Debu dan asap perlahan menghilang, meninggalkan pemandangan yang hancur dan sunyi di puncak Gunung Neomir. Tubuh besar naga berkepala tiga itu kini tergeletak tak berdaya, darah biru gelap mengalir dari luka-luka dalam di tubuhnya. Dengan tebasan terakhir Galaxy, makhluk mengerikan itu akhirnya roboh, menyerah pada kekuatan yang sebelumnya tak pernah terbayangkan bisa melawannya.
“Hah... hah...” napas Galaxy tersengal-sengal, keringat membasahi seluruh tubuhnya. Matanya masih menyala dengan kemarahan yang perlahan mulai redup. Dia menatap tubuh naga itu, memastikan bahwa makhluk itu benar-benar sudah mati. Tubuhnya terasa berat, setiap otot terasa nyeri. Namun, rasa sakit fisik itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit di hatinya.
“Kita berhasil... tapi... dengan harga yang sangat mahal,” gumamnya pelan. Kakinya bergetar, seolah-olah tak mampu lagi menopang tubuhnya yang kelelahan.
Davina, yang sejak tadi berdiri di belakang Galaxy, berlari mendekati tubuh Alios dan Lilya yang tergeletak di tanah. Air mata masih mengalir deras di pipinya. Saat ia berlutut di samping tubuh mereka, perasaannya hancur berkeping-keping. Malam pun tiba, langit yang tadinya cerah berubah menjadi gelap dengan cepat. Awan-awan kelabu menggelayut di langit, menyelimuti puncak Gunung Neomir dengan kesunyian yang menyedihkan.
“Alios... Lilya...” bisiknya dengan suara yang bergetar. Jemarinya menyentuh wajah Lilya yang pucat, mencoba merasakan kehangatan yang sudah tidak ada. Davina memejamkan mata, menahan isak tangis yang ingin pecah. Pedihnya kehilangan terasa begitu nyata, seperti luka dalam yang tak akan pernah sembuh.
Galaxy berjalan pelan mendekati Davina. Dia melihat kedua sahabat mereka yang terbaring dengan damai, meski tubuh mereka penuh luka. Mata Galaxy terfokus pada busur patah Alios yang tergeletak di dekat tangannya. Perlahan, ia berlutut dan mengambil busur itu. “Aku akan menjaga ini... aku berjanji, Alios, aku tidak akan pernah melupakanmu,” bisiknya pelan.
Davina, yang masih berlutut di samping Lilya, melihat kalung perak yang dikenakan sahabatnya. Kalung itu adalah kenangan terakhir dari keluarganya, dan Lilya selalu memakainya, bahkan di saat-saat yang paling berbahaya. Tangan Davina gemetar saat ia melepaskan kalung itu dari leher Lilya, memegangnya erat di telapak tangannya. “Aku akan memberikannya kepada keluargamu... aku akan menepati janjimu,” katanya pelan, suaranya penuh dengan emosi yang bergejolak.
Malam semakin larut, dan suasana di puncak gunung menjadi semakin dingin. Angin berhembus pelan, membawa suara-suara alam yang seolah meratapi kepergian dua jiwa yang telah memberikan segalanya demi teman-teman mereka. Galaxy dan Davina memutuskan untuk memberi penghormatan terakhir kepada sahabat mereka. Mereka menggali lubang di dekat bebatuan besar, menggunakan tangan mereka sendiri meski tubuh mereka sudah sangat lelah.
“Aku masih tidak percaya...” kata Davina dengan suara lirih saat ia memasukkan bunga-bunga liar yang ia temukan di sekitar ke dalam lubang. “Kita semua seharusnya pergi dari sini bersama-sama... Alios dan Lilya seharusnya masih bersama kita.”
Galaxy tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap tanah yang mulai menutup tubuh sahabat-sahabatnya. Hatinya terasa hampa. Ketika semuanya selesai, ia berdiri, menatap gundukan tanah sederhana itu. “Kalian tidak akan pernah dilupakan,” bisiknya pelan.
Setelah memberi penghormatan terakhir, Galaxy dan Davina berbalik, meninggalkan tempat itu dengan langkah berat. Kaki mereka seolah membawa beban yang tak terlihat, beban kenangan dan rasa bersalah yang mendalam. Mereka berjalan menuruni puncak gunung, perlahan menjauhi peristirahatan terakhir Alios dan Lilya.
Perjalanan turun gunung itu terasa lebih panjang dan lebih sepi dari sebelumnya. Setiap langkah terasa berat, dan setiap pandangan ke arah tempat mereka berpisah dengan sahabat-sahabat mereka mengingatkan mereka akan semua kenangan yang pernah mereka lalui bersama. Setiap tawa, setiap perjuangan, setiap pengorbanan. Semua itu kini hanya tinggal kenangan yang tersimpan dalam hati mereka.