Setelah pertempuran sengit melawan naga ular, Galaxy dan Davina melanjutkan perjalanan mereka. Langit mulai cerah ketika mereka mencapai sebuah desa yang dikenal dengan nama Penjara Kematian. Udara di desa itu terasa dingin, namun anehnya memiliki aura yang sangat suram, seolah setiap sudut desa menyimpan cerita kelam. Davina melirik ke arah Galaxy yang terus berjalan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, sementara dia mulai menjelaskan sejarah desa yang mereka masuki.
“Ini adalah desa Penjara Kematian,” kata Davina dengan suara yang lebih pelan dari biasanya, seolah menghormati keheningan desa. “Dulunya, ini adalah desa yang damai, sampai suatu ketika sebuah kutukan menimpa desa ini. Sekali sebulan, naga api biru muncul dan menghancurkan segala sesuatu yang ditemuinya. Tak ada seorang pun yang mampu mengalahkannya. Karena itulah, setiap kali naga itu diperkirakan akan muncul, penduduk desa melarikan diri. Namun, meski mereka melarikan diri, desa ini masih selalu dalam kehancuran.”
Galaxy tetap diam, mendengarkan cerita Davina tanpa memberi komentar. Mereka berdua berjalan menuju sebuah kafe di tengah desa, yang tampak seperti satu-satunya tempat di desa itu yang masih ramai dengan kehidupan. Di atas kafe itu, terdapat papan kayu besar dengan tulisan "Cafe Partyan Para Kesatria". Tempat ini dikenal sebagai tempat berkumpulnya para pendekar dan kesatria dari berbagai wilayah.
Ketika mereka melangkah masuk, suasana di dalam kafe yang tadinya ramai mendadak sunyi. Semua orang memalingkan pandangan mereka ke arah Galaxy dan Davina. Mata mereka tertuju pada pedang yang tergantung di punggung Galaxy, terbungkus kain lusuh. Desas-desus tentang pedang keluarga Azura telah tersebar luas, dan siapa pun yang pernah mendengarnya tahu bahwa itu bukan pedang biasa. Galaxy melangkah tanpa peduli dengan pandangan orang-orang di sekelilingnya, sementara Davina dengan sedikit canggung mengikuti dari belakang.
Mereka berdua memilih meja di sudut kafe. Saat mereka duduk, dua orang kesatria yang duduk tak jauh dari mereka mendekat. Mereka tampak sombong, dengan baju zirah yang berkilauan dan pedang yang tergantung di pinggang mereka.
“Hei, kau,” salah satu kesatria memanggil Galaxy dengan nada meremehkan, “Apa itu pedang yang kau bawa di punggungmu? Terlihat seperti pedang antik, tapi aku yakin kau tak tahu cara menggunakannya.” Kedua kesatria itu tertawa terbahak-bahak, seolah-olah menertawakan Galaxy yang tidak bereaksi sama sekali.
Galaxy tetap tenang, duduk sambil melipat tangannya di atas meja, tak mengindahkan ejekan mereka. Ia seolah tak mendengar hinaan yang dilontarkan, namun sikap acuh tak acuhnya justru membuat para kesatria itu semakin geram.
Melihat Galaxy yang tidak menanggapi, Davina yang duduk di sampingnya merasa tersinggung. Ia berdiri dengan wajah penuh amarah dan berkata, “Hei, kalian tak tahu siapa yang sedang kalian hina. Galaxy bisa membuat kalian menyesal seumur hidup.”
Namun sebelum Davina bisa melanjutkan, Galaxy dengan suara rendah namun penuh otoritas berkata, “Tenanglah, jangan hiraukan mereka.” Kata-kata itu menghentikan Davina, meski jelas terlihat bahwa ia masih sangat kesal.