memintaku tuk menghampiri Mamah di rumah. Di Padepokan Surya, dia menumpahkan keluh kesahnya.
******
"Mamah, Ade gak masuk tv," Hilal beruraian air mata, nangis tersedu-sedu. Tangan kecilnya, menutup pintu kayu dengan pelan. Wajahnya begitu sendu, bagai janda yang tak laku. Little Gumelar memeluk ibunya dengan erat. Emak memberinya air doa supaya dia tenang.
"KAMU SIH PENDIAM!" aku teramat murka padanya. "Makanya, kita gak di anggap!"
"Si Bung aja pendiam, tapi masuk!" Hilal menyela. Alasanku terbantahkan.
Sang Janda mengusap bahu anaknya. Dia menenangkan. "Sudah, mungkin belum rejekinya."
"Tapi cucu Abah masuk semua, kita aja yang enggak. Sepupu Bang Hasan, Anwar dan Asep juga masuk." Hilal terus meracau, sambil sesekali menyeka air matanya yang kacau.
Emak menasehati dua cucunya, "Jangan suka syirik ama orang lain. Apalagi sama saudara sendiri. Jadilah orang yang ikhlas ama sabar supaya hidup kalian berkah."
Hilal menyusut air mata lalu berkata, "Gak mau ah, Ada mau masuk TV!" Hilal begitu keras. Tegas seperti Bapak.
Mamah menggaruk rambutnya. Ia terdiam. "Jadi kalian teh mau ikut atau enggak? Kalo mau berangkat, kalo enggak udah di rumah aja."
"Mau!" kami menjawab serempak. Walau dada kami sesak, tapi cahaya harapan masih bersinar di lubuk hatiku.
"Ingat kata-kata Bapak kalo mau sukses harus apa?" Mamah tersenyum merdu.
Secara kompak kami bicara, "Kudu belajar ikhlas, sabar ama tawakal."
Selepas mencium tangan Mamah dan Emak Anah, dengan lapang dada kita pergi ke Bandung.
******
Anak-anak Surya sampai di di Bandung. Mata kami yang terbiasa dimanjakan pesawahan yang hijau dan rindangnya pohon jati, kini dibuat takjub oleh cantiknya mojang Bandung, dan megahnya mall Bandung Super Mall yang gedenya, segede lapangan bola.
"Gede banget yah mallnya, pasti yang bangun, kulinya buto ijo," celetuk Okeb bercanda.
"Coba deh Sangkuriang dulu bangun mall, pasti diterima ama Dayang Sumbi," hayalku.
"Kok bisa?" Harry bertanya.
"Soalnya cewek mah suka shopping. Hahahaha."
Berbeda dengan kami. Trio Macans begitu cuek. Merekalah tak terlihat norak. Jalan-jalan dan shopping di mall adalah hal biasa. Beda banget feelnya denganku yang sekalinya ke kota cuma pergi ke McD.
"Lihat Lal, tempat parkirnya gede banget," Sandy teman sekelasnya, terpesona dengan tempat parkir yang jauh lebih anggun dari rumah kayu miliknya.
"Ia, lebih gede dari rumahku, " kata Harry.
"Wah, enak kali ya punya rumah segede ini?" Hilal berkhayal.