Galaxy menggigit bibirnya, menahan gemuruh emosi yang menghantam hatinya. Air mata yang hampir jatuh dia tahan dengan sekuat tenaga, meskipun hatinya terasa remuk. “Maaf... aku harus pergi,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar di antara gemuruh kabut tebal yang menyelimuti dirinya dan keluarganya. Dengan berat hati, ia perlahan melepaskan pelukan adik perempuannya. Tangan mungil itu masih berusaha menggenggam, seolah tak ingin melepaskannya.
“Jangan pergi, Kak… aku sangat mencintaimu,” bisik adiknya, suaranya serak oleh kerinduan yang mendalam.
Galaxy berhenti sejenak, hatinya berdebar keras. Tubuhnya ingin berbalik, ingin memeluk mereka semua dan tetap tinggal di sana, bersama keluarganya. Namun, naluri kesatria di dalam dirinya berteriak keras, mengingatkannya bahwa ini hanyalah ilusi. Ilusi yang akan menjebaknya dan menghancurkannya jika dia menyerah pada rasa rindu yang membara.
Saat ia melangkah pergi, suara ayahnya bergema di antara kabut yang semakin menebal. “Jangan menyesali sebuah perjalanan, anakku,” ucap ayahnya dengan nada yang penuh kebijaksanaan. “Apa yang kamu lakukan dulu adalah sebuah kisah, dan setiap kisah memiliki pelajaran. Jangan biarkan masa lalumu membuatmu tenggelam dan larut. Kami sudah memaafkanmu, Galaxy. Capailah tujuanmu.”
Mata Galaxy perlahan terpejam, air mata yang ia tahan akhirnya mengalir deras di pipinya. Kata-kata ayahnya menembus hatinya yang selama ini dipenuhi rasa bersalah. Ia selalu merasa bahwa kesalahannya di masa lalu tidak bisa dimaafkan, namun kini... mendengar kata-kata ayahnya, beban itu sedikit terangkat.
"Ibu menyayangimu, nak," sambung ibunya dengan suara lembut, seakan membungkus Galaxy dengan kehangatan yang ia rindukan sejak lama. “Kami semua mencintaimu.”
Suara adiknya pun kembali terdengar, lebih lembut, namun penuh dengan ketulusan. “Aku juga, Kakak… Aku sangat mencintaimu.”
Galaxy berdiri diam sejenak, hatinya berkecamuk antara keinginan untuk tinggal dan tanggung jawabnya sebagai pendekar yang harus menyelesaikan perjalanannya. Namun, dia tahu apa yang harus dia lakukan. Dengan napas yang berat, ia kembali melangkah. Kabut di sekitarnya mulai menebal, perlahan menutupi bayangan keluarganya. Satu per satu, sosok ayah, ibu, dan adiknya menghilang, lenyap ditelan oleh kabut yang dingin dan suram.
Galaxy terjatuh berlutut di tanah yang basah, menangis terisak-isak. Tangannya bergetar saat dia mengusap air matanya yang tak kunjung berhenti. Rasa kehilangan kembali menyelimuti hatinya. Namun, di balik kesedihan itu, ada kekuatan yang perlahan tumbuh di dalam dirinya.