POV: Hilal
"Tepat di hari pemakamanku, gerimis kecil turun perlahan, melagukan kesedihan yang tak terdengar. Tetesan air mata dari sahabat dan keluarga yang mencintaiku seolah simfoni berharga yang menjadikanku makna dalam hidupnya. Mereka pikir aku telah tiada, tapi sesungguhnya aku tetaplah ada, memandang mereka dari dimensi lainnya yang tak mampu mereka jamah."
Namaku Raden Saepul Hilal, seorang manusia setengah bangsawan yang menghembuskan alunan napas terakhirnya tepat di tengah malam. Saat Muslim lainnya sibuk bermunajat di sepertiga malam, melantunkan syair-syair doa terindahnya, pada waktu itulah Allah memanggilku untuk menghadap padaNya. Bagi seorang muslim wafat di malam Jumat dan hari Jumat, merupakan tanda husnul khatimah. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang berbunyi, "Tidaklah seorang Muslim mati di hari atau malam Jumat, kecuali Allah menjaganya dari fitnah kubur". Wallahuallam. Rasanya, begitu menyenangkan apabila Allah memasukanku ke dalam surgaNya, tapi begitu sedih pula ketika aku harus meninggalkan surgaku: Mamah Yati. Kupikir, di hari Jumat, aku akan kembali ke Suryalaya dalam keadaan sehat, plottwistnya aku malah wafat. Lagu "SurgaMu" dan “Saat Terakhir” yang kusenandungkan untuk Mamah Yati sehari sebelum aku tiada, ternyata malah jadi lagu perpisahan terkelam untuknya. Padahal, aku mempersiapkan lagu itu tuk mengikuti ajang Indonesian Idol ketika sudah cukup umur. Setelah tiada, aku meninggalkan harta, cinta, dan cita-citaku. Satu-satunya hal yang menemaniku di alam kematian hanyalah amal dan doa-doa terindah yang orang lantunkan padaku.
Langit menampakan warna kelabu yang sendu. Gerimis-gerimis kecil, mengalir dengan lembut ketika ragaku dimakamkan. Doa-doa yang mereka langitkan untukku laksana selimut teduh yang menentramkan jiwaku. Lantunan dzikir la ilaha illallah terdengar begitu meneduhkan saat diwiridkan di dalam mesjid. Namun, kalimat tahlil yang diucapkan ketika mengangkat keranda hijau, rasanya campur aduk. Indah karena pada akhirnya aku dimakamkan sebagai seorang muslim, tapi menyedihkan karena aku harus pergi meninggalkan,orang-orang yang mencintaiku. Ketika malaikat maut mencabut nyawaku di ranjang rumah sakit, kupikir ini hanyalah sebuah mimpi belaka, sampai akhirnya kulihat tubuh sakitku yang terbujur kaku, ditangisi oleh perempuan yang paling menyayangiku: Mamah Yati. Saat itu diriku bertanya, “Ya Allah, apa yang terjadi denganku?” Aku bisa melihat Mamah menangis, tapi tanganku tak mampu mengusap air matanya. Ketika dokter berkata aku tiada, aku berteriak dengan sekencang-kencangnya bahwasnya aku masih hidup, tapi tiada yang mendengarkan. Mah, aku mendengarkan dukamu, tapi suaraku tidak sampai padamu. Kematian adalah hari di mana, aku benar-benar merasakan kesepian.
Selama ini, aku terbiasa menyaksikan adegan pemakaman, tapi rasanya begitu ganjil ketika melihat jasadku sendiri yang digotong di dalam keranda, lalu diturunkan ke liang lahat. Kita takkan pernah tahu kapan kita tiada, seminggu yang lalu, aku masih terlihat tampan dan segar bugar, kini hanyalah seonggok tubuh perjaka muda tak bernyawa yang terbungkus kain kafan. Sebuah raga yang kurawat setiap saat, kini melebur ke dalam tanah yang kotor, terbaring di samping rayap, semut dan cacing-cacing. Ragaku telah terkubur, tapi jiwaku masih di sini, terperangkap dalam kebingungan, bertanya-tanya akan dibawa kemana diriku setelah perjalanan singkatku di Bumi. Ingin rasanya aku menjerit dan berteriak supaya Tuhan menghidupkan aku kembali, tapi percuma, waktuku telah habis. Aku telah mencoba ratusan kali untuk masuk ke sana (jasadku), tapi tubuhku selalu terpantul keluar. Semakin keras aku memaksa, semakin keras tubuhku terhempas. Kini yang tersisa dariku hanyalah kenanganku bersama mereka. Kematian itu menyakitkan, tapi meninggalkan orang yang kita sayang, jauh lebih menyedihkan.
“Udah, Rian jangan menangis… Kamu harus tegar.”
Suara Teh Desty terdengar begitu serak, memendam berjuta kepedihan, sedangkan kulihat Aa dan Diman tampak begitu tegar, menyembunyikan air matanya.
“De ilal mah udah tenang dan bahagia di alam sana, Yan!” ucap Aa pada Rian.
HEY ADE MASIH DI SINI! ADE BELUM PERGI KE SURGA!
Sungguh, aku telah berteriak sekuat dayaku. Berkali-kali, tapi tak sampai. Kala itu aku melihat Emak Anah menyeka air mata Mamah yang terus mengalir, mengusirnya dengan lembut dari pipi anaknya.
Emak berkata dengan tegar, “Geus, sing sabar, tong diceungceurikan emeh si Ade bahagia di alam sana. ”