Ilustrasi: Keluarga Pandawa di depan Toko Firda.
Suryalaya, Minggu Pagi
Gemericik air dingin mengalir deras ke sebuah balong (kolam ikan), tempat di mana ikan mas, gurame, dan nila berdansa riang, menari-nari dengan liar seraya menyambar butiran pelet ikan yang dijadakan “perangkap” yang lezat. Di sebuah kebun yang terletak di pinggir rumah, kupu-kupu liar terbang dengan anggun, hinggap di atas bunga yang indah bermekaran, lalu mulai berikhtiar, lalu dengan lembut mulai mengisap nektar dari bunga-bunga yang memikat. Pohon mangga berdiri kokoh, ditemani pohon petai, singkong, dan jambu yang berbuah lebat. Semuanya tampak menggugah selera saat dipandang dari depan kolam. Di atas tanah gembur, sayur-sayuran yang indah, menunjukkan pesonanya, cabe rawit tumbuh genit, kangkung Bandung yang hijau jadi peneduh; laja, jahe, dan daun bawang jadi bumbu pelengkap masakan nenekku, Emak Anah, yang doyan masak. Walau hidup sederhana, Keluarga Pandawa hidup dengan penuh keberkahan tiada tara, ingin ikan tinggal mancing, ingin buah tinggal memetik, ingin nikah? Tinggal minta restu orang tua.
Di dalam sebuah rumah yang sederhana, aku dan Hilal duduk anteng di atas sofa sambil menyantap singkong keju yang sedap. Mata kami yang belo, terpaku pada televisi tabung 14 inci. Minggu pagi sampai siang bolong adalah waktu sakral untuk menonton Power Ranger, Dragon Ball, dan aksi pahlawan super. Saat malam tiba, giliran Mamah Yati menonton sinetron Tersanjung, lalu saat malam sudah larut itu jatah Bapak Uu nonton Liga Inggris.
Hilal menyesap air dari botol mungil yang dia bawa, merasakan segarnya tetesan air yang menghilangkan dahaganya. Dia berkata, “Untung aja hari ini Mike Tyson lagi gak tinju, jadi kita bisa nonton kartun dengan bebas tanpa rebutan remote sama Bapak.”
“Emangnya Bapak tak ke pasar?” Alis tebalku naik sebelah, tanganku menjamah singkong goreng panas lalu mulai menyantapnya perlahan. Sebagai anak sah, tahu betul bahwa Minggu pagi, Toko Firda sedang ramai-ramainya. Mamah sibuk bertempur di warung, sedangkan Bapak Uu yang romantis, dia rela berkelana demi belanja kebutuhan istri tercinta. Minggu pagi di Suryalaya ribuan ikhwan dan akhwat yang datang ke Suryalaya untuk mengikuti kegiatan ngaras, minta air doa pada Abah Anom. Konon, apabila kita kita bertawasul pada orang shaleh yang masih hidup maka doa kita lebih mudah didengar Tuhan.
Tanganku berayun, menyibak tirai biru. Di balik jendela kayu cokelat, kutatap sosok lelaki tua yang sedang duduk sendirian di tepi kolam ikan, ekspresinya begitu tenang saat sedang memancing. Bapak Uu sedang mancing ikan. Duh, gaya duduknya gagah mirip Raja Atlantis. Tatapannya tajam seperti elang, gerakannya tenang seperti cheetah, dan kesabarannya dalam menangkap ikan mengalahkan kesabaran kura-kura yang melahirkan. Kehidupanku di desa seperti live action Harvest Moon. Bapak Uu senang berkebun, ia punya kolam ikan dan kebun sepetak di samping rumah. Dia pelihara ayam, burung, kucing, dan kelinci. Dengan cinta kasih dan ilmu berkebun autodidak, tanah yang kosong dan gersang, Bapak sulap menjadi penuh buah dan sayur mayur yang lezat.
"CENUT! CENUT! CENUT!"
Cetut! Tali pancing yang semula kendur kini menegang seperti tali busur yang siap meluncur. Sang ikan, dengan sekuat tenaga melawan tarikan tangan Bapak Uu. Air kolam yang tenang seketika menjadi riuh dan bergelombang. Dengan satu tarikan yang kuat, Bapak Uu berhasil mengangkat tarikan itu keluar dari air. Di darat, ikan itu berontak hebat, sisiknya yang indah begitu berkilau saat terkena cahaya mentari pagi.
"LAL, LIHAT BAPAK DAPAT IKAN BESAR!"
"Asyik bisa makan lauk goreng!" Raut bungah terlukis dari paras Hilal. Kami berlari keluar, meninggalakan kartun kesayangannya demi bertemu Bapak Uu yang perkasa. Kini, mataku memandang ke arah sebuah ember hijau berisi ikan-ikan yang segar. Ada nila kecil yang gemuk, sebuah lele yang berkumis tampan, dan sebuah ikan mas “betina” yang montok dan sisiknya berkilau. Melihat perutnya yang bengkak, sang ikan sedang buntung, gembul sekali.
"Wah, laukna garembul (ikannya gemuk), Pak!" Tangan mungilnya mencengkeram ikan betina yang terlihat sedang mengandung. Sensasi amis dan licin menyelimuti tangan kecilnya.
Srat! Dengan gesit, kurebut ikan mas malang itu dari genggaman tangan Hilal. Kecemplung! Byuur! Kulontarkan kembali ikan itu ke dalam kolam, terkejutlah Hilal dan mengkerutlah dahi sang ayah. Meski bibirnya nyut-nyutan, sang ikan kembali berenang dengan senang.
"Si Aa mah blekok! Malah dilempar deui ka balong!" Kepalanya berapi-api, asap keluar dari lubang hidungnya. Hilal menatapku dengan tatapan memangsa, dia kesal ikannya kulempar kembali ke kolam
"Gandeng, ah. Moal ngerti budak leutik kawas kamu, mah!" ucapku dengan wajah mendongkak. Anak kecil sepertinya, takkan memahami yang kulakukan.
Bapak melerai kami. "Sudah jangan berkelahi, Bapak sudah mancing ikan yang banyak!” Pak Uu menunjukkan ikan hasil tangkapannya di sebuah ember plastik hijau. Bapak tersenyum seraya mengelus rembut rambut Hilal yang gondrong. Bapak yang penasaran bertanya padaku. "Aa kunaon dilempar deui ikanna?"
Aku tersenyum dengan penuh cinta kasih. "Kasihan atuh Pak, ikannya teh lagi hamil, jadi biarkanlah dia hidup lebih lama supaya bisa melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Nah, kalau anaknya sudah besar, baru deh kita tangkap semuanya!"
"Pinter oge kamu, ya." Hilal mulai paham.
"Hahahaha!" Bapak tertawa. "Sudah, sekarang mah kita masak saja ikan dulu. Bapak geus lapar!"
"Sama, Pak!" kita menjawab serentak.
*****
"Hidangan tos siap, hayuks urang taruang, mumpung haneut keneh! " Emak Anah menyajikan ikan goreng panas ke atas meja makan. Katanya, ayo kita makan mumpung masih panas.
Acara ngaliweut dimulai. Bagi Keluarga Pandawa, ruang makan adalah tempat sakral tuk berbagi cinta dan berjuta cerita. Di samping meja kayu sederhana, kami duduk bersama sambil bersenda gurau, ditemani kehangatan nasi pulen, tahu-tempe, ikan goreng, dan sambal rawit pedas yang menggugah selera. Mungkin inilah potret keluarga bahagia: makan bersama dengan menu sederhana sambil saling bersenda gurau satu sama lain. Tanpa gangguan gawai, keintiman keluarga jadi lebih erat dan menyenangkan.
Keluargaku adalah keluarga yang unik. Aku menjuluki keluarga kecilku sebagai “Keluarga Pandawa”—pandai, mapan, tampan, asyik, dermawan, dan berwibawa. Hidup untuk bahagia, ibadah, dan tertawa. Mamah Yati hanyalah gadis Sunda dari keluarga sederhana yang berjodoh dengan seorang lelaki keturunan Arab-Sunda. Darah Arab bapakku berasal dari nenekku yang masih ada keturunan Sunan Giri, sedangkan darah bangsawan Sunda berasal dari kakekku yang masih ada keturunan Kerajaan Garut dan masih ada silsilah turunan Prabu Siliwangi. Tak heran, dengan latar belakang kerajaan yang kuat, Bapak Uu selalu menghadirkan nuansa cerita pewayangan setiap kali kami berkumpul di meja makan. Beliau sering kali berbagi kisah tokoh pewayangan yang legendaris, seolah ingin menanamkan nilai-nilai ksatria pada diri kami. Dia ingin kami belajar jujur seperti Yudistira, kuat seperti Bima, gagah seperti Arjuna, serta tampan dan pandai seperti Nakula dan Sadewa.
Ilustrasi: masakan liweut buatan chef keluarga kami: Emak Anah. Karena Mamah Yati gak bisa masak maka Emak Anahlah yang biasanya masak masakan. Itu pun kalau Emak lagi ada di Suryalaya.
Setelah Bapak Uu bercerita tentang kisah Mahabarata, maka giliran akulah yang bercerita. “Pak, sawaktu di sakola Aa pernah denger Bu Nina bercerita, nanti setelah kita meninggal, arwah manusia tuh takkan jadi hantu seperti di film Casper. Katanya, nanti yang udah meninggal teh bakalan nunggu di alam kubur sampai hari kiamat tiba, lalu dihidupkan kembali di hari kebangkitan. Terus amalan kita bakalan ditimbang, tapi bukan dengan kiloan beras kayak punya si Mamah di warung, tapi melalui sistem hisab kitu. Orang sholeh bakalan masuk Surga dan orang jahat bakalan masuk Neraka. Tapi... Masalahnya bukan itu, Pak.”
“Naon atuh masalahnya?” Bapak menopang dagunya, memperhatikan seksama.
Dengan polos aku bertanya, “Pak, Ultraman sareng Baja Hitam kira-kira bakal masuk Surga teu, Pak?” Seraya menyeruput jus jeruk, kupasang mimik wajah yang serius. “Kalau Power Ranger, Aa yakin bakalan masuk Surga, tapi kalau yang dua itu, Aa kurang yakin. Surga itu kan Allah ciptakan buat manusia, tapi masalahnya Ultraman mah alien jeung Ksatria Baja Hitam mah cyborg, manusia kaleng. Nanti, amalan mereka diterima teu, kan mereka mah lain manusia tulen?”
Bapak Uu tertawa renyah mendengar pemikiran anaknya. Matanya memandang heran pada istrinya tercinta. “Menurut Mamah, Ultraman masuk Surga atawa Neraka?”
“Masuk angin!” celetuk Hilal. Hilal membuka mulutnya lebar-lebar, menerima dengan lembut suapan tangan Mamah Yati. Aku langsung memandangnya dengan tatapan geli.
Emak Anah yang agamis turut menjawab dengan suaranya yang manis, “Kasep, eta mah tergantung amal-amalan Power Rangernya, kalau Power Rangernya rajin salat, ngaji sama puasa, Insyaallah masuk Surga.”
“Mau masuk Surga atau masuk Neraka eta mah urusan Allah. Nah, lamun Aa sareng Ade jarang ibadah, baru eta jadi urusan Mamah. Nanti, di akhirat Mamah nu bakalan dimarahi ku Allah kalau kalian susah nurut.” Matanya memandang sinis kedua buah hati kecilnya yang saling menatap pelan, menahan serangan sindiran.
Seketika aku terdiam. Soalnya tiap menonton Power Rangers itu dilematis. Di satu sisi mereka itu suka musnahin monster, di sisi lain banyak gedung dan rumah warga yang hancur gara-gara mereka gelut terus. Selama nonton Ultraman, aku belum pernah tuh melihat adegan Ultraman pergi ke masjid, tiap ada mentari terbenam juga dia mah langsung terbang ke ruang angkasa.
“Sudahlah, jangan memikirkan jagoan Jepang sama jagoan Amerika mulu! Yang penting mah jagoan Mamah sing loba makan supaya gembul. Awas, jangan disisakan nasinya, nanti nasinya ceurik!" Mamah Yati mengancam. Katanya, kalau nasinya tidak habis maka nasinya akan menangis.
Spontan aku menjawab, “Kalau nasinya nangis mah, gampang atuh, Mah. Tinggal dibeliin aja boneka atau mainan, si Ade juga bakalan langsung cenghar kalau dikasih mainan baru.”
Bapak Uu nyeletuk, “Kalau nasinya ceurik mah, kasih aja duit. Si Mamah juga langsung bahagia kalau dapat duit sagepok mah. Hahaha.”