Swords of Resistance

Ahmad Syarif Hidayat
Chapter #2

Bab 2, Kuda Troya

“Saudaraku telah dibebaskan oleh Pemerintah Jerman. Mereka memang sialan dan memperlakukan saudaraku dengan buruk. Seandainya saja kita memperlakukan tahanan mereka dengan buruk, sudah pasti kita akan dikecam karena pelanggaran HAM,” kata seorang Perempuan berambut panjang bergelombang berwarna merah, dan bermata biru. Dia adalah seorang Perempuan dari etnis Polandia bernama Jadzia Konstancja.

“Namun kita harus hati-hati dengan mereka, karena diantara mereka ada yang menjadi mata-mata,” kata Maria yang tengah berdiri di samping Paladin miliknya.

“Mustahil! Mana mungkin ada tahanan kita yang menghianati Negaranya.”

“Tidak ada yang tidak mungkin. Mencuci otak ada seninya, dan di antara mereka ada alasan untuk menghianati Negaranya,” kata Maria. “Misalnya, dia merasa dikecewakan karena baru dibebaskan sekarang.”

“Apakah tahanan yang dibebaskan akan dikembalikan lagi ke pekerjaan asalnya?” tanya Jadzia.

“Tidak mungkin,” jawab Maria. “Posisi kosong yang telah mereka tinggalkan telah digantikan oleh Orang baru. Kalau pun mereka diterima kembali, itu pun hanya sebagian seorang.”

 

Seorang Lelaki dewasa tengah mengurung dirinya di dalam kamarnya yang dipenuhi dengan beberapa kaleng minuman beralkohol. Meskipun dia telah dibebaskan oleh Pemerintah Jerman, dan kembali ke kampung halamannya di sebuah Desa di dekat wilayah eksklave Oldenburg Oblast, Rossiya Soviet, namun dia merasa telah kehilangan kebebasannya. Lelaki berambut pirang coklat itu bergumam, “Aku sudah mengorbankan diriku demi Negara ini, dan sekarang mereka menyampakkanku. Apa yang Orang-orang Jerman katakan itu benar, bahwa Negeri ini harus dibebaskan dari tirani junta militer Klan Hohenzollern-Orange-Nassau.”

Dalam keputusasaannya, ingatannya kembali di saat dia sedang mendengarkan perkatan dari Seorang Lelaki Jerman di sebuah ruangan yang sempit dan bercahayakan lampu yang terang benderang.

“Meskipun kau dibebaskan dan kembali ke Prussia, kau hanyalah sebongkah batu di pinggir jalan. Kau akan kehilangan pekerjaanmu dan dicampakkan oleh Negaramu. Sungguh ironis juga, kau berjuang sebagai agen Stasi di luar negeri, namun ketika kau tertangkap dan akan dibebaskan suatu hari nanti, kebebasanmu telah dimusnahkan oleh Pemerintahmu,” ujar Lelaki berambut pirang pucat dan bermata biru.

“Jadi, apa yang harus kulakukan jika aku bebas?” tanyanya.

“Bagaimana jika kau bekerja untuk kami? Kami tidak seperti Prussia yang akan mencampakkan agen-agennya. Kami akan selalu ada, di saat kalian dicampakkan. Kami akan selalu ada di setiap pikiranmu, dan akan selalu membantumu. Kami bukanlah Prussia yang akan membuangmu ketika tidak berguna” jawabnya dengan kata-kata yang tersusun untuk mencuci otak tahanan tersebut.

“Aku setuju.”

“Kalau begitu, kau telah terlahir kembali sebagai seorang Manusia yang merdeka. Mungkin kau akan mengalami masa-masa depresi yang kelam sebentar, namun kau harus bangkit dari keterpurukanmu. Raihlah kebebasanmu, dan tunjukkan pada Prussia yang telah mencampakkanmu, bahwa kau itu adalah Orang yang merdeka!”

“Ya, kau benar, Pak Tua. Aku adalah Orang yang merdeka.”

.

Hans Bernard Wilhelm bangkit dari keterpurukannya. Dia mengumpulkan beberapa cairan mudah terbakar untuk menjalankan aksi terornya. Rencana teror tersebut akan dia laksanakan karena dia merasa dikecewakan oleh Pemerintah Prussia.

"Aku adalah Orang yan merdeka. Tak peduli Setan, kau tak akan bisa menghentikanku," katanya memantapkan hatinya untuk melakukan aksi teror.

Lelaki itu keluar dari dalam rumahnya yang terletak dengan garis perbatasan antara Prussia dengan Eksklave Oldenburg Oblast, Socialist Soviet Rossiya Federation. Dia membawa beberapa bom molotov yang belum dia ledakkan.

Dia berjalan menghampiri sebuah rumah, dan melempar bom molotov tersebut yang membakar rumah tersebut beserta para penghuninya. Dia berlari selayaknya seorang pengecut menuju ke arah pos perbatasan Prussia dengan Eksklave Oldenburg Oblast, Socialist Soviet Rossiya Federation.

Penjaga perbatasan Tentara Merah Rossiya segera memberondong Orang yang membawa bom molotov tersebut. Dia tewas dan tubuhnya terbakar sebelum sempat melempar bom molotov ke arah para Tentara Prussia dan Rossiya yang tengah berjaga.

“Kenapa kau menembak rakyat kami?” tanya salah seorang Tentara Prussia.

“Aku terpaksa melakukannya, sebelum dia membunuh kita semua,” balas Tentara Rossiya tersebut. “Lihat, ada kepulan asap dari wilayah kalian. Sepertinya itu akibat serangan bom molotov barusan.”

“Cepat, kita padamkan apinya.”

Tiga puluh menit Tentara dan Rakyat Prussia dibantu oleh Tentara Merah Rossiya memadamkan tiga unit rumah yang terbakar akibat serangan bom molotov. Korban jiwa dalam serangan teror ini berjumlah lima belas Orang.

Seorang agen Stasi menghampiri rumah dari Hans Bernard Wilhelm yang berada di dekat perbatasan Prussia dengan Eksklave Oldenburg Oblast, Socialist Soviet Rossiya Federation.. Lelaki yang berasal dari Ras Werewolf tersebut mencium adanya berbagai macam bahan mudah terbakar yang disimpan di dalam rumah Orang tersebut. Dia menuliskan laporannya dalam ponsel pintarnya, dan dikirimkan ke atasannya.

 

Maria mengendarai Mototrail BMW 450 GX untuk berjumpa dengan salah seorang kawannya. Alicia Margareth namanya. Dia melaju motornya melewati pinggiran Kota Nassau yang sepi dengan pohon-pohon pinusnya yang menjulang tinggi.

Maria menghentikan laju motornya secara tiba-tiba ketika melihat ranjau paku terpasang di tengah jalan. Lima Orang bersenjatakan Pedang dan Kapak keluar dari arah pepohonan dan menyerangnya. Maria menghindari setiap serangan mereka dan melawan mereka secara tangan kosong meskipun dia membawa sebilah Pedang dan Ruger-SR-1911-Pistol. Dia melumpuhkan seluruh musuhnya dan mematahkan tulang-tulang mereka.

“Kenapa kalian menyerangku?” tanya Maria pada salah seorang Perempuan di antara mereka.

“Karena kau adalah Tentara Prussia. Kami akan melancarkan revolusi dan menjadikan Negeri ini sebagai Negeri yang merdeka dari rezim Junta Militer Hohenzollern-Orange-Nassau,” jawab Perempuan berambut hitam itu.

Maria menggeledah tubuh mereka, meskipun mereka berteriak dengan mengeluarkan berbagai macam kalimat hujatan dan cacian.

Maria mengecek satu per satu kartu identitas mereka.

“Namamu adalah Catherine Lisbeth van Persie, yah.”

“Kalau iya, memang kenapa, hah!” teriaknya.

“Aku sempat melihat namamu dan fotomu dalam sebuah dokumen PDF tentang tahanan Prussia yang ditelah dibebaskan oleh Pemerintah Jerman.”

“Jika iya, memang kenapa! Kenapa kalian tidak membebaskan kami sejak awal! Di mana kalian saat, kami dipenjara dan disiksa. Kami berjuang di garis depan untuk mencari informasi penting, dan kalian diam saat kami dipenjara dan disiksa.”

“Kami selalu berusaha untuk membebaskan kalian via jalur diplomasi. Namun, mereka tidak mau membebaskan kalian,” jawab Maria.

“Omong kosong!”

Maria menancapkan Pedangnya di hadapan wajah Lisbeth van Persie.

“Kalau kalian disiksa oleh Orang-orang Jerman, kenapa kalian menyerang tanah air kalian? Kalian telah menjadi Kuda Troya yang tak berharga bagi Jerman. Kalian tahu, mereka telah mencuci otak kalian dan menggunakan kalian sebagai umpan hidup hanya untuk membunuh saudara setanah air dan berbuat kekacauan di Negeri ini. Kalau seperti ini, kau akan mati sebagai penghianat dan keluargamu akan dikucilkan. Sedangkan Orang-orang Jerman akan tertawa dan berbahagia melihat kebodohan kalian. Bukankah kalian semua masih memiliki keluarga,” jelas Maria dengan nada tegas.

Kelima Orang tersebut terdiam mendengarkan ucapan Maria.

“Sadarlah, kalian telah diperdaya oleh Orang-orang Jerman. Kembalilah, dan buka mata, pikiran serta hatimu. Negeri ini tidak pernah meninggalkan Rakyatnya, khususnya kalian yang berjuang di garda terdepan,” kata Maria berusaha menyadarkan kelima Orang musuhnya.

“Apakah masih ada kesempatan bagi kami, untuk kembali. Mengingat kami telah menyerangmu?” tanya seorang Lelaki berbadan tambun berambut coklat.

“Masih ada harapan dan jangan khawatir. Ayahku, Mayor Jendral Karl Wilhelm Leopold von Mecklenburg-Schwerin akan membantu kalian, jika kalian mau kembali berjuang untuk Negeri ini bersamaku.”

“Kami menyerah, dan maafkan kami,” kata keempat rekannya, sedangkan Lisbeth van Persie masih berdiam diri.

Lihat selengkapnya