Anak-anak Surya : kisah anak bangsawan dan nostalgia 90an

Alwinn
Chapter #18

Pertemuan dengan Armand Maulana, Ngabuburit dan Cita-cita Hilal Jadi Musisi



Ilustrasi: Kang Armand Maulana saat manggung di Suryalaya.

"KANG ARMAND, I LOVE YOU!"

Ibu-ibu berdaster, Gadis Mentari, dan pencinta rock n roll menjerit histeris. Kehadiran Armand Maulana bersama band Gigi di patapan Suryalaya, seperti surya yang menerangi bumi, ciptakan atmosfer hangat, dan menyenangkan. Rambutnya yang jabrig, gaya panggungnya yang hiperaktif, serta pakaian abu-abunya yang stylish membuatnya menjadi role model anak muda kelahiran 90-an. Pancaran langit berwarna jingga di bulan Ramadan buat pesonanya meningkat bejuta-juta. Pada bulan Oktober 2005, band Gigi mengadakan konser Ngabuburit Bareng Gigi di Suryalaya. Aksinya begitu enerjik, heroik, dan karismatik. Gemuruh musik pop rock, menggelegar. Anak-anak yang mulai lapar kembali cenghar, segar bugar melihat aksi Gigi yang cetar.

 


 "Perdamaian-perdamaian

Perdamaian, perdamaian

Banyak yang cinta damai

Tapi perang semakin ramai

Bingung-bingung kumemikirkan!"

Seperti raungan singa, suara Kang Armand yang nge-bass terdengar begitu menggelegar dan badass. Apapun lagunya, kata-kata "whohoooo" dan desahan “seuhah!” di akhir kalimat, serta gerakan tangannya yang mengoper-ngoper mic dari tangan kanan ke kiri, menjadi ciri khasnya yang badass. Kepalaku berjingkrak-jingkrak mengikuti tabuhan drum, dan melody gitar yang cadas. Begitu pun dengan Ahmad, Odim, dan Hari Bule yang gerakannya terlihat seperti berdebus. Motah, ke sana kemari. Hilal bersorak, “Baraya hayu duduknya sebelah sana saja!"  Anak-anak pindah tempat duduk supaya terekam kamera. Trio Cemen bergerak ke sana-kemari, mengikuti laju kamera. Gara-gara gagal ikutan Kuis Kocok-kocok hasratku tuk masuk televisi semakin besar. Sensasi masuk televisi di zaman belum ada YouTube, rasanya seperti masuk Surga.

 


*****

30 Menit Sebelumnya

"Kamu siap, Lal?" Kugenggam erat raket di tangan kiriku. Bertindak tengil, bergaya alaa Taufik Hidayat. Permainannya bulu tangkis, tapi kausnya, kaus Brazil.

"Siap!" 

Plak! High service yang keras melayang dengan kencang, Hilal yang posisi bertahan menerimanya dengan baik. Tok! Dia pantulkan koknya ke areaku. Smash! Kutangkis sekuat tenaga, Hilal menangkisnya, kusmash lagi, ditangkis lagi, terus saja begitu. "Semangat, Lal!" Rian menyemangati dari pinggir lapangan. Sementara Ahmad yang menjadi wasit, duduk di pinggir lapangan, tangannya memegang papan score. Sepupunya, Benny dan Nay bersorak-sorak jadi penonton. Plak! Kok putih melambung tinggi di udara. Hilal memasang kuda-kuda. Gripnya dikencangkan, dia siap memukulnya sekuat tenaga. TOK! Kok melayang di udara, bergerak dengan slowmotion. Satu meter di atas kepala, dia meloncat tinggi dan jebret! Smash maut dihantamkan. "Adaw!" Kepala Rian boncenong segede telur soang, koknya masuklah ke areaku. Score 19-21. Atraksi kami bagai pebulutangkis kelas dunia. Semakin cepat tangkisannya, semakin naik pula adrenalineku berpacu.

Seolah-olah seorang MC, Ahmad langsung mengangkat tangan kanan Hilal sambil berkata, "Mari kita sambut juara dunia kita... Hilal!” Dengan riang, Hilal langsung melakukan selebrasi dalam arena. Bergaya ala Taufik Hidayat yang sudah menaklukkan Olimpiade. Ditambah goal-geol pantat itik yang bahenol. Jijay. Rian meloncat kegirangan, seraya memegang jidatnya yang bencenong kesakitan. Rasanya tidak ikhlas kalah dengan cara konyol. Namun, tubuh yang sudah terlanjur lelah membuatku lebih memilih mengunci mulut. Hosh, hosh. napas kami mulai terengah-engah, banjir keringat membasahi tubuh kecilku. Sayangnya, lelah, penat, dan dahaga harus kutahan. Sebagai Muslim yang taat –dan demi THR— kita berusaha keras untuk berpuasa sebulan penuh. Di sore yang cerah tiga bocah gila, ngabuburit dengan main badminton. 

Lihat selengkapnya