"Aku masih ingat ketika sosokmu bertanya padaku. Apa alasanku ingin berterima kasih kepada anak-anak broken home di luar sana. Hahaha, tunggu saja. Ikutlah masuk ke hidupku. Kau akan tahu menemukan jawaban itu dengan kesadaranmu sendiri."
Syeila ~ 2018
"Syeila! Kamu habis dari mana aja, sih?! Kenapa pulangnya telat?!" tanya salah satu malaikat pelindung Syeila di bumi. Kedua matanya membara, membuat sosok petarung sepertinya, kehilangan nyali. Ia tak mampu bersuara di hadapannya.
Tubuhnya yang letih, mengerang kesakitan, seakan meminta dibebaskan untuk menjelaskan realita. Tapi, Syeila tetap menjadi pemenang utamanya. Pikirannya berhasil diam untuk beberapa waktu.
"Syeila! Kamu bisu, ya?! Mama ini tanya sama kamu, loh! Kamu habis dari mana, ha?!" tanyanya sekali lagi. Sudah pasti lava di kedua matanya membara.
Deg!
Sungguh, mengatainya dengan sebutan "bisu" tidak akan membuat gadis itu membaik. Namun, tetap saja, kontrol dirinya adalah pemenangnya. Tubuhnya masih saja diam, tak berani untuk menentang Syeila. Kau tahu? Dia sedang berusaha meredam setan di kepala dan hatinya.
"Astaga! Dari mana kamu dapet barang kayak gitu, Syeila?!"
Kedua matanya melirik ke arah malaikatnya. Dan itu membuat gadis itu paham, dia pasti sedang mencari alasan agar bisa dijadikan dasar untuk menyalahkan dirinya.
Kini, pandangannya telah beralih ke tangan Syeila. Entah, sudah berapa lama ibunya memandangi tas yang dia pegang, rupanya, dia tertarik dengan tas cantik itu. Sama halnya dengan si manis itu. Untuk sejenak, Syeila menyunggingkan senyuman tipis, tanda bahwa dirinya mengaguminya. Sebelum akhirnya, malaikatnya berani merebutnya. Lancang sekali?!
"Syeila! Jangan bilang, uang tabungan kamu habis buat beli hal-hal yang nggak berguna kayak gini!"
Deg!
"Apa?! Uang di tabunganku habis?! Siapa yang udah habisin uangnya, Ma?! Syeila nggak make uangnya sama sekali, loh! Syeila nggak bohong!" jawab Syeila dalam hitungan detik. Berharap agar dia percaya.
"Alah! Kamu jangan bohong di hadapan Mama, Syeila! Kamu pulang telat, pasti habis beli tas itu, kan?! Dan Mama yakin! Isi tas itu pasti peralatan menggambar kamu yang nggak ada gunanya sama sekali!" jawabnya tanpa basa-basi.
SUMPAH! Sebagai sosok muda sepertinya, dia penasaran, tidak-tidak, bukan hanya dia, aku sendiri yang menulis kisah ini, juga penasaran.
Apakah setiap orang tua memiliki pemikirannya sendiri dan menganggap pemikirannya itu selalu benar? Apakah jiwa superioritas mereka terlalu mendominasi? Sampai mereka lupa, bahwa tindakannya bisa saja salah, dan berakibat buruk untuk anaknya sendiri.
Ah, sudahlah, memikirkannya hanya akan membuat kepalaku pening. Kembali lagi pada Syeila.
Gadis itu termenung untuk beberapa saat. Runtuh sudah harapannya untuk memanggilnya sebagai seorang "ibu." Bagaimana bisa, dia dengan cepat menghakimi? Apakah hal itu biasa dilakukan oleh orang-orang dewasa yang mendapat title sebagai orang tua?! Padahal, mereka memiliki kedua telinga, kenapa mereka tidak mau mendengarkan terlebih dahulu? Kenapa harus buru-buru menyimpulkan sesuatu?
"Syeila! Kenapa kamu selalu beli barang yang nggak perlu kayak gini, ha?! Mau jadi apa kamu kalo kayak gini terus?! Buang aja cita-cita kamu itu, Syeila! Kamu bakalan hidup miskin kalo kamu bertahan sama cita-citamu itu!" pekiknya sekali lagi.
Deg!
"CUKUP, Ma! Sampai kapan Mama mau menghakimi Syeila seenaknya?! Dan stop bilang kalo Syeila bakalan jadi orang miskin hanya karena Syeila bertahan sama cita-cita, Syeila! Doa Ibu itu gampang dikabulin sama Tuhan loh, Ma! Emangnya, Mama mau kalo Syeila hidup miskin?!"
Tubuhnya seketika meriang, berpacu dalam ranah peraduan. Lidahnya yang dari awal kelu, seketika menggonggong keras bak anjing gila di siang hari.
"Halah! Bantah aja kamu itu bisanya! Mana! Sini, kasihin ke Mama, Syeila! Benci Mama kalo lihat kelakuan kamu kayak gini!"