SYAHADAT BERSAMA SENJA

N. HIDAYAH
Chapter #1

SEBUAH REUNI

Desember, 2023

Ragu-ragu aku turun dari sepeda motor ketika sampai di depan sebuah kedai bernuansa modern. Aku membuka helm dan mengamati sekitar kedai, ada rumput panpass lebat di bawah nama kedai, Kinanti. Di sisi kanan area parkir ada pohon pucuk merah yang ditanam dalam pot hitam besar, dan di seberang jalan ada banyak banner besar yang memperlihatkan wajah-wajah pasangan calon presiden dan wakil presiden dari nomor urut satu sampai tiga, semuanya ada.

Aroma ayam bakar kecap menyapa cupingku, disusul dengan aroma sambal pedas yang entah bagaimana seakan tidak mau kalah tenar di hidungku, aroma keduanya berseliweran di depanku seakan menyelinap kabur dari pintu dapur, aromanya sangat mantap.

Kubuka pesan grup yang ramai meminta para penghuni grup untuk segera merapat ke kedai. Janji pertemuan adalah pukul sembilan pagi, dan sekarang sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima menit. Ini adalah reuni pengurus Osis yang dikenal selalu tepat waktu, tapi entahlah, aku tidak tahu apakah mereka masih tepat waktu seperti ketika masa SMA.

“Kiri, kiri, kiri,” teriak seorang tukang parkir yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.

Si tukang parkir melempar senyum padaku seakan memberi isyarat supaya aku menepi karena ada motor yang hendak parkir di samping motorku. Aku pun menepi dan kembali membuka ponsel untuk memastikan alamat yang kulihat di grup sudah tepat dengan tempatku berdiri saat ini. Aku celingukan agak ragu. Keraguanku kini bertambah, bukan sekadar takut salah alamat, tapi karena merasa agak kurang siap jika harus masuk dan bertemu dengan kawan-kawan Osis yang sudah hampir sepuluh tahun tidak kutemui.

Suara notifikasi grup mendadak ramai penuh dengan protes karena kawan-kawan pengurus Osis tidak kunjung datang termasuk aku yang justru merasa tidak perlu masuk. Namun, sisi lain hatiku berbisik supaya aku bertemu dengan mereka meskipun hanya sekadar mengucapkan permohonan maaf karena sudah menjadi pengecut selama sepuluh tahun terakhir.

Setelah cukup menyimak grup yang berisi obrolan kerinduan kawan-kawan selama satu tahun tidak bertemu—bagi yang rutin hadir di acara reuni—setidaknya begitu yang dikatakan sebagian besar orang termasuk Sarah dan Damar. Namun, tidak bagiku yang baru kali ini mengikuti reuni, pertemuan ini tentu akan canggung.

“Hai,” sapa seseorang.

 “Kak Yudha?” lanjutnya.

Aku celingukan mencari sumber suara dan memastikan bahwa sapaan itu ditujukan untukku karena hanya aku dan tukang parkir yang ada di parkiran. Ternyata suara itu berasal dari seorang perempuan berpostur jangkung yang baru saja keluar dari mobil kijang hitam.

Aku tidak langsung menjawab sapaannya, aku mengerutkan kening mencoba mengingat siapa perempuan yang sekarang berjalan ke arahku itu. Rambutnya terurai panjang sepunggung dengan warna hitam pekat, dia mengenakan dress selutut berwarna apricot yang dipadukan dengan sling bag hitam di lengan kirinya, aroma parfumnya tercium mendekat, aromanya seperti campuran melati dan bubble gum.

“Kamu Yuma?” tanyaku mencoba menebak.

Parfum campuran yang dia pakai masih bisa kuingat, parfum yang sangat khas. Perempuan yang kuduga Yuma tidak langsung menjawab, dia justru menyapu penampilanku dari kaki sampai ujung kepala, lalu memiringkan kepala mencoba memastikan sesuatu dalam diriku membuatku tidak nyaman.

“Apa aku salah orang?” tanyaku dalam hati, mungkin Yuma bukan satu-satunya orang yang punya kebiasaan mencampur parfum melati dan bubble gum.

“Iya, Kak. Aku Yuma, sekretaris bidang tiga,” jawab perempuan di hadapanku dengan nada riang seperti Yuma yang kukenal sepuluh tahun lalu, tangannya lincah mengacungkan tiga jari.

“Benarkah?” tanyaku masih tidak yakin.

Yuma mengangguk cepat dan mengulurkan tangan, namun kubalas dengan anggukan sembari menelungkupkan kedua tangan di depan dada. Yuma terlihat agak canggung, entah dia tidak tahu atau lupa.

“Maaf, Kak. Aku lupa,” ucapnya lirih sembari menarik tangan dan membetulkan anak rambutnya di sekitar telinga lalu membuat gerakan tangan yang sama denganku.

“Nggak apa-apa,” timpalku mencoba membuatnya tidak merasa bersalah.

“Ya udah, ayo kita masuk, Kak. Pasti Teh Sarah sama Bang Damar udah nunggu dari tadi,” ajak Yuma memimpin jalan.

Sarah? Damar?

Ah, Sarah, dia mungkin akan banyak menarikku dalam obrolan tentang kenangan masa sekolah kami yang akrab. Dia pasti ingin melibatkanku seakan membayar hutang informasi padaku. Dan Damar, dia mungkin akan mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba canggung karena kedatanganku, kami cukup dekat ketika menjadi pengurus Osis sekaligus rival dalam perebutan jabatan ketua Osis kala itu.

Dengan kikuk aku pun berjalan mengekor di belakang Yuma. Setelah sepuluh tahun tidak bertemu, ternyata sikap Yuma tidak banyak berubah, dia masih cerewet seperti dulu meskipun di depanku selaku seniornya.

Lihat selengkapnya