Anak-anak Surya : kisah anak bangsawan dan nostalgia 90an

Alwinn
Chapter #8

Potret Anak 90an Sepulang Sekolah (Layang-layang, gasing, ekspedisi Alam Ghaib)


Ilustrasi: layang-layang di langit Suryalaya.

Layang-layang kertas terbang di angkasa, berdansa, menari di atas awan-awan kapas. Langit biru Suryalaya tampak begitu estetik, dihiasi tarian burung-burung gereja yang lebih rajin masuk masjid, serta aneka layang-layang dengan beragam corak. Angin sepoi-sepoi nan sejuk menerpa halus rambut hitamku. Siapakah pengendali layangan itu? Nakhodanya adalah bocah-bocah kampung yang berhayal bisa terbang laksana Gatot Kaca. Trio Cemen medar layangan di atap rumah tetanggaku, Si Puja— anak Pak Bangbang yang usilnya tak tertandingi. Pernah dia iseng lindes kakiku pakai ban sepeda, mengeroyok Rian dengan anak satu kelas, hingga ribut dengan sepupunya, Abuy. Namun, pada akhirnya kata "maaf" dan pacantel selalu jadi simbol perdamaian karena setiap manusia memiliki sisi terang dan nakalnya masing-masing.

Wush! Angin semakin menggila, pertarungan layangan semakin ramai. “Hajar, mereka, Lal!” teriakan Rian membangkitkan semangat persahabatan. Matanya berbinar terang bagai bintang di langit malam, terpesona melihat beraneka jenis layangan yang menari gagah di antara awan. Puja tak mau kalah, dia menarik benangnya sekuat tenaga, semakin meninggi dan meliuk-liuk mencari mangsa. Layangan Puja dan Hilal bagaikan dua rajawali yang sedang berebut langit, meliuk-liuk, saling beradu. Bagaikan pengendali angin, Hilal mengendalikan benang gelasannya dengan begitu lincah, menyaingi serangan layangan Puja yang gagah.

 Brot! Tiba-tiba aroma kentut menghiasi udara, aromanya menampar hidung kami hingga wajah kami meringis. Semua mata tertuju pada Hilal. Dengan canda dia berkata, “Harumnya… nikmatnya suara angin persahabatan.” Ctut! Terdengar suara benang putus. Konsentrasi Puja buyar, Hilal mengalahkan Puja dengan “serangan” kentutnya.

"KEJAAAAAAR!" Berteriak seperti prajurit Sparta. Mereka berlari kencang, berhamburan ke jalanan. Perburuan berjalan ganas. Ujang Sayur, Ahmad, dan Hari Cadel berlarian menuju Jalan Warudoyong. Bola mata mereka terarah ke langit, mengikuti pergerakan layangan yang meliuk-liuk terbawa angin, pasrah dengan takdirnya.  Mobil dan motor melaju cepat; suara klakson truk besar, meraung di jalanan. Bannya yang besar dan bergerigi, mengancam apapun yang melintas. Berbahaya, bisa terlindas bila bocah jatuh di tengah jalan. Anak-anak itu masih bisa berlari dengan tersenyum, tak peduli jika bahaya mengintai. Demi sebuah layangan putus, mereka rela menantang kematian.

"LAL, URANG BERBURU DULU!" Aku pamit pada Hilal.

"Rian, ambil alih komando!" Hilal meminta Rian memegang benang gelasannya. Dengan gesit, Hilal turun dari atap.

Sambil hormat, Rian menjawab, "Siap juragan!"

"Mau berburu, Lal?" ucap Puja dengan mulut melongo.

"Lain, pengen berak!" jawabnya sambil meloncat ke bawah.

"EH, BUSYET!" Puja terkejut.

‌Dengan berjalan mengangkang, Hilal lari tunggang-langgang pergi menuju rumah, sedangkan aku berlari mengejar layangan ke jalanan. Aku berlari seperti ninja Konoha: mataku menatap lurus ke depan, badan condong ke depan, tangan lurus ke belakang, kakiku yang jenjang menginjak aspal jalanan tanpa ragu. Tak takut duri, takut kapalan. Kukejar terus sampai dapat.

‌Anak-anak dari berbagai arah memenuhi Jalan Warudoyong, mereka bersaing dengan bocah kampung sebelah, Gang Warudoyong. Kulihat Arif Arga, Iwan Black,  dan Ahmad turut memburu layangan yang kuincar. Zona darurat, persaingan begitu ketat."Nu aing woy!" teriakan bocah-bocah memenuhi udara. Sang layangan mulai turun dari langitnya. Layang-layang itu melayang di depanku. Aku bersaing dengan Arif dan Iwan Hideung yang siap berburu. Ctat! Aku meloncat sekuat tenaga. Ketika hendak kugapai, dengan gesit Iwan menarik benangnya, layangan gagal kudapatkan. Aku hanya memeluk angin; Iwan berteriak dengan riang gembira. Wajahnya begitu ceria. Dia menghentakkan kakinya ke bumi, seolah memenangkan warisan satu miliar.

"Ah, dikit lagi!" kataku.

Kepalaku menengadah ke langit, fokus memburu layangan-layangan lainnya.

"Tong nyerah A, masih banyak layangan yang  lain!" Ahmad menyemangatiku. Dia mengacungkan kedua jempol tangannya.

"Pasti. Ingat, Ndeh, layangan adalah teman.” Aku memparodikan kata-kata Kapten Tsubasa yang sering bilang bola adalah teman.

‌"RAKSASA! RAKSASA!" Arif Arga berteriak histeris. ‌Sebuah layangan raksasa melayang megah di udara, pesonanya mengalahkan bidadari kahyangan. Dari anak-anak, tukang satai hingga tukang jengkol, lari tunggang langgang mengejarnya. Layang-layang itu melayang di atas jalan raya, anak-anak menyebrang jembatan untuk menangkapnya. Dewi Fortuna tersenyum kepadaku. Angin mengubah arah laju layangan tepat ke arahku, yang sedang berdiri gagah di atas jembatan Warudoyong. Di bawahnya ada sungai yang deras. Jantungku berdegup kencang, jangan sampai kuterjatuh ke Sungai Citanduy yang keruh itu. Aku bukanlah sampah, , tak perlulah aku hanyut dengan tinja, dan aliran sungai kehidupan. Tugasku sekarang hanyalah berebut layangan. Aku bersaing dengan Arif, dan Ahmad. Kala layangan tinggal sejengkal di kepala, semuanya semakin ricuh. Anak-anak saling impit, saling sikut, demi layangan raksasa, mereka siap menerjang, meloncat setinggi-tingginya. Hap! Kutangkap layangan jumbo itu. Ganteng Kalem memenangkan pertempuran.

“Yah, malah si Aa yang dapat!" Ahmad kecewa.

"Edan euy, alus miliknya!" Arif Arga mengacungkan jempol.

"Wahaha, kamu mah tinggi sih, pantas dapat juga!" kata Ahmad.

Aku bergegas pergi ke rumah, sebuah mobil Kijang Merah berhenti di depan yayasan. Kacanya terbuka, dan nampaklah sosok Mang Bobon memasang wajah yang garang. Kumisnya terangkat tertiup angin. Kacamatanya di lepas, kepalanya bergeleng-geleng. Khawatir. Dia berucap kala melihatku yang lari dengan girang, "Anak Kang Uu, bangor-bangor teuing. Awas A, jangan berlarian ke jalan raya. Bahaya!”

“Siap Mang!” Aku terus melaju, tak mengindahkan larangan Mang Obon. Biar nakal, setidaknya masih berakal.

Setelah Bapak meninggal, Keluarga Pandawa menjadi lebih kuat secara mental. Hilal rela pergi jalan kaki sejauh ratusan meter hanya untuk belanja ke pasar. Aku rajin belajar dan latihan menggambar supaya jadi orang besar. Begitu pun Teh Yuyun yang rajin belajar supaya menjadi santriwati berprestasi bagi orang tuanya: Ua Apit dan Ua Engkar. Emak bagian masak, nyiram kebun, mengurus ikan, dan membersihkan rumah.  Bapak telah tiada, but life must going on. Ikutan persaudaraan antara Mang Obon dan Bapak Uu teramat begitu kuat, dia pernah hendak niat mengadopsi Hilal supaya bisa mendapatkan kasih sayang dan pendidikan yang lebih baik. Dia paham, tak mudah bagi seorang janda menanggung tiga orang anak sekaligus. Namun, Hilal menolak. Dia teramat mencintai bundanya. Mang Obon memang kaya raya, tapi cinta besar Mamah Yati lebih besar, dan lebih agung dari harta duniawi. Hilal ingin berjuang mengangkat derajat bundanya dengan jerih payahnya sendiri. Mewujudkan wasiat Bapak Uu yang berharga.

 

 "Woy, Lal, lihat nih, aku dapat layangan badag!" Aku berlari kegirangan ke rumah, memamerkannya pada Hilal dan Rian yang sedang menikmati sepiring comro. Semuanya takjub. Mata mereka berbinar-binar. Tak menyangka bahwa si sulung jadi lelaki paling beruntung. Sebuah layangan yang dua kali lipat tubuhku, benangnya kukalungkan ke punggungku. Gagah sekali aku selayaknya Arjuna. Tak mau dicuri orang, kusimpan layangan itu di kamar tidurku. Sepulang dari rumah, Trio Cemen merencanakan permainan seru lainnya: bermain gasing Beyblade


Ilustrasi: aku mendapatkan layangan raksasa.

 

Trio Cemen kumpul di halaman rumah Aji, bocah gembul yang ramah senyum. Kita berkumpul bersama Bang dan Tibi. Aji adalah sepupu Ahmad, dia memiliki arena bertarung Beyblade yang terbuat dari plastik. Bocah cilik doyan gasing. Lucunya, ketika hendak bertarung, Hilal malah membawa wajan besar dari rumah. Dengan pede dia berkata, "Pake ini nih tarungnya biar lebih greget!” Semuanya tertawa lepas. Bukannya mirip petarung gasing, Hilal malah mirip tukang nasi goreng. Arena pertarungan berubah, dari arena plastik jadi wajan dapur yang bau aroma terasi.

"Ayo mulai, jangan banyak omong, kutaklukkan kalian semua!" ucap Hilal tegas.

Beyblade andalan dikeluarkan. Aku mengeluarkan si lutung ungu, gasing jagoanku; Hilal bersiap dengan gasing naga putihnya; Bang mengeluarkan macan orennya yang tak terkalahkan; dan yang paling konyol Rian malah memakai gasing mini seribu perak, yang ukurannya segede peler anak kucing. Kecil banget. Ngakak. Sekali senggol kuyakin bakal ngacleng ke udara. 




Lihat selengkapnya