Davina tidak dapat menahan kesedihannya saat memikirkan kakaknya yang hilang. Pikirannya dipenuhi pertanyaan yang terus mengganggu. Apakah kakaknya benar-benar telah tiada? Ataukah dia hanya menghilang di tengah pertempuran? Nalurinya mengatakan bahwa kakaknya masih hidup, dan harapan kecil itu membuatnya terus bertahan.
Di tengah kesedihan yang mendalam, terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya. Suara seorang prajurit berbicara dari balik pintu, suaranya tegas namun hormat. "Putri Davina, Sang Raja meminta kehadiran Anda untuk makan malam bersama dengan keluarga kerajaan dan Panglima Erlang."
Davina tahu bahwa ia tidak bisa menolak permintaan ayahnya, meskipun hatinya enggan untuk duduk di meja yang sama dengan Erlang, orang yang ia benci. Dengan perasaan berat, Davina akhirnya berdiri dan membuka pintu.
Prajurit itu menunduk hormat, menunggu perintah lebih lanjut. "Saya akan bersiap," jawab Davina singkat sebelum menutup pintu kembali.
Ia berjalan menuju lemari pakaiannya, memilih gaun terbaik yang sesuai untuk acara makan malam kerajaan. Tangannya berhenti pada gaun putih panjang yang terbuat dari sutra lembut. Gaun itu memiliki sentuhan emas di bagian pinggang dan bahu, menciptakan kesan anggun sekaligus berwibawa. Davina tahu, gaun ini akan membuatnya terlihat kuat di hadapan orang-orang yang menantinya di aula makan malam, terutama Panglima Erlang.
Saat ia mematut diri di cermin, rambut putihnya yang panjang mengalir lembut ke bawah punggungnya. Mata birunya yang berkilauan menyiratkan ketegasan, meski hatinya dipenuhi luka dan amarah. Dengan tekad baru, ia berjalan keluar kamar dan menuju aula makan malam.
Sesampainya di aula, Davina segera menyadari tatapan penuh kekaguman dari orang-orang yang hadir. Raja Riz duduk di ujung meja, dengan Erlang berdiri di dekatnya, menunggu kehadirannya. Mata Erlang berkilat ketika melihat Davina dalam gaun putihnya. Wajahnya memancarkan kekaguman yang jelas tidak bisa ia sembunyikan.
“Davina...” Erlang mendekati Davina dengan langkah mantap, berusaha menampilkan sikap ramah. “Izinkan aku mempersilakanmu duduk, calon permaisuri.”
Namun, sebelum Erlang bisa meraih kursinya, Davina berbicara dengan nada dingin. “Tidak usah repot-repot, Erlang. Aku bisa sendiri,” jawabnya tanpa menoleh. Kata-kata itu menusuk harga diri Erlang, yang selama ini terbiasa dihormati oleh siapa pun, termasuk Raja Riz.
Senyum di wajah Erlang menghilang, berganti dengan ekspresi penuh kekecewaan. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan rasa malunya di depan Raja dan para hadirin. Namun, Davina tidak berhenti di situ.
“Jangan bertingkah menjijikkan di hadapanku, Erlang. Kau tak perlu berpura-pura menjadi orang baik. Aku tahu siapa dirimu sebenarnya,” ucap Davina dengan tajam, suaranya terbungkus ketegasan.