SYAHADAT BERSAMA SENJA

N. HIDAYAH
Chapter #2

SUDUT- SUDUT PERSEMBUNYIAN

Suara adzan isya berkumanang dari kejauahn. Saling bersahutan dari satu menara dengan menara yang lain sampai suaranya kian mendekat ke arahku. Suara adzan isya berkumanang dari kejauahn. Saling bersahutan dari satu menara dengan menara yang lain sampai suaranya kian mendekat ke arahku. SUDUT- SUDUT PERSEMBUNYIAN

September, 2013

Suara adzan isya berkumanang dari kejauahn. Saling bersahutan dari satu menara dengan menara yang lain sampai suaranya kian mendekat ke arahku. Aku membuka jendela kamar menikmati gema adzan yang menggetarkan hati dan menenangkan jiwa. Langit cerah malam ini, ada banyak bintang bertaburan dipadukan dengan bulan yang nyaris purnama sebagai penerang alam yang gelap gulita, sangat menawan.

Mataku terpejam merasakan sentuhan malam yang agak dingin dengan paduan suara adzan yang penuh kedamaian. Setelah adzan selesai aku kembali ke meja belajarku, menyibukkan diri dengan rentetan tugas sekolah yang amat menyebalkan.

Tugas sekolahku belum selesai, tapi sudah kuabaikan. Kupasang earphone untuk mendengar shalawat, tanganku mulai asyik mengikuti suara pukulan rebana. Setelah satu shalawat selesai, aku melepas earphone dan beralih pada sebuah buku panduan shalat ‘rahasia’ yang kubeli tiga bulan lalu di toko perlengkapan sekolah. Lidahku kesulitan membaca bacaan shalat yang tertera di bagian bawah lafadz berbahasa Arab. 

Buku panduan shalat ini bukan satu-satunya buku rahasiaku, masih ada satu lagi buku lainnya yang kusembunyikan di kamar ini tepatnya di antara tumpukan pakaian levi’s. Aku menyimpan sebuah buku iqra kecil yang nyaris tidak terlihat karena ukurannya sangat mungil.

Subhanarabiyal ‘adiimi wabihamdi

Subhanarabiyal ‘adiimi wabihamdi

Subhanarabiyal ‘adiimi wabihamdi

Beberapa saat kemudian deru suara mobil Papa terdengar meninggalkan parkiran. Ini adalah malam minggu yang selalu menyenangkan bagi orang tuaku karena keduanya selalu suka jalan-jalan bagaikan sepasang kekasih yang tiada henti jatuh cinta setiap hari padahal sudah hampir punya anak tiga. Sedangkan aku kadang malas ikut karena ingin membiarkan orang tuaku kencan, padahal aslinya aku ingin mengerjakan tugas sekolah alih-alih belajar shalat diam-diam di kamarku.

Setelah memastikan mobil Papa meninggalkan halaman aku langsung menyalakan shalawat dari komputerku. Volume yang biasanya kusenyapkan kini bisa kutingkatkan nyaris volume penuh tanpa khawatir terdengar oleh orang tuaku. Satu lagi, Bi Yuyun—ART keluarga kami—sedang izin pulang, jadi malam ini aku benar-benar sendirian menikmati shalawat sepuasnya sebelum Papa dan Mama pulang.

Aku naik ke atas ranjang kasurku dan duduk bersila persis seperti yang dilakukan oleh vokalis grup rebana yang muncul di monitor komputer. Sesekali tanganku menirukan pukulan bass yang dilakukan personel rebana sebelum kembali menirukan gaya vokalis yang melantunkan shalawat. Hadeuh, bagus benar jika aku bisa bersuara semerdu itu, mengenakan koko, sarung dan songkok yang bagus lalu tampil di atas panggung.

Akhirnya, malam mingguku tidak kalah menyenangkan dengan malam minggu orang tuaku. Hahahaha.

****

Aku menyelinap keluar kelas setelah memastikan semua siswa di kelasku bergegas ke Mushola. Di kelas tersisa beberapa siswa perempuan yang sedang ‘datang bulan’ dan tampak asyik menyantap camilan yang mereka beli dari kantin belakang sekolah. Beberapa lainnya memilih untuk tidur di tempat duduknya. Sebelum keluar, seorang teman perempuan menawariku makanan aku hanya mengangguk dan mengucap terima kasih sebelum akhirnya melesat menuju perpustakaan.

Suara puji-pujian yang ditembangkan salah seorang siswa terdengar memenuhi koridor melalui pengeras suara di setiap ruangan. Pujian terus ditembangkan sembari menunggu para siswa berwudu atau melaksanakan shalat sunah sebelum imam shalat datang.

“Permisi, Pak,” lirihku ketika membuka pintu perpustakaan.

“Masuk, Yud,” timpal Pak Danu.

Dari balik mejanya Pak Danu sudah bersiap untuk pergi ke Mushola sebelum iqamah dikumandangkan. Bahu kanannya sudah menyandang sajadah berwarna biru yang sudah tidak cerah.

“Jaga baik-baik perpustakaan, saya mau shalat dulu,” lanjut Pak Danu sembari menepuk bahuku sebelum keluar.

“Oke, Pak,” timpalku dengan anggukan mantap.

Beginilah aku hampir setiap hari, menghabiskan waktu istirahat kedua dengan menjadi pemilik ruangan yang dipenuhi aroma buku dengan campuran pengharum ruangan rasa jeruk yang diletakkan di bibir pendingin ruangan. Aku akan menjadi pemilik ruangan ini setidaknya untuk tiga puluh menit ke depan, syukur-syukur kalau setelah istirahat kedua tidak ada guru di kelas alias jam kosong, maka aku akan di sini sampai jam pulang sekolah.

Selama jam istirahat kedua perpustakaan tidak beroperasi karena Pak Danu selaku pustakawan akan istirahat untuk shalat dan dilanjutkan dengan makan siang terlebih dahulu bersama staf TU di warung Mak Idah. Jadi, biarkan aku memperkenalkan diri sebagai pemilik perpustakaan ini, toh Pak Danu mengizinkanku menjaga ruangan ini selama aku tidak melakukan hal-hal yang membuat perpustakaan berantakan atau membawa seorang teman kemari. Ini adalah tempat kesukaanku di sekolah selain taman anggrek.

Lihat selengkapnya