Anak-anak Surya : kisah anak bangsawan dan nostalgia 90an

Alwinn
Chapter #28

Laut Pangandaran, Penyesalan Kakak, dan Catatan Mimpi The Little Gumelar


Kamis, 27 Mei 2009, Belasan

Gerimis kesedihan kembali turun di hari Kamis. Anak-anak Surya beserta santri-santri teman almarhum, kembali berkumpul di Belasan. Mamah Yati menyambut mereka dengan senyum anggun yang memilukan. Waktu bergerak tanpa suara, kecepatannya terkadang tidak terasa. Rasanya, baru kemarin Anak-anak Surya bermain bersama di Belasan, tampil kompak memakai jersey bola favoritnya, lalu berteriak serempak  memanggil Hilal keluar rumah, mengajaknya bermain di Lapangan Mts. Ketika Hilal keluar membawa bola plastik di tangan kanannya, mereka bersorak dengan riang seperti melihat pahlawan kecil yang menyelamatkan masa kecil mereka. Hari ini, semua kawannya hadir serempak, tapi nuansanya terasa muram dan menyesakkan dada. Hilal telah dipanggil Tuhan dan kawan-kawannya datang untuk ikut tahlilan. Aku tidak tahu, apakah Al-Fatihah sampai pada Tuhan atau tidak. Namun, aku tahu Anak-anak Surya mendoakan Hilal dengan doa-doa terindah yang penuh ketulusan. Sang waktu bagaikan pencuri tanpa wajah yang bisa memanggil sesuatu secara tak terduga, tanpa persiapan, tanpa peringatan. Duka akan kehilangan merupakan salah satu bentuk kekejaman waktu yang menyadarkan manusia bahwa segala yang kita genggam hanyalah pinjaman dari Tuhan.



Ilustrasi: Anak-anak Surya tahlilan di Belasan.

Aku mengintip barudak Suryalaya dari kamar Emak Anah. Epul dan Martin melihatku mengintip dari balik gorden, tapi aku mengacuhkannya. Rasanya, kakiku begitu berat untuk melangkah keluar, tanganku gemetar hebat, dan dadaku seperti bergemuruh, ditinju berulang kali dari dalam. Segumpal kebencian kutumpahkan pada diriku sendiri, rasanya mereka akan lebih aman jika tidak bermain bersamaku yang pahit lidah. Andai saja aku memiliki kesabaran seperti Rasulullah, mungkin aku takkan mudah marah dan takkan menjuluki Hilal “pendek umur” hanya karena adikku meledek dengan sebutan “Jantung” yang menggelikan. Sungguh, banyak sekali skema yang terukir di kepalaku seandainya Hilal berumur panjang. Seandainya Hilal masih hidup dia akan medar layangan bersama Hari, Abuy, dan Puja; gubyag balong bersama Gen Suryana; berpetualang bersama Trio Cemen; diundang ke ulang tahun Trio Macans; menjadi musisi terkenal dan ikut Indonesia Idol; membahagiakan Mamah Yati; dan mewujudkan semua wasiat Bapak dengan mudah.

Acara tahlilan berlangsung khidmat hingga selesai. Barudak Suryalaya dan bapak-bapak komplek pulang ke rumah setelah menerima nasi kotak dan bingkisan, sementara sepupuku Eri, Ulan, Dafa, Dini, dan Dina duduk termenung di tengah rumah menikmati sajian bugis legit yang dimasak oleh Emak Anah, Ua Engkar, dan Teh Yuyun. Rian sama sekali tak menyentuhnya. Luka dan kesedihan membuat perutnya terasa kenyang. Dia melamun sendirian, merindukan sahabatnya yang kini tak bisa disentuh. 


Pangandaran, 26 July 2009

Ilustarsi: Keluarga Pandawa, Keluarga Teh Kokom, dan Teh Letty liburan ke Pantai Pangandaran. Duo asisten tak masuk foto.

 

Dua bulan setelah Hilal berpulang, Keluarga Pandawa liburan ke Pantai Pangandaran. Kita pergi bersama, keluarga Teh Letty, keluarga Teh Kokom, Bang Abdul, dan Eza. Banyak hal yang berubah. Yudi sudah tamat sekolah, lalu kembali ke rumahnya, Joni bersama Dina, Dini, dan Wini mulai bekerja di pabrik Donatello. Sementara, Hilal sudah kembali pada pelukan Tuhan yang lebih menyayanginya. Senja terbiasa tenggelam, lalu berganti sunset. Namun, mereka yang pupus, tidak akan kembali walau ingin. Dia yang berharga, telah pergi selama-lamanya. Tugas kita yang kehilangan hanya bersabar, mendoakan, dan mengikhlaskan. Di alam yang kekal, mereka masih menunggu dengan santai sampai sang takdir mempertemukan kita kembali.

Kegelapan telah memeluk langit, petikan gitar akustik yang cantik terdengar menggelegar, memecah keheningan malam di Pantai Pangandaran. Suaranya terasa sendu, lebih bergemuruh dari gemuruh ombak yang gahar. Setelah lelah bersepeda malam bersama Sasa dan Ling Ling, di atap lantai dua, losmen yang disewa Teh Letty, para pejantan berkumpul. Sementara itu, Mamah Yati dan para gadis lainnya tertidur pulas, besok kita akan ke pantai. Bintang berbinar dengan lembut di atas langit Pangandaran, kita meratap di atas atap, menuangkan melodi rindu ke dalam petikan gitar. Kemahiran bermain gitar Bang Abdul terlihat mengesankan. Walaupun suara kita terdengar parau, tapi bukan itu yang buatku terpukau. Ribuan bintang yang berpijar di langit Pangandaran tampak begitu mengesankan. Cambukan ombak pantai yang keras terdengar dari jauh, buat kita ingin segera ke sana.

 

"Waktu terasa, semakin berlalu, tinggalkan cerita tentang kita. Akan tiada lagi tawamu, tuk hapuskan semua, sepi di hati. Ada cerita tentang aku dan dia. Dan kita bersama saat dulu kala. Ada cerita, tentang masa yang indah, saat kita bersama saat kita tertawa."

 

Lagu “Semua Tentang Kita” membawa nostalgia pada yang telah tiada. Sebatang rokok Djarum Super mengepul deras di udara, asap tipis melayang perlahan dari bibir Bang Abdul. Aku, Rian, Diman dan Eza duduk bersila, seraya melihat ribuan bintang kecil yang berkerlap-kerlip bergantian. Yang jelas, alasan kita duduk di sini adalah untuk menenangkan jiwa. Bang Abdul tampil gahar dengan kaus metalnya yang berwarna hitam, setiap kata-kata yang keluar dari bibirnya terdengar begitu filosofis. Dia bertanya, "A, tahu tidak bedannya waktu sama  rokok?"

Aku melirik Rian, si ikal hanya menggelengkan kepala. Sementara itu, Diman tersenyum manis, gigi jarangnya terlihat jelas. Hanya Bang Abdul yang tahu jawabannya. Dialah yang paling tua dan dialah yang getir hidupnya.

Abdul menarik ke atas kacamata yang bertengger. Mulailah dia berkata dengan keren. "Rokok dan waktu sama-sama bakal habis pada akhirnya. Bedanya, kita tahu kapan rokok berubah jadi puntung, tapi kita tak bakalan tahu kapan waktu kita tiada. Makanya hidup teh jangan seperti puntung rokok, tapi harus seperti mentari yang bersinar dan menghidupkan apa yang ada di sekelilingnya.”

“Contohnya?” tanyaku.

Bola matanya mulai berkaca-kaca. "Contohnya De Ilal, sewaktu hidup Hilal bisa memberikan banyak keceriaan dan kebahagiaan ke orang-orang di sekitarnya. Sayangnya, waktunya aja yang singkat.” Bang Abdul menghembuskan asap rokoknya, matanya melihat ke langit seolah melihat The Little Gumelar sedang tersenyum dari atas Surga sana. “Rasanya, baru kemarin kita teh bercanda dan seru-seruan main kelereng dan main bola bersama di Lapangan MTS. Eh, sekarang tiba-tiba De Ilal sudah tiada.Seandainya Hilal masih ada, mungkin sekarang kita lagi nyanyi bareng, dengerin suaranya yang merdu."

Rian tersenyum kelam, memendam kesedihannya yang mencekam. Dia menatap haru ke arah mentor panutannya. Dia bertanya pada Bang Abdul, "Bang Abdul, kunaonnya, kalau orang baik teh maotnya suka lebih cepat? Tapi naha orang jahat mah kebanyakan panjang umur."

Ezra, sang pembantu romantis, dengan sikap yang santun mulai bertanya pada Rian, "A Rian pernah ka taman bunga, teu? "

Lihat selengkapnya