Galaxy berdiri di tengah ruang tamu yang begitu familiar. Aroma masakan ibunya memenuhi udara, membuat perutnya yang kosong bergejolak. Meja makan di sudut ruangan dipenuhi oleh hidangan-hidangan yang pernah menjadi favoritnya saat kecil: sup daging lembut, nasi hangat, dan roti yang baru saja keluar dari oven. Semua terasa begitu nyata, begitu hangat, seperti mimpi yang tak ingin dia tinggalkan.
Di sebelahnya, adik perempuannya, dengan tawa riangnya, sedang menggenggam tangannya. "Ayo, kakak! Kita bermain di luar seperti dulu," ucapnya sambil menarik tangan Galaxy.
Galaxy tersenyum. Sudah bertahun-tahun sejak dia terakhir melihat adiknya, dan sekarang dia kembali berada di sini, di rumah, bersama keluarganya. Rasa rindu yang selama ini dia pendam seakan hilang begitu saja saat dia melihat senyuman adik perempuannya. Dia tidak ingin melepaskannya.
Di dapur, terdengar suara langkah kaki ringan dari kedua orang tuanya. Ibunya, dengan senyum lembut di wajahnya, sedang mengatur meja makan, sedangkan ayahnya sibuk memotong daging di atas talenan kayu.
"Galaxy, sudah besar ya kamu sekarang. Lebih kuat dari yang pernah ayah bayangkan," kata ayahnya, suaranya penuh kebanggaan.
Galaxy hanya bisa mengangguk, matanya sedikit berkaca-kaca. Ia merasa hatinya perlahan mulai tenggelam dalam kebahagiaan ini. Dia lupa akan segalanya—lupa akan perjalanannya, lupa akan Pedang Dewa, dan bahkan lupa bahwa dia sedang berada di dalam ilusi yang memerangkapnya.
Sementara itu, jauh di dalam kabut yang sama, Davina juga terjebak dalam ilusi yang mengguncang hatinya. Davina, yang biasanya kuat dan tegar, kini berada di pelukan kakaknya. Kakak yang selama ini menjadi pahlawan dalam hidupnya. Kakaknya yang selalu melindunginya sejak kecil, selalu ada di sisinya ketika hidup terasa sulit.
Davina memeluk kakaknya erat-erat, air mata membanjiri pipinya. “Kak… aku tidak kuat lagi. Aku lelah. Setiap hari aku merasa semakin jauh dari tujuanku, semakin lelah dengan perjalanan ini,” isaknya sambil menyandarkan kepalanya di bahu kakaknya.
Sang kakak, dengan senyuman penuh kasih sayang, mengusap rambut Davina dengan lembut. "Tenang saja, adikku. Kakak di sini. Kamu tidak sendirian. Perjalanan ini memang berat, tapi kakak akan menemanimu sampai kita menemukan pusaka keluarga kita. Ayo kita hadapi semuanya bersama-sama."
Kata-kata itu membuat hati Davina tenang, seolah-olah semua beban yang selama ini menghimpitnya sirna dalam sekejap. Dia merasa diterima, dicintai, dan tidak perlu lagi berjuang sendirian. Tanpa sadar, dia telah terbuai dalam kebahagiaan ilusi yang tak nyata ini.