Syarat mutlak jadi lelaki muslim adalah syahadat, solat, dan sunat. Di antara ketiganya syarat ketiga lah yang paling sulit. Dengan iming-iming sebuah Playstation, aku relakan titit gantengku dipotong dukun sunat berwajah sangar. Padahal, Mike Tyson saja tak berani menyentuhnya. Di sebuah rumah khitan di Tasikmalaya, kurelakan kulit tititku yang menemani sembilan tahun penuh, terkelupas sampai ke akarnya. Aku dan Hilal dikhitan bersama.
Deg! Deg! Deg!
Jantungku berdegup kencang, gigiku yang gemeretak, tak tenang, tapi senang karena menjadi muslim sejati. Dengan kaki yang terus bergetar, menunggu giliran Hilal selesai. Dia baru kelas satu SD. Namun, mentalnya lebih tangguh dariku yang dua tahun lebih tua darinya. Demi sebuah Playstation, dia langsung move on dan tancap gas duluan. Bapak melihat ke arahku, tertawa melihat kakiku yang tak hentinya gemetar. Dia berkata, "Tenang aja gak bakalan sakit kok."
"Masa?"
"Iya, kaya digigit semut."
Di ruang tunggu, sanak saudara berkumpul semua. Mamah sibuk menyusui si Diman yang menggemaskan ; Dini dan Dina duduk manis menatapnya ; sepupuku A Yana dan Hendrik, Si Preman duduk di samping kiriku. Wajahnya yang garang, begitu bangga dengan cerita sunatnya yang ganas. Dia bercerita padaku, "Yeh, kamu mah untung sunatnya pakai pisau bedah, Endik mah sunatnya dibacok pakai golok!"
Kakaknya Yana membenarkan. "Iyah, mana sunatan masal lagi. Pedih banget, gak ada ba'al lagi."
Glek. Setelah dengar kisahnya, ingin rasanya mencopot tititku lalu melemparnya ke lahar gunung Kelud. Khitan masal memaakai golok terdengar seperti penjagalan masal. Tak terbayang bila aku dapat antrian paling bontot lalu tititnya putus karena dokternya kelelahan. Akh! that sick! Nyerinya sampai ke tulang.
"Pak kalo Ultraman disunat ga?" Kulontarkan pertanyaan nyeleneh tuk menenangkan jiwa.
"Tentu saja."
"Pffft." Hendrik menahan tawa.
Seandainya Ultraman disunat, sepertinya dia bakal self-sunat dengan laser beam miliknya. Dan disunatnya pun di luar angkasa seraya ditemani kerlipan bintang-bintang (mengingat mereka cuma kuat di bumi 3 menit). Saat disunat kaum Ultraman akan vakum berburu monster. Bisa bahaya kalo tititnya ditendang pas mereka tarung melawan monster kaiju.
"Kalo ranger merah?" Sekali lagi aku bertanya.
Bapak mengiyakan. Dina dan Dini ketar-ketir, tertawa serempak.
"Kalo Fir'aun Pak?" Semakin nyeleneh. Semuanya tertawa terbahak. Bapak terdiam. Seandainya betulan, masa saja manuk Firaun dibelah pakai tongkat ajaib.
Mang Ujang yang gregetan menjawab, "Semua lelaki itu disunat, kecuali Gorgom. Soalnya, dia tak punya burung."
Alisku naik sebelah, tak setuju. Dalam benakku, satu-satunya tokoh kartun belum disunat adalah Squidward. Kalo kamu jeli, benda tumpul yang menempel di hidungnya mirip titit impoten habis dikebiri. Pantas saja dia tak punya gairah kehidupan.
"BERIKUTNYA." Terdengar suara dukun sunat memanggilku. Kulihat Hilal keluar dari ruang bedah tanpa resah. Jalannya tegap, sambil tersenyum sumringah. Dagunya naik ke atas, seolah hidup tanpa beban. Kini, dia bangga jadi lelaki sejati.
"Gimana Lal rasanya?" Wajahku pucat pasi.
"Kecil!" katanya sambil menjentikkan jarinya. "Kayak di gigit semut."
Aku masuk ke dalam ruangan, memulainya dengan ucapan basmallah lalu ke luar dengan alhamdulilah. Titit perkasa yang masih utuh kini helmnya dicukur gundul ala Stone Cold. Botak berkilau. Memancarkan sinar kehidupan.
Selepas sunat, kita pun melepas penat di Pesinggahan Besar.
Welcome to Pesinggahan Besar.
Aku menamainya Pesinggahan Besar karena letak rumahnya yang di ujung sungai, dan sungai itu bau pesing yang ga nahan. Kata besarnya berasal dari nama jalannya, jiwa besar. Sama dengan penghuninya yang berjiwa besar. Di rumah Bapak mentraktir keluarga besar makan bakso jumbo sementara kita terkulai lemas di kasur. Keluarga besar Mamah yang tinggal di paseh, kumpul semua, dan merayakan terkelupasnya kulit sunat dengan khidmat. Satu persatu, sanak saudara mulai memberi uang cecepan pada kami. Dari uang itu, aku meminta Bapak membelikan dua buah tamiya : satu untukku, dan satu untuk Hilal.
"Pak, aku mah pengen Magnum saber!" Hilal menginginkan tamiya andalannya.
"Kalo saya mah, Sonic saber, Pak. Kan, aku kakaknya!"
Bapak pun pergi ke toko mainan. Sebelum pergi, dia mencium kening istrinya, dan si bungsu. Dia bertanya pada Dini dan Dina, "Kalo kalian, putri Mang Ujang mau apa?"
Dengan malu-malu mereka menjawab, "Kita mah minta doa nya aja Ua Uu, supaya sukses dan sehat selalu."
Bapak tersenyum lalu pergi ke toko mainan, diantar becak Mang Edi. Aku dan Hilal tertidur pulas di atas ranjang.
******
Clak! clak!
Derai tangis mulai mengiris pipi Hilal. Anastesinya sudah habis, pedihnya bukan manis— jleger. Memang betul kata Bapak, "Rasanya seperti digigit semut," tapi semutnya bukan semut imut yang hinggap di gula aren. Rasanya bagai digigit semut peluru yang segede Godzila. Rasa pedihnya bagai Mawar De Jong yang ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Semakin lama, sensasi di burung imut kami, terasa seperti terbakar, nyelekit, tercakar-cakar bagai semut-semut kecil yang digeprek Titan. Perihnya bukan main!
"Ampun ya Allah, ampun!" Hilal mengerang-ngerang . Mendesis. Aku yang sabar mencoba tegar. Ada mitos aneh. Konon, kalo nangis saat sunat, nanti jodohnya seorang Janda. Sebagai lelaki tangguh, aku mau jodohku perawan yang masih fresh. "Bapak, tolong!" aku menahan tangis.
Bocah tengil berkaos Smackdown datang ke arahku, tertawa bak biang gila. Hendrik yang tengil menasehatiku, "Yah, gitu saja nangis kamu Lal. Dasar lemah."
Kakak Hendrik, A Yana nyeletuk, "Diam saja kamu, Ndrik. Tak ingatkah engkau saat bedog (golok) itu membelah burung kerdil mu? Teriakanmu kayak wewe gombel, pecah perawan. Jeritnya, cucok banget!"
Wajahnya memerah seperti logo partai, untungnya gak ada bantengnya. Kata-kata A Yana yang tegas, menyeruduk Hendrik sampai kena mental. Puas sekali kita melihat Hendrik galau.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Bapak pulang dari toko mainan, dia membawa dua box tamiya yang dinantikan. Kudapat tamiya berwarna kuning sedangkan Hilal sebuah Magnum berwarna putih. Tamiya sudah dirakit oleh tukangnya jadi tak repot merakitnya. Padahal keseruannya ada disitu. Bapak menyimpannya dimeja lalu kembali berpamitan. "Nak, Bapak mau ke Bandung dulu, mau ke rumah Bi Nonah di Bandung. Mau bawa oleh-oleh."