Anak-anak Surya : kisah anak bangsawan dan nostalgia 90an

Alwinn
Chapter #21

Kekuatan Seorang Mentor: Perang Gundu dan Kekuatan Bang Abdul


Battle of Kelereng, Belasan, 2005

Barudak Suryalaya berpetuk tangan secara serentak, menyemangati The Little Gumelar yang kalah perang kelereng melawan Neng Ayi Ayeti, perempuan tangguh dengan kemampuan tembakan kelereng yang cukup akurat. Bola matanya berkaca-kaca setelah dibantai habis oleh Nay. Kelereng yang tadinya satu toples, tinggal beberapa butir saja. Di Tanah Kesebelasan, Hilal mempertaruhkan segalanya dengan satu tembakan. Fuh! Hilal mengambil napas dalam-dalam, matanya begitu fokus membidik kelereng putih (goci) yang jaraknya lima meter. Pertaruhan terakhir, seandainya tembakannya meleset, tamat sudah riwayatnya. "Habisin, Lal!" Rian bertepuk tangan dengan kencang, menyemangati sahabatnya. Dia sudah tekor duluan. Gundunya sudah habis, dibantai oleh rivalnya Puja. Hilal memejamkan matanya dan… Wush! Sebongkah kelereng berwarna oranye melesat dengan lembut, menggelinding di atas tanah dengan akurasi terarah. Berputar, berputar, dan goci putih milik Nay sudah ada di hadapannya. Satu jengkal lagi, tapi gacoan Hilal semakin berputar pelan. Air mata mulai mengalir, pasrah pada Tuhan. Satu centimeter lagi, dan tak! Kelerengnya sampai ditujuan. Nay yang sudah yakin menang, diam membeku.

"Mantap jiwa!" Hilal langsung berdiri, meloncat kegirangan. Nay mengulurkan telapak tangannya, Hilal mengambil dia puluh kelereng hasil rampasan perang.

“Ayo semuanya, pertarungan harus dilanjutkan. Bagi yang mau ikut main berdirilah di garis start. Saatnya memasuki fase lempar.”

Ronde baru segera dimulai. Para players memasang lima buah kelereng ke dalam pot: sebuah lingkaran kapur tempat memasang taruhan. Biaya taruhannya lima buah kelereng. Trio Macans, dan Trio Cemen berbaris sejajar di atas garis start yang jaraknya dua meter dari lingkaran kapur. Bang memerintah dengan lantang, "Pajauh-jauh, saha nu jarak kaleci paling jauh dari pot atau muntahnya paling banyak, maka dia yang nembak pertama. Jeung saterusna." Kami tunduk padanya. Para pertarung bersiap membidik dengan gaya kami masing-masing. Hilal dan Beng membidik kelereng dengan standar ngadu kaleci: duduk jongkok lalu mencentang gacoannya. Bang berdiri dengan gagah bersiap melempar kelereng birunya. Al Rachman berpose dengan tengil, membalikan badan dan menutup mata. Sambil mengunyah santai permen karet BigBabol, sebelah tangannya dimasukan ke dalam saku.

"Beng kamu duluan!" pinta Hilal. "Soalnya tadi kamu kalah duluan."

Sluur! Beng menggelindingkan goci andalannya. Bletak! Gacoannya masuk lingkaran kapur, baru main sudah gugur. Game over. Sambil melantunkan muka, Beng bergegas mengambil gacoannya, lalu kembali memasang lima buah kelereng. Kali ini gacoannya selamat. Beng mengakhiri gilirannya. Begitulah peraturannya, selama masih dalam mode “lempar” permainan boleh dimulai dari nol asalkan memasang taruhan yang baru.

“Hahahaha, kasihan deh, LO!" ucap Al dengan kata lo yang tebal. Al Rachman tertawa kencang, dia mengacungkan dua jempol ke bawah. 

Bimsalabim…,” Beng menggelindingkan dengan gaya, seolah sedang melempar bola bowling.  Bletak! Sepuluh buah kelereng keluar dari pot. Namun, lagi-lagi zonk, gacoannya terbenam di dalam lingkaran kapur. Gregetan, Beng mengeluarkan lima buah kelereng dari sakunya, lalu memasang kembali taruhannya. Dengan basmallah, masalahnya selesai. Meskipun, jarak kelereng Beng dengan pot cukup dekat.

 

"Awas, giliranku." Bang mulai beraksi dengan kelereng orennya yang berkilau seperti bola Disko. "Bismillah..." ucap Bang dengan serius.

Bletak! Bang menyentil gacoannya. Jeleger! Muntah tujuh. Tujuh buah kelereng keluar dari pot, gacoannya terlempar ke pinggiran pot. Dia tertawa girang, mengambil tujuh kelereng hasil rampasan perang. Giliran Bang selesai.

Giliran Al. Dia mengibaskan rambutnya ke belakang, menunjukan detil indah gaya rambut mohawk. Dia mengeluarkan gundunya yang berbentuk penyon. Si mata kucing. Dengan santai dia berkata, "Tempokeun!" Seperti seorang pitcher, Al Rachman menggenggam kelerengnya dengan dua tangan, mengayunkan pelan ke belakang, lalu dia mengayunkan  gacoannya sekuat tenaga. GECROT! Kelereng berhamburan, tapi hanya dalam hayalannya saja. Tembakan kelereng PENYON miliknya, meleset. Hening. Setidaknya gacoannya posisinya paling jauh. Dia bisa jadi pelontar pertama apabila ada player lainnya yang mengenai gacoan milik Bang.

Satu persatu, dari kami mulai melempar gacoan masing-masing. Waktunya bermain. Bang menjadi pembidik pertama, Al kedua, aku ketiga, Ahmad keempat, Puja main kelima, Beng keenam, Hilal ketujuh, dan Udan, cucu Haji Enzen diposisi paling bontot. Aura macan terlihat begitu mencekam, Bang duduk jongkong dan mulai nyentang. Bletak! Tembakannya meleset, gacoannya kecemplung ke balong. Bang menggantinya dengan goci. "Ah, anying, licin tangannya!"

Wish! Al Rachman menembakan gacoannya, dia cari aman.

Sekarang giliran Ahmad membidik. Pletak! Lima buah kelereng keluar dari pot, Ahmad berhak mengambilnya. Muntah lima. Karena sudah muntah, artinya Ahmad memiliki keistimewaan. Aturan pertama, setelah muntah maka player berhak menghabisi satu player lainnya di arena, lalu setelahnya bebas memilih antara mengincar player lain, mengamankan diri dengan mencari arena yang sulit dibidik, atau menembak sekali lagi ke arah pot sebanyak sekali. Apabila muntah, maka kembali ke aturan pertama.

“Cep Abeng, kita tetap bertemankan?” Ahmad tersenyum tajam. Tangannya mulai membidik.

"Aarghhh." Beng teriak dengan suara melengking. Niatnya, ganggu konsentrasi Ahmad. Ahmad menutup sebelah matanya, seolah-olah seorang sniper yang sedang mengeker target. Satu, dua, tiga... Bletak!   Bidikannya tepat sasaran, Beng tersingkirkan.

"Siap-siap A!" Kini, Ahmad mengincar gacoanku yang terhalang batu.

Dengan cekatan aku berkata, "Cak oles, cak ban!" Aku mengucap mantra cak oles artinya apabila tembakan lawan hanya “memoles” tipis gacoanku, maka gacoanku masih tetap bisa melanjutkan pertandingan. Sementara, makna cak ban, Ahmad tak boleh memindahkan batu, atau sampah yang menghalangi pandangan ketika dia membidik gacoanku. Karena ribet, Ahmad batal membidikku. Aku bernapas lega.

Bletak! Ahmad memilih mendekatkan gacoannya dengan lingkaran pot. Dia mulai mengukur jaraknya. "Sejengkal!" teriak Ahmad. Apabila letak kelereng satu jengkal dari pot, artinya semua pemain harus membidik ke arah pot.

"A, ayo mulai!" Pinta Ahmad.

PLETOK!

Si Ganteng Kalem menjadi 'Ksatria Kelereng” tertangguh di Belasan. Satu persatu pemain mulai kusingkirkan secara brutal. Gacoan Bang dan Al kupental dengan satu tembakan jarak jauh; Ahmad, Puja, dan Udan kupensiunkan dengan sebuah tembakan jitu. Si botak Puja? Keteledoran telah menyingkirkan dirinya sendiri, kelerengnya gacoannya masuk ke dalam lingkaran kapur. Dengan satu tembakan akurat, gacoan Hilal kubuat sekarat. Kelerengnya retak, terbelah menjadi dua.

Senja telah datang, azan telah berkumandang, barudak Suryalaya mulai meninggalkan lapangan. Aku meninggalkan pertempuran dengan senyum terang di wajahku. Toples yang tadinya setengah keler, menjadi satu keler penuh. Hilal dan Rian mentapku dengan penuh kekaguman.

Lihat selengkapnya