Anak-anak Surya : kisah anak bangsawan dan nostalgia 90an

Alwinn
Chapter #25

Putri Sekolah, Pangeran Hilal dan Momen Terakhir Bersamanya


Dalam setiap lembaran sejarah,  kehadiran perempuan secara tak terduga menjadi katrol penggerak, memengaruhi lelaki untuk mengambil tindakan besar yang bisa memajukan atau memusnahkan sebuah peradaban. Contohnya, di balik megahnya Perang Troya, bukan hanya tombak, pedang, dan panah yang menjadi penentu nasib sebuah bangsa, tetapi seorang perempuan bernama Helena. Kecantikannya bukan sekadar mahkota yang dipuja, tapi bara asmara yang memicu perang antara prajurit Yunani dan pasukan Sparta. Jika sosok Helena bagaikan "The Delphi Purple Saphire" yang terkutuk, maka sosok Sayiddah Khadijah bagaikan mutiara surga yang membawa anugerah dan  pertumbuhan spiritual bagi Rasullulah SAW. Di kala dunia masih meragukannya, Sayiddah Khadijah menjadi perempuan pertama yang percaya bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah. Selain dukungan finansial, Sayiddah Khadijah memberi dukungan moral bagi Rasullulah dalam menjalanlan dakwahnya. Cinta bisa membentuk karakter dan nasib manusia.

Di SMP 6 Tasikmalaya, Hilal jatuh cinta pada perempuan sekelasnya: Putri. Pesan semangat beribadah yang Hilal terima di ponsel Sony Ericsson K320i miliknya, membuat Hilal lebih mencintai Tuhannya, sementara senyuman manis gadis menjadi inspirasi terindah di setiap senandung dan petikan melodi gitarnya. Karenanya, Hilal lebih memilih hubungan tanpa status. Sebagai mantan santri, Hilal sadar bahwasanya cinta sebelum halal hanyalah sebuah ujian belaka, dan cara terindah mencintai Putri hanyalah mencintai dalam diam, menaruh benih perasaannya dalam untaian doa, berusaha tuk tetap mematuhi aturanNya. Kecantikan Putri mungkin tidak mematikan seperti Helena dan akhlaknya pun tak sesempurna Bunda Khadijah, tapi kehadiran Putri membuat Hilal semakin betah untuk sekolah , berlatih bernyanyi, dan hijrah mendekatkan diri pada Tuhannya. Selain menjadi musisi ternama, menikah dengan Putri merupakan salah satu tujuan hidupnya. 

  Melihat perubahan besar yang terjadi pada Hilal selama sekolah di Tasik, aku paham mengapa Putri sangat mengaguminya. Anak gadis mana yang tak terpikat oleh pesonanya? Garis wajahnya yang tegas dan lembut begitu indah laksana Arjuna, sikapnya yang gemas dan tatapannya yang malu-malu kucing membuat gadis-gadis kota terkesima. Di Suryalaya, Hilal menjadi ketua Trio Cemen yang selalu membawa angin petualangan, sedangkan di Pesinggahan Besar hadirnya menjadi pelipur lara bagi sepupu-sepupu kecilnya. Selama sekolah di Tasik, Hilal sering mengajak sepupunya medar layangan, mentraktir aneka jajanan lezat, dan main Playstation bareng di Rental Mang Pendi. Saat bersekolah di SMP 6, Hilal bertemu dandelion-dandelion muda yang sefrekuensi dengannya. Panggil saja mereka Ade, Edo, dan Hero. Empat Sekawan. Sebagai ketua Empat Sekawan, seringkali dia menyusun agenda permainan yang menyenangkan. Mulai dari bersepeda ria dan berolahraga di Lapangan Dadaha. Selanjutnya, berburu kuliner di Jalan HZ, menikmati setiap gigitan dengan penuh kegembiraan. Di Mayasari Plaza, tawa mereka yang cerah terukir dengan indah saat bermain dingdong, sementara ketika di Pesinggahan mereka begitu serius saat mengerjakan PR bersama. Hadirnya laksana dandelion muda yang bisa tumbuh di mana saja, mengakar dengan kuat di mana dirinya ditempatkan. Selayaknya dandelion yang diterbangkan oleh angin, kehadirannya selalu membawa benih keceriaan dan kebahagiaan. 

*****

  Ujian nasional yang diselenggarakan tanggal 27-30 April 2009 menjadi momok yang menakutkan bagiku. Namun, bagi Hilal, The Little Gumelar, itu merupakan momen paling ditunggu. Karena selama empat hari itulah Hilal pulang kampung sementara ke Suryalaya, dan bisa melepas rindu dengan Mamah Yati. Rasanya begitu pangling saat bertemu kembali dengannya. Lihatlah, parasnya yang dulu hitam dekil, kini kuning langsat, bersih, dan terawat. Wanginya pun tak lagi bau terik, melainkan harum aroma parfum sultan Arab yang elegan dan estetik.  Tak heran jika si Hendrik gemar membandingkanku dengan adikku, ternyata Hilal sudah semakin berkilau. Hilal yang dulunya cupu, kini bertransformasi menjadi bangsawan gaul yang gemar berkelana, dan memesona di mata bidadari-bidadari kota. Sementara itu, aku yang hanya bersekolah di desa, tetap saja menjadi si ganteng pemalas yang hanya menghabiskan sisa waktunya dalam kamar. Satu-satunya perubahan yang kubuat hanyalah skill menulis dan menggambarku yang elegan.


Ilustrasi: Hendrik yang sedang meledekku.

Selepas salat Subuh, lantunan ayat suci Al-Quran terdengar begitu syahdu dari ruang tamu. Bacaannya yang fasih dan tajwidnya yang rapi membuat setiap bunyi huruf yang keluar dari bibir Hilal terasa seperti melodi ilahi yang menggetarkan jiwa.  Shadaqallahul adzim. Hilal menutup Quran dengan penuh hormat, lalu mencium tangan Emak dan Mamah Yati yang masih berbalut mukena putih, tersenyum dengan cerah di belakangnya, bangga dengan perkembangan karakter Hilal yang semakin dewasa. Sikap Hilal yang menawan sangat berbanding terbalik dengan sikapku yang pemalas dan kekanak-kanakan. Di kala yang lainnya selesai salat, aku masih sibuk bergulat melawan monster-monster jahat di game Mario Bros yang kumainkan di vcd ajaib.

Dengan santun Hilal bertanya, "Mah, mumpung masih pagi, hayu urang buka warung. Ade pengen bantuin Mamah jaga toko."

"Ade mah main aja, jangan bantu Mamah, kan ini teh hari libur, jadi mending senang-senang aja, main ka imah Rian."

"Justru kabagjaan Ade teh kalau bisa ningali Mamah bagja, makanya Ade hoyong ngebantu Mamah jualan di warung. Maen sareng Rian mah nanti aja."

"Masyaallah!" Mamah mengelus rambut Hilal dengan lembut.

Di depan warung, aroma pisang goreng yang menggoda mulai menari lembut di udara, menyentuh dari jauh hidung para tetangga. Mereka yang tergoda, datang berbondong-bondong, menikmati kelezatan yang tiada tara. Emak Anah sibuk menggoreng, sesekali dia tersenyum ke arah Diman yang menyantap pisang gorengnya yang nikmat. Melihat pembeli yang membludak, dengan cekatan Hilal menyajikan secangkir kopi hitam yang kelam dan sepiring pisang nikmat kepada para tamu yang membutuhkan kehangatan. Udara begitu dingin, tapi pelayanan Hilal yang ramah membuat para tamu betah berdiam lama di warung kopi. Pagi itu, Hilal bergerak begitu lincah, menikmati pekerjaannya membantu Mamah Yati, sementara aku begitu rusuh, pergi ke sekolah untuk melaksanakan Ujian Nasional. Dari kejauhan, aku tersenyum indah melihat adikku yang sedang melepas rindunya bersama ibundanya. Selama berlibur Hilal juga memanjakan Diman dengan aneka jajanan Sunda yang lezat dan mengenyangkan. Sebut aja, bandros, awug, dodol Garut, dan rangginang khas Tasik yang kriuk.

Aku merasa lega mendengar Hilal hidup bahagia di Paseh, namun terkadang bayangan rasa bersalah masih menghantuiku. Persahabatan kami ibarat Sasuke Uchiha dan Naruto di masa muda. Sering bertengkar juga Smackdown, tapi pada ujungnya akan saling merindukan dan memaafkan. Namun, ada sebuah kata tak termaafkan yang menghantui pikiranku selamanya. Suatu hari Hilal  yang jahil, terus-terusan memanggilku dengan kata “Jantung” sebuah lalandian yang paling mengesalkan. Sesampainya di rumah, aku langsung melampiaskan murkaku pada adikku dengan berkata, “Dasar anak Bi Eli, bocah pendek umur! Perbanyak mah tobat, bukan malah hobi ngeledek!” Lidahku laksana sebilah pedang yang menyayat hatinya. Kata-kata tak pantas itu seperti racun perusak persahabatan. Sewaktu Hilal sekolah di Tasik, aku sering memanggilnya dengan sebutan “Anak Bi Eli” sebagai bentuk balasan kata "Jantung" yang Hilal lontarkan padaku. Alasannya, selama dia tinggal di Pesinggahan, Bi Eli yang menjadi ibu asuhnya jadi dengan canda kusebut dis sebagai anak Bi Eli. Namun, Hilal yang sangat menyayangi Mamah Yati tak terima, air matanya selalu bercucuran ketika kusebut “Anak Bi Eli”. 

 Ada kisah tersendiri di balik julukan “pendek umur” yang sering kulontarkan pada Hilal. Semuanya berawal dari analisisku tentang ramalan gabut Mang Dongyang, tukang kedongdong yang gemar bergoyang di waktu senggang. Di siang bolong, Mang Dongyang iseng-iseng menelaah masa depan anak-anak penghuni Pesinggahan Besar. Aku dan Diman diprediksi bahwa saat dewasa akan menjadi seorang yang sukses, termahsyur, dan kaya raya, sementara anak-anak Pesinggahan  hidupnya akan berkecukupan. Anehnya, kala itu hanya Hilal yang tak mendapat prediksi apapun olehNya. Dalam kebodohanku, aku berasumsi bahwasanya di balik diamnya Mang Dongyang, secara tidak langsung dia berpikir bahwa Hilal tidak akan berumur panjang. Semenjak saat itu, setiap kali Hilal meledekku “Jantung” maka aku akan langsung membalasnya dengan landian "pendek umur" yang lebih menyakitkan. Bila kurenungkan kembali, barangkali itulah dosa terbesarku. Kata-kata yang kupikir guyonan menjadi afirmasi beracun yang menyelinap diam-diam, merasuki alam bawah sadarnya. Jika waktu bisa diulang, aku pasti membutakan diriku sendiri yang dibutakan oleh amarah.

*****

Malam itu, aneka musik melayu terdengar mendayu-dayu dari ponsel milik Hilal. Sebut saja St12, Kangen Band, Hijau Daun dan lagu cadas band Gigi. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, tapi semangat Hilal dalam membantu Mamah tak kunjung padam. Di kala aku dan Diman sudah tepar duluan, dia  masih terjaga, membantu ibunda yang kelelahan. Di balik meja kecil itu, ia membereskan satu persatu secangkir kopi bekas pelanggan, lalu mulai menutup gebyog warung, seorang diri. Berbeda denganku yang cuek bebek pada Mamah, cinta kasihnya pada Mamah Yati memang luar biasa.  Sesekali dia melirik ke arah kantung mata ibundanya yang mulai sayu, tak kuasa menahan kantuk. Demi menafkahi anak-anaknya, Mamah rela begadang semalaman. Hilal menghampiri ibundanya, duduk di sampingnya seraya bersandar di pangkuan ibundanya.

Ibunda yang letih melirik ke arahnya, "Ade istirahatlah, bobo aja, biar Mamah yang beresin."

Lihat selengkapnya