Anak-anak Surya : kisah anak bangsawan dan nostalgia 90an

Alwinn
Chapter #4

Gara-gara Rokok, Kamar Mainan, Dan Hikmah di balik penyakit

Rokok dan Keluarga Pandawa

Ilustrasi : asap rokok yang menyerang kesehatan.

Bapak memang suami yang baik, ayah yang hebat, dan musisi multi talenta, tapi sayangnya dia pecandu yang buruk. Bukan pecandu narkoba atau penikmat mamah muda. Dia seorang perokok berat, dan pecinta kopi. Rokok garpit, dan kopi kapal api adalah favoritnya.

Fuuuh! Asap kusam yang segak mengepul dari bibirnya. Bapak duduk di atas kursi kayu dengan santai sementara Mamah begitu sibuk jualan rokok di warung. Bapak perokok aktif, dan Mamah seorang juragan rokok. Selain beras, minyak tanah, dan indomie, rokok adalah salah satu barang buruan konsumen. Keuntungan menjual sebungkus rokok hanyalah seribu atau dua ribu perak, tapi dengan faktor kali, keuntungannya bisa jutaan.

"Fuuuuh!" Kutiru gaya Bapak. kuhisap rokok-rokokkan yang terbuat dari coklat bubuk. Aku duduk di sampingnya. Hilal mengikutiku, dia menirukan gaya Bapak yang menghisap, dan menyemburkan asap perlahan ke udara. Bapak tertawa melihat tingkah anaknya. "Jangan dekat-dekat, Bapak lagi udud. Asapnya bahaya!"

"Kalo bahaya lalu kenapa dihisap?" Kubaca bungkus rokoknya, "Merokok dapat menyebabkan kanker, impotensi, gangguan kehamilan, dan janin."

Bapak menyimak.

"Aya yang kurang pak tulisannya."

"Apa, A?"

"MENYEBABKAN MISKIN."

 Bapak tertawa. "Kurang sedekah, itu baru penyebab miskin."

"Pak, rokoknya ganti ama ini aja!" Hilal menyerahkan sebatang permen rokok-rokokkan yang terbuat dari biang coklat.

"Itu juga sama, bisa diabetes."

"Susah, A sudah nyandu," keluh Bapak.

"Nanti sakit lho Pak, ngerokok mulu," aku menasehatinya.

"Insyaallah gak Papa," Bapak mengelak. "Bapak sudah kebal."

Naasnya, akulah yang tak kebal.

******

1 bulan kemudian.

"Ohok-ohok." Dahak kental keluar begitu dahsyat, terus batuk-batuk layaknya burung pelatuk. Nafasku tersengal, terseok-seok, pedih seperti ditumbuk di dada. Ternyata malah aku yang sakit. Setelah dicek, aku sakit bronkitis karena jadi perokok pasif. Selain sepatu homyped, penyakit paru-paru emang ngetrend pada jaman itu. Bukan hanya aku saja yang pernah kena bronkitis, teman sekelasku Anwar, sepupuku Rian, dan juga Dikna juga terserang penyakit ini. Ganas, tak peduli kamu aki-aki, artis bahenol, dan bocah ingus sekali pun.

Gara-gara rokok, setiap sebulan sekali aku harus check up ke dokter dan meminum puyer yang pahitnya kayak tahi kuda. Selama 6 bulan penuh, obat harus di minum setiap hari, tak boleh terlewat. Jika terlewat sehari saja, perawatan di mulai dari nol. Untungnya, usaha ortuku sangat maju sehingga uang bukanlah masalah, di banding kesehatanku. Sesal terpaku dihatinya. Sebulan sekali Bapak mengantarkan aku check up ke dokter anak. Ada untungnya juga, aku jadi sering liburan, dan bertemu sepupu-sepupuku di kota.

Setiap ke Tasik, aku berburu mainan. Mainan-mainan bisu yang kubeli jadi pasukan penghibur kesepian. Kala itu, rintik-rintik hujan yang sendu jatuh tak tahu diri. Di bawah guyuran hujan, aku dan Bapak berlindung di sebuah stasiun angkot. Bapak termenung, bola mata coklatnya menangkap pemandangan menyedihkan, seorang bocah jalanan berbaju kumuh datang mendatanginya, tangan kurusnya memeluk keresek besar, mulut mungilnya terus meracau, bawel, menawarkan sekantong kresek yang tak diperlukan. "Silahkan Tuan, dibeli kreseknya."

 Bapak merogoh saku celananya, dikeluarkan lah dompet kulitnya, dan dengan ikhlas, Bapak membeli satu kantong keresek jumbo dari seorang anak jalanan yang basah kuyup. Hal itu terus berlangsung selama enam bulan, dengan bocah-bocah kumuh yang sama. Aku yang bingung, sempat bertanya, "Kenapa Bapak membelinya, kan Bapak, gak butuh?"

Kumis hitamnya mengambang indah, dia menjawab, "Bukan Bapak yang butuh, tapi mereka."

Aku yang masih kecil tak paham dengan kata-katanya.

Dari jauh kutatap wajah bocah jalanan yang lusuh bagai tergilas aspal, dia yang kumuh teramat gembira, berlindung di bawah pancaran tenda biru saung PKL. Mata kecilnya melihat lembaran lima ribuan seolah sebongkah permata. Si bocah berjalan dengan riang, lalu mulai menari-nari di bawah guyuran hujan. Merayakan bersama, anak-anak kesepian yang bermasa depan suram. Aku memandang dengan wajah iba. Ironis, mereka tinggal di jalan tapi tak sekalipun membeli mainan yang layak.

Aku mematung di depan jendela, menatap Ahmad dan Hilal yang bermain riang. Bola ditendang, terbang, menjungkal—tawa renyah, riang tiada tara. Bebas dari sakit, berjungkit-jungkit tanpa takut jatuh. Dan lihatlah aku yang termenung dalam rumah, galau, melihat mereka yang tak hentinya memukau.

Panggil aku sang kolektor. Mulai dari Lego china, Power Ranger hijau, dan Action figures, Saint Seiya. Lucunya, tak satu pun orang diajak bermain. Bapak tahu itu. Sesal berkecamuk di dadanya. Dari jauh, di atas kursi yang jenjang, Bapak menunduk malu, "Seandainya aku tak merokok, anakku pasti sehat." Ces! dimatikan lah sebatang rokoknya digenggaman tangannya. Bapak berjalan lalu berbisik padaku, "Tunggulah, Bapak bakal buat sesuatu buat Aa dan Ade."

Kata-katanya terdengar keren.

*****

Duk! Duk! duk!

Ketukan palu, keras, tak malu-malu, menggedor kamar di siang bolong. Sebuah kamar bekas (alm) nenek Fatimah —ibu angkat Bapak— direnovasi dengan gaya. Dinding-dinding kumuh, ditutup dengan terpal berwarna jingga. Setelahnya, dimasukan lah mainan-mainan saktiku satu persatu kedalamnya.

"Pak, kok mainannya di pindah ke sini semua?" Kugaruk bokongku yang gatal. Hilal yang menggila di luar, masuk ke dalam bersama Ahmad. Matanya clingak-clinguk.

"Ia, Pak, mainan ade juga?" Tangannya asik mengait emas di hidungnya. Hilal begitu tenang.

"Mulai sekarang, ini adalah istana kalian. Istana Mainan." Lagi, dan lagi Bapak mengelus-ngelus kepala anaknya. Dia menambahkan, "Kalo main jangan jauh-jauh, apalagi sampai mengejar nyawa ke jalan raya. "

"Heheh, ketahuan yak ngejar layangan?" ucapku malu-malu. Perhatian sekali lelaki tua itu. Dalam renta, kasihnya tak pernah buta.

"Ia, awas kalo nakal mah nanti dimasukin ke Inabah lho!"

"Yeah, makasih Pak! Kamarnya keren! " Dengan bungah, Hilal memeluk ayahandanya tercinta.

 

"Jangan atuh Pak, aku mah cuma kecanduan bala-bala."

"Lal, ayo gelut jeung aing!" Ayo kita kelahi kataku. Aku memasang topeng ranger merah milikku. Tanganku memegang pedang-pedangan. Ahmad siap siaga dengan pedang katana panjangnya.

" Ayo!" Hilal siap siaga. Bapak tertawa melihat tingkah Anak-anak Surya yang bagja. Dia berkata, "Jangan betulan ya gelutnya. Gak baik ribut ama anak tetangga. Nanti, Mang Adam marah."

Lihat selengkapnya