"Air mataku sering jatuh tanpa aba-aba. Dan sialnya, itu semua terjadi karena aku terlalu banyak mendapat kesakitan. Parahnya, kesakitan itu kudapatkan dari apa yang kuanggap sebagai rumah, terlebih dari kedua orang dewasa yang terbilang hebat menyiksa mentalku."
Syeila ~ 2018
Syeila beranjak dari kasurnya, berusaha menguatkan diri, meski terpaan badai itu berkali-kali menghujaninya dengan segudang kecewa. Setelah maju lima langkah, dia membelakangi Yofrei. Lantas, dirinya kembali bersuara.
"Mereka udah jadi motivasi buat aku, Frei. Dan satu hal lagi, kita nggak pernah tahu, apakah orang lain mengapresiasi usaha mereka. Kamu ngerti kan, Frei? Persepsi masyarakat terhadap anak broken home kebanyakan jelek. Apalagi, kalo mereka udah di usia dulu puluh tahunan, ketika mereka belum jadi orang. Mereka pasti diremehin. Padahal, orang-orang nggak ngerti, trauma mereka kayak apa. Dan orang-orang juga nggak ngerti, apa aja yang udah dilalui sama mereka."
Syeila menghembuskan nafas panjang, mengayunkan kedua lengannya sembari menundukkan kepala ke bawah.
"Anak-anak kayak mereka itu terkadang cuman butuh dipeluk, didengerin, nggak dihakimin, dan dikasih semangat. Itu aja udah lebih dari cukup, tapi kayaknya susah. Kebanyakan orang, pasti nyalahin mereka, nyuruh mereka kuat, harus bisa bangkit. Beberapa yang lain malah adu nasib. Hahaha, sesama manusia, tapi empatinya kok tipis, ya?" tanya Syeila sembari tertawa lirih.
Yofrei menundukkan kepala, ia berusaha memberikan penjelasan kepada Syeila.
"Tapi, Syeil. Broken home itu bukan satu penghalang untuk bisa jadi sukses, loh. Jangan berlindung dari kata-kata broken home, dong. Kamu harus bisa bangkit," jawab Yofrei. Dia memberikan sudut pandangnya sendiri.
"Iya, aku ngerti. Tapi, kalo dijalanin, nggak semudah itu, Frei. Apalagi, kalo tanggungan kamu banyak. Nih, aku kasih contoh, misalnya, kamu jadi anak pertama, punya adek tiga. Kamu tinggal sama Ibu aja setelah pisah sama Ayah kamu. Tapi, Ibu kamu sakit, dan Ayah kamu ninggalin utang gitu aja. Ekonomi kamu juga bad banget. Belum lagi, kamu punya tanggungan Adek sama Ibu, gimana, tuh? Ujung-ujungnya, uangnya bakalan habis, kan? Bisa jadi kamu nggak bisa nabung dan hidup tenang kayak orang-orang lain," papar Syeila. Ia menaikkan salah satu alisnya.
Yofrei menelan ludahnya, ia tertampar dengan perkataannya sendiri. Syeila telah memberikannya kenyataan pahit, yang bisa saja terjadi di kalangan umum.
"Heum, kamu tahu, nggak? Anak-anak broken home itu keren. Siapa pun anak broken home yang belum jadi orang sukses kayak persepsi orang-orang di luar sana. Tapi mereka masih punya harapan, masih mau berjuang, dan masih hidup sampai sekarang. Itu aja udah bagus. Seenggaknya, mereka masih percaya sama Tuhan dan dirinya sendiri, Frei."
Yofrei yang mendengar itu, seketika merenungkan pernyataan Syeila. Dan yah, dia sangat setuju dengan apa yang dikatakan Syeila.
Gadis itu sepertinya telah membuka wawasan baru untuk sosok seperti Yofrei, karena selama ini, Yofrei telah dibutakan oleh hidupnya yang mewah. Syeila berjalan ke sebuah laci, mengambil korek api. Lalu, dia kembali duduk di samping Yofrei.
Perlahan, dia mencoba menyalakan korek api. Sekali, dua kali, korek itu tak mau menyala. Entah, apa yang salah, tapi Syeila terus berusaha menyalakannya.
"Percaya sama aku, Frei. Anak-anak kayak mereka itu paling takut sama dirinya sendiri. Kalo mereka nggak percaya sama diri mereka sendiri, dan mereka udah nggak bisa mencintai dirinya sendiri. Itu adalah awal kehancuran dari diri mereka," ucap Syeila.
Gadis itu tersenyum ketika ia berhasil menyalakan korek api. Keduanya saling melihat ke arah api yang masih setia menyala. Yofrei mengerti, Syeila memang sengaja menyalakan korek itu.
Dia ingin memberikannya sebuah filosofi. Perihal api yang menyala, bisa jadi, api itu membawa sebuah keuntungan, menjadi salah satu alat penerang, misalnya. Tapi, ketika api itu membakar sesuatu, maka, semuanya akan hangus.
Sama dengan anak-anak broken home yang tidak bisa mencintai dirinya sendiri. Bisa jadi, dia kehilangan jati dirinya. Akh, membayangkannya saja sudah mengerikan.
"Syeil, aku baru sadar. Kehidupanku sama kamu ternyata jauh beda, ya. Jujur, aku nggak pernah ada di posisimu. Tapi, ngelihat kamu berjuang sendiri aja udah bikin aku pusing. Sudut pandangku sama kamu nggak sama. Tapi, aku bersyukur, kita berdua masih bisa berteman baik," ucap Yofrei sembari tersenyum lebar.
"Kita bisa berteman baik karena takdir, Frei," balas Syeila. Ia menyunggingkan senyuman, sembari bertanya, "Kamu nggak pernah malu berteman sama anak broken home kayak aku, Frei?"
"Malu?! Kenapa harus malu, Syeil? Mereka nggak tahu ceritamu. Tapi aku tahu, dan aku udah bersedia jadi temenmu dari awal. Dan yah, aku berteman sama kamu bukan karena rasa kasihan. Paham, Syeil?" Yofrei memberikan penjelasan singkat perihal kata-kata Kanza.
Dia tahu, Syeila pasti memikirkan setiap kata-kata yang keluar dari mulut orang-orang. Dan ketika dia mulai memikirkannya, hal itu pasti akan dia tanyakan untuk mendapat kejelasan.
"Huuh, syukurlah kalo gitu. Kalo kamu mau berteman sama aku karena rasa kasihan, aku bakalan nyesel sama kamu. Aku nggak suka dikasihani. Dan mulai sekarang, aku bakalan manggil kamu dengan sebutan Kakak." Syeila mengatakannya tanpa berkedip, menunjukkan bahwa dirinya serius dengan kalimat itu.
"Yah, aku ngerti soal itu, Syeil. Tapi, aku nggak terima kalo kamu manggil aku Kakak. Aku udah bilang sama kamu, kan?! Jangan manggil aku Kakak! Anggap aku sebagai temanmu!" Yofrei mengangkat bahunya, memalingkan wajah dari gadis yang agaknya mulai terlihat kesal.
"Enggak bisa, Kak. Kamu sama Kak Kanza itu kan umurnya jauh di atas Syeila. Syeila harus tetap menghormati Kakak. Itu keputusan final Syeila. Dan Syeila nggak terima penolakan apapun. Udah, Syeila mau pergi belanja dulu, Kak. Bubay. Eh, tunggu dulu. Makasih buat hadiahnya, ya. Aku bakalan jaga itu baik-baik," ucap Syeila sembari tersenyum.